MPR Pulihkan Nama Presiden Gus Dur, Begini Pidato Lengkap Ibu Sinta Nuriyah

Jakarta, jurnal9.tv -Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) pada Rabu (25/9) secara resmi mencabut Tap MPR nomor II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban presiden RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dengan Ketetapan ini, maka Tap MPR yang dijadikan dasar memberhentikan Gus Dur jadi Presiden dalam Sidang Istimewa MPR RI 2001 tersebut kedudukannya dinyatakan tak berlaku lagi. Salinan Ketetapan ini disampaikan langsung oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo pada istri Gus Dur Ibu Sinta Nuriyah keluarga Gus Dur dalam Acara Silaturahmi Kebangsaan yang digelar di Gedung Nusantara V MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta Pusat, Ahad (29/9). Hadir pula dalam acara ini Prof. Mahfud Md, Prof. Jimly Asshiddiqie, Franz Magnis Soeseno, dr. Umar Wahid, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah, Jazilul Fawaid, Hidayat Nur Wahid, Fadel Muhammad dan sejumlah undangan.

Dalam kesempatan itu, dengan didampingi empat putri Gus Dur, Alissa Wahid, Yenny Wahid, Anita Wahid dan Inaya Wahid, Ibu Sinta Nuriyah menyampaikan pidatonya. Berikut kutipan lengkap pidato bersejarah itu:

Assalamualaikum Wr Wb

Yang terhormat,
Bapak Ketua MPR, Dr. H. Bambang Soesatyo dan para pimpinan MPR serta segenap anggota MPR yang telah hadir.
Para Ketua dan anggota Fraksi
Para tokoh masyarakat, Kawan-kawan media serta hadirin hadirat yang saya hormati.

Pertama-tama izinkan kami keluarga KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk menyampaikan apresiasi atas langkah MPR untuk mencabut Tap MPR Nomor II/MPR/2001. Selama ini Tap MPR tersebut menjadi ganjalan besar bagi kami keluarga Gus Dur dan masyarakat Indonesia lainnya. Tap MPR tersebut telah menjadi keputusan yang seolah menempatkan Gus Dur sebagai seorang pelanggar konstitusi tanpa kami bisa melakukan banding. Seperti tali mati yang tak pernah bisa kami buka simpulnya. Beban yang perlu kami panggul sampai hari ini.

Walaupun dengan lahirnya Tap Nomor I/MPR/2023 mengenai Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, Tap MPR No II/MPR/2001 secara otomatis tidak berlaku, namun pada kenyataannya ia masih dipakai sebagai rujukan oleh pemerintah untuk banyak hal. Salah satunya dalam kaitan kurikulum sejarah yang dipelajari anak-anak di sekolah. Karenanya pencabutan tap MPR No II/MPR/2001 ini kami harapkan dapat menjadi langkah awal sebuah landasan hukum yang lebih mengikat bagi kepentingan rehabilitasi nama baik Gus Dur kedepannya nanti.

Kami paham pencabutan Tap MPR tersebut bersama dengan Tap-Tap MPR yang menjerat Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, dimaksudkan sebagai langkah untuk melakukan rekonsiliasi nasional–sesuatu yang diperjuangkan pula oleh Gus Dur ketika memimpin bangsa hingga akhir hayatnya. Namun, kami berpandangan bahwa rekonsiliasi tetap harus berdasar prinsip keadilan agar bisa efektif diterapkan, bukan sekadar basa-basi politik semata. Kami berharap rekonsiliasi ini dapat berjalan sebagaimana terjadi di Afrika Selatan semasa Nelson Mandela maupun yang terjadi di Timor Leste pasca kemerdekaan. Maka kami keluarga Gus Dur menyambut proses rekonsiliasi ini dengan catatan dilakukan tidak dengan setengah hati.

Dalam konteks Gus Dur, perlu ada pelurusan sejarah bahwa Gus Dur tidak pernah melakukan tuduhan yang dialamatkan kepada Beliau.

Banyak ahli hukum tata negara yang bisa bersaksi bahwa Gus Dur telah mengalami apa yang dinamakan sebagai kudeta parlementer. Sebuah kerancuan proses politik, mengingat Indonesia tidak menganut sistem demokrasi parlementer namun menganut sistem Presidensial. Berbagai tuduhan dialamatkan kepada Gus Dur melalui prosedur yang salah dan saling tabrak, dan sampai detik ini, tidak ada satupun dari tuduhan tersebut terbukti.

Bagi kami yang paling menyakitkan adalah tuduhan seolah Gus Dur telah melakukan tindakan korupsi. Semua orang yang mengenal Gus Dur — dan saya rasa di ruangan ini banyak sekali orang yang pernah secara langsung berinteraksi dengan Gus Dur– bisa bersaksi tentang kesederhanaan Gus Dur. Sampai akhir hayatnya Gus Dur tidak pernah menumpuk harta benda. Lebih ironis, Gus Dur juga telah dijatuhkan karena dianggap tidak patuh pada MPR karena hendak mengangkat kapolrinya sendiri, kewenangan yang menjadi ranah dari kekuasaan eksekutif, dan saat itu hendak dicampuri oleh ranah legislatif. Anomali dalam berdemokrasi inilah yang perlu dikoreksi secara total.

Kami pihak keluarga Gus Dur tidak pernah menyimpan dendam terhadap siapapun yang terlibat dalam pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan. Namun, keluarga Gus Dur berpendapat, penting bagi negara untuk meluruskan sejarah, agar seluruh bangsa bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kudeta terhadap Gus Dur merupakan peristiwa politik pertama ketika presiden yang terpilih secara demokratis dijatuhkan di tengah jalan. Pencabutan Tap MPR tersebut bisa menjadi batu pengingat agar peristiwa yang menimpa Gus Dur tidak terulang kembali. Kami berharap bisa menjadi cermin paling jernih bagi pendewasaan demokrasi di Indonesia agar tidak dipermainkan oleh tangan-tangan kotor.

Momentum pencabutan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 ini juga harus dimanfaatkan untuk mendesakkan berlakunya demokrasi yang esensial di negara ini, bukan demokrasi prosedural yang rentan direkayasa. Dengan begitu, tidak ada lagi pihak-pihak yang dapat dengan bebas melakukan rekayasa politik untuk menjatuhkan kekuasaan yang sah ataupun mengakali demokrasi untuk kepentingan-kepentingan diri dan kelompoknya semata. Apa yang terjadi pada Gus Dur, tidak boleh terulang lagi di negeri ini.

Karena itu kami memandang dua langkah kongkrit yang bisa diupayakan setelah pecabutan Tap MPR Nomor II/MPR/2001:

Pertama, nama Gus Dur segara direhabilitasi dengan mengembalikan nama baik, martabat dan hak-haknya sebagai mantan presiden.
Kedua, segala bentuk publikasi, baik buku pelajaran maupun buku-buku yang menyangkutpautkan penurunan Gus Dur dengan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 mesti ditarik untuk direvisi.

Kami memahami bahwa apa yang kami sampaikan bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Kami memahami realita politik di negara ini dimana banyak elit politik merasa lebih mudah untuk mengabaikan nilai etika moral agar bisa terus berkuasa. Sikap tanpa kompromi seperti yang ditunjukkan Gus Dur pada akhirnya membuat Gus Dur tersungkur dari kekuasaan. Namun, kehilangan kekuasaan ternyata tidak membuat Gus Dur kehilangan cinta dari masyarakat. Kemanapun kami pergi, banyak orang masih berkata baik tentang Gus Dur dan mengenang bahkan merindukan Gus Dur, sehingga makamnya sampai hari ini tak pernah sepi dari peziarah. Sebagian bahkan mempercayai bahwa Gus Dur adalah wali karena banyak ucapan dan tindakannya terbukti sampai sekarang. Hari ini kita bahkan menyaksikan, tangan Tuhan bekerja dalam keajaiban lain, karena negara pada akhirnya melakukan langkah formal untuk memulihkan nama baik Gus Dur.

Satu pelajaran yang bisa dipetik dari semua ini adalah, kita harus selalu percaya, ketika kita memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, keadilan akan datang, walaupun mungkin jalannya sangat lamban. Aturan yang sama berlaku ketika kita melanggar aturan dan mengorbankan rakyat untuk kepentingan kita sendiri. Ini penting untuk kita ingat sebagai pedoman dalam bersikap ketika memimpin bangsa ini. Berjuanglah selalu untuk kepentingan rakyat, kepentingan bangsa dan negaramu. Semoga proses rekonsiliasi ini bisa menjadi obor penerang bagi kemajuan bangsa Indonesia kedepan.

Ijinkan saya untuk menutup sambutan ini dengan mengutip Nelson mandela yang mengatakan :
“Rekonsiliasi tidak berarti melupakan atau mencoba mengubur rasa sakit akibat konflik.”

Terimakasih. Wassalamulaikum Wr Wb.
Atas nama Keluarga Gus Dur,
DR (HC). Shinta Nuriyah Wahid (*)