Bagi seorang perupa seperti saya, Jawa Timur ini bukan sekadar peta dengan batas-batas administratif. Ia adalah kanvas raksasa tempat Sang Pencipta melukiskan keberagaman yang luar biasa. Dari spiritualitas Mataraman hingga keterbukaan masyarakat Pesisir, dari kultur Tapal Kuda yang unik hingga denyut kosmopolitan Surabaya, semuanya adalah sapuan kuas warna-warni yang membentuk wajah provinsi ini. Wajah inilah yang kita sebut rumah.
Namun, belakangan ini, saya merasakan ada hawa yang kian memanas. Langit demokrasi yang kita perjuangkan bersama memang memberikan ruang bagi siapa saja untuk bersuara. Itu adalah berkah yang patut kita syukuri. Akan tetapi, ada kalanya saya merasa miris ketika kebebasan itu diekspresikan dengan cara yang justru merusak keindahan rumah kita sendiri.
Saya berbicara dari sudut pandang seorang pegiat seni dan budaya. Ketenangan dan kedamaian adalah udara yang kami hirup untuk bisa berkarya. Bagaimana mungkin kuas bisa menari di atas kanvas, atau pena bisa merangkai kata-kata bijak, jika di luar sana yang terdengar adalah riuh amarah dan suara benda-benda yang pecah? Seni dan budaya lahir dari kejernihan batin, dan kejernihan itu mustahil hadir di tengah kekacauan.
Tindakan anarkis, siapapun pelakunya dan apapun alasannya, adalah sebuah kemunduran. Ia bukan hanya merusak pagar dan gedung, tapi meruntuhkan pilar-pilar kepercayaan dan rasa aman di antara kita. Dan jangan pernah lupa, korban pertama dari setiap gejolak sosial adalah wong cilik, dulur-dulur kita yang hidupnya bergantung pada roda ekonomi yang berputar lancar setiap hari. Asap di jalanan berarti dapur yang terancam tidak mengepul.
Kita harus sadar betul, Jawa Timur ini adalah etalase, sekaligus jangkar bagi Indonesia. Stabilitas nasional seringkali berkiblat pada kondisi di tanah ini. Percikan api di Surabaya atau di sudut manapun di Jawa Timur, jika kita biarkan dan malah kita siram dengan bensin provokasi, bisa dengan cepat menyambar menjadi kobaran api yang membakar keutuhan kita sebagai bangsa. Tanggung jawab kita tidak main-main.
Para sesepuh, kiai, dan leluhur kita telah mewariskan sebuah DNA kultural yang agung: semangat tepo seliro, kemampuan untuk ber–musyawarah, dan kearifan untuk menyelesaikan masalah di meja dialog, bukan di jalanan.
Lihatlah tradisi cangkrukan kita; di warung kopi sekalipun, perdebatan sengit bisa berakhir dengan tawa dan saling rangkul. Inilah kekuatan kita yang sesungguhnya. Kearifan ini adalah benteng pertahanan kita.
Maka dari itu, melalui tulisan sederhana ini, saya ingin mengetuk hati kita semua. Mari kita eratkan kembali rangkulan kita. Boleh saja kita berbeda pandangan politik, itu wajar. Namun, jangan sampai kita lupa bahwa kita semua adalah saudara, penghuni kanvas besar bernama Jawa Timur.
Mari kita jaga kewarasan bersama. Mari kita rawat kedamaian di kampung dan kota kita. Karena dengan merawat Jawa Timur, sesungguhnya kita sedang menjaga masa depan Indonesia.