صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُون
Mereka tuli, bisu, dan buta, maka mereka tidak akan kembali (ke jalan yang benar) (QS 02:18)
Demikianlah firman Tuhan terpatri dalam Surat Al-Baqarah, ayat ke-18. Secara harfiah, ayat ini melukiskan kondisi kaum munafik di masa lampau yang, meski telah disajikan kebenaran yang terang benderang, memilih untuk menutup indra mereka. Telinga mereka enggan mendengar seruan kebaikan, lisan mereka terkunci dari mengakui kebenaran, dan mata mereka terpejam dari melihat tanda-tanda kebesaran-Nya.
Namun, Al-Qur’an bukanlah sekadar catatan sejarah masa lalu. Ia adalah cermin agung yang memantulkan kondisi manusia di setiap zaman. Ayat tersebut bukan hanya vonis bagi mereka yang telah tiada, melainkan sebuah diagnosa spiritual dan sosial yang bisa menjangkiti siapa saja, terutama mereka yang diamanahi kuasa. Ia adalah pengingat tentang betapa berbahayanya kondisi saat indra tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Dalam sepekan terakhir, negeri kita kembali menjadi panggung bagi riuh rendah suara-suara yang menggema. Jalanan, dari kota metropolitan hingga pelosok daerah, menjadi kanvas bagi tumpahan keresahan. Tidak hanya di dunia nyata, ruang-ruang digital pun bergetar oleh tagar yang bersahutan, utas-utas panjang yang mengurai masalah, serta meme-meme satir yang tajamnya melebihi belati.
Ini bukanlah sekadar kebisingan. Jika kita sudi membuka telinga batin, apa yang terdengar adalah sebuah simfoni harapan dan kecemasan. Ada suara petani yang khawatir akan nasib tanahnya, rintihan buruh yang menuntut upah layak, keluhan mahasiswa tentang masa depan pendidikan, dan bisik-bisik rakyat kecil yang terimpit oleh kebijakan yang tak memihak mereka. Semua itu menyatu menjadi gema besar yang menuntut untuk didengar.
Di tengah simfoni itu, berbagai tulisan dan orasi lahir. Spanduk dibentangkan dengan kalimat-kalimat yang lugas sekaligus puitis. Dinding-dinding media sosial dipenuhi argumen yang dibangun dengan data dan hati. Ini adalah ikhtiar kolektif untuk berbicara, untuk menerjemahkan apa yang terasa di dada menjadi kata-kata yang bisa dipahami, menjadi tuntutan yang jelas dan terartikulasi.
Pemandangan yang tersaji pun tak kalah kaya makna. Lautan manusia yang bergerak dalam satu irama, poster-poster kreatif yang menjadi medium kritik jenaka, serta potret-potret wajah lelah namun penuh asa. Semua itu adalah pemandangan nyata yang seharusnya membuka mata, sebuah bukti visual bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan, ada denyut nadi keresahan yang begitu kuat di jantung bangsa ini.
Zaman telah berubah, dan alun-alun tempat rakyat berkumpul kini memiliki kembaran digitalnya. Demonstrasi tidak lagi terbatas pada ruang fisik yang bisa diblokade. Ia merembes ke dalam gawai setiap warga, menciptakan gelombang tekanan yang tak kalah dahsyat. Tagar bisa menjadi kepalan tangan, dan sebuah utas viral mampu berfungsi sebagai mimbar orasi yang menjangkau jutaan orang.
Di sinilah ayat ke-18 dari Surat Al-Baqarah tadi menemukan relevansinya yang paling tajam. Kondisi “tuli” menjelma saat para pemangku kebijakan hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar. Telinga mereka tersumbat oleh bisikan para pembisik istana dan dengung sanjungan, sehingga suara gemuruh dari jalanan dianggap angin lalu, sekadar gangguan yang diorkestrasi oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.
Adapun kondisi “bisu” bukanlah berarti ketiadaan kata-kata. Para pemimpin mungkin saja sering berbicara di podium, menggelar konferensi pers, atau merilis pernyataan resmi. Namun, mereka menjadi bisu ketika lisan mereka tak mampu menyambung dengan hati rakyat. Bahasa mereka menjadi bahasa teknokratis yang kaku, penuh jargon, dan berjarak dari realitas. Mereka berbicara, tetapi tidak berdialog.
Sementara itu, “kebutaan” terjadi ketika penglihatan hanya tertuju pada angka-angka statistik pertumbuhan dan deretan laporan di atas meja. Mata mereka gagal melihat wajah-wajah di balik angka tersebut. Mereka melihat potensi instabilitas dari sebuah aksi massa, namun buta terhadap ketidakadilan sistemik yang menjadi bahan bakarnya. Mereka membaca teks tuntutan, namun tak mampu melihat luka yang melatarinya.
Dalam tradisi pemikiran islam, dialog dan upaya saling memahami (_tabayyun_) adalah kunci. Aksi massa yang tertib sejatinya bukanlah sebuah pemberontakan (_bughat_), melainkan sebuah bentuk nasihat akbar kepada para pemimpin. Ia adalah manifestasi dari kewajiban kolektif untuk menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran (_amar ma’ruf nahi munkar_), yang ditujukan demi kemaslahatan bersama (_maslahah ‘ammah_).
Inti dari frasa “mereka tak akan kembali” adalah sebuah peringatan keras: ketika pemimpin telah sepenuhnya menutup mata dan telinga dari realitas rakyat, ia sedang berjalan menuju titik tanpa harapan untuk pulang. Setiap langkah yang menjauhkannya dari denyut nadi kehidupan warganya adalah langkah menuju kehancuran legitimasinya. Pada akhirnya, jurang antara dirinya dan rakyat menjadi terlalu lebar untuk diseberangi, membuat kepercayaan mustahil dipulihkan.
Tentu, setiap ikhtiar penyampaian aspirasi haruslah dijaga dalam koridor adab dan ketertiban. Aksi-aksi yang diwarnai perusakan fasilitas publik hanya akan menodai niat luhur dari gerakan itu sendiri. Pesan agung dari suara rakyat terlalu berharga untuk dikaburkan oleh tindakan segelintir oknum yang nir-etika. Keadaban dalam berjuang adalah cerminan dari keluhuran tujuan.
Ruang digital sebagai arena baru pun memiliki tantangannya sendiri. Di tengah arus informasi yang deras, hoaks dan fitnah bisa dengan mudah menyelinap, membelokkan isu, dan mengadu domba. Menjaga substansi pesan di tengah riuh rendahnya provokasi digital adalah sebuah kearifan yang harus terus diasah oleh para penggerak perubahan.
Dengan Demikian, ayat tersebut adalah sebuah undangan refleksi, sebuah _muhasabah_ bagi siapa pun yang memegang tampuk kepemimpinan. Apakah telinga ini masih mampu menangkap rintihan yang paling lirih? Apakah lisan ini masih sanggup mengucapkan kalimat yang menenangkan, bukan malah menambah perih? Apakah mata ini masih bisa melihat harapan di tengah kerumunan yang resah?
Surat Al-Baqarah ayat 18 menjadi peringatan abadi. Kekuasaan yang tuli, bisu, dan buta terhadap suara nurani rakyatnya adalah kekuasaan yang sedang berjalan menuju kerapuhannya sendiri. Gema yang membahana dari jalanan dan linimasa bukanlah ancaman, melainkan sebuah panggilan. Panggilan untuk membuka indra, membuka hati, dan kembali ke jalan yang direstui oleh rakyat dan diridai oleh Tuhan.