OPINI  

Menjernihkan Polemik Kuota Haji 2024

Oleh: Benny Benke, Petugas Haji, Media Centre 2023

Setiap tahun, ibadah haji menjadi salah satu isu publik paling ramai dibicarakan di Indonesia. Dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, wajar jika daftar tunggu haji Indonesia mencapai puluhan tahun di banyak daerah. Kuota terbatas yang diberikan Pemerintah Arab Saudi membuat pengelolaan distribusi kursi haji menjadi pekerjaan pelik sekaligus sensitif. Bagi jutaan calon jamaah, kursi haji bukan sekadar angka, melainkan jalan spiritual yang telah lama mereka tunggu dengan penuh harap dan doa.

Tahun 2024 menjadi babak baru dalam drama panjang kuota haji Indonesia. Pemerintah Arab Saudi memberikan tambahan kuota sebanyak 20 ribu jamaah di luar kuota dasar. Keputusan Menteri Agama untuk membagi tambahan kuota itu dengan komposisi 50 persen bagi haji reguler dan 50 persen bagi haji khusus segera memantik polemik. Media, politisi, hingga aparat penegak hukum terlibat dalam perdebatan sengit: apakah keputusan itu sah, adil, atau justru melanggar hukum dan berpotensi menimbulkan kerugian negara?

Kontroversi semakin memanas ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan adanya penyidikan terkait dugaan penyimpangan dalam pengelolaan kuota haji tambahan. Isu “korupsi kuota haji” langsung menjadi santapan publik. Sebagian menilai Menteri Agama kala itu, Yaqut Cholil Qoumas, menggunakan diskresi di luar aturan. Sebagian lain beranggapan tuduhan tersebut sarat muatan politik dan berlebihan, sebab ada dasar hukum yang jelas bagi setiap langkah kebijakan.

Di tengah hiruk pikuk itu, muncul suara-suara yang mencoba menenangkan dan meluruskan duduk persoalan. Mellisa Anggraini, kuasa hukum Yaqut, menyebut kebijakan tersebut bukanlah pelanggaran, melainkan diskresi yang sah berdasarkan Pasal 9 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji. Sejumlah ahli hukum tata negara juga memberikan pandangan serupa, bahwa tambahan kuota tidak terikat dengan pola 92 persen haji reguler dan 8 persen haji khusus sebagaimana berlaku untuk kuota dasar.

Namun, narasi yang berkembang di ruang publik tidak selalu sederhana. Ada tuduhan praktik kongkalikong dengan biro travel, ada pula klaim kerugian negara hingga Rp1 triliun. Di sisi lain, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru menemukan efisiensi ratusan miliar rupiah dalam penyelenggaraan haji 2024. Pertentangan data, tafsir hukum, dan kepentingan politik membuat isu ini semakin kompleks.

Untuk itu, penting bagi publik mendapatkan gambaran yang jernih, seimbang, dan utuh. Kuota haji tidak boleh dipandang semata-mata sebagai objek politik atau sumber sengketa hukum, melainkan sebagai amanah besar yang menyangkut hak umat. Esai ini mencoba menghadirkan uraian komprehensif tentang duduk soal kuota haji 2024, berdasarkan sudut pandang hukum, teknis, ekonomi, dan moral.

Landasan Hukum: Diskresi Menteri dalam Sorotan

Polemik utama kuota haji 2024 berawal dari perbedaan tafsir atas dasar hukum pembagian tambahan kuota.

Dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terdapat dua ketentuan penting yang sering dikutip:

1. Pasal 8 dan Pasal 64: mengatur komposisi kuota dasar, yaitu 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.

2. Pasal 9: memberi kewenangan kepada Menteri Agama untuk menetapkan kuota tambahan, bila ada tambahan dari Pemerintah Arab Saudi setelah kuota dasar ditetapkan.

Perbedaan terletak pada ruang lingkup pasal-pasal tersebut. Pasal 8 dan Pasal 64 hanya berlaku untuk kuota dasar tahunan, sedangkan Pasal 9 secara eksplisit mengatur kuota tambahan. Dengan demikian, aturan 92:8 tidak otomatis berlaku pada tambahan kuota.

Pakar hukum tata negara Dr. Oce Madril menegaskan hal ini dengan lugas. Menurutnya, Pasal 9 memberi dasar hukum atributif kepada Menteri Agama untuk menetapkan jumlah dan proporsi pembagian kuota tambahan tanpa harus mengikuti pola kuota dasar. Bahkan, Pasal 9 ayat (2) memberi kewenangan menteri mengatur mekanisme pengisian melalui Peraturan Menteri.

Diskresi ini kemudian dilaksanakan melalui Permenag Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Haji Reguler dan Permenag Nomor 6 Tahun 2021 tentang Haji Khusus. Kedua regulasi itu membuka ruang bagi menteri untuk menyesuaikan proporsi kuota tambahan sesuai kondisi lapangan, termasuk aspek keselamatan, akomodasi, dan kapasitas layanan di tanah suci. Permenag ini lazim disebut PMA.

Dengan dasar ini, Keputusan Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan Tahun 1445 H/2024 M berada pada posisi yang kuat secara hukum. Oce Madril menilai tindakan tersebut merupakan bentuk diskresi yang sah, tidak bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang. Pasal 17 dan 18 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pun menegaskan, tindakan pejabat tidak dianggap melampaui kewenangan selama ada dasar hukum yang jelas.

Padahal, dalam praktik administrasi negara, diskresi merupakan hal yang lumrah, terutama ketika dihadapkan pada situasi darurat atau kebutuhan teknis di lapangan. Diskresi bukan berarti kebebasan tanpa batas, melainkan ruang legal untuk mengambil keputusan di luar norma umum dengan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas.

Dengan demikian, polemik hukum seputar kuota haji tambahan sejatinya lebih merupakan persoalan tafsir dan komunikasi. Jika semua pihak mau jujur membaca teks undang-undang secara utuh, dasar legalitas keputusan Menteri Agama seharusnya tidak menjadi masalah besar.

Antara Regulasi dan Realitas Lapangan

Mengatur jutaan calon jamaah haji Indonesia bukanlah sekadar menyesuaikan angka kuota di atas kertas. Di balik itu, terdapat serangkaian faktor teknis, syariah, dan logistik yang sangat kompleks. Inilah salah satu alasan kenapa diskresi menteri dalam pembagian kuota tambahan menjadi sesuatu yang niscaya.

Pertama, aspek kesiapan pelayanan. Haji reguler dilaksanakan dengan mekanisme besar-besaran, dari keberangkatan kloter, penempatan di maktab, hingga layanan konsumsi. Tambahan kuota 10 ribu jamaah reguler dalam waktu singkat tentu memerlukan penyesuaian kapasitas di embarkasi, asrama haji, maskapai penerbangan, hingga petugas lapangan. Jika tidak dikelola dengan cermat, tambahan kuota justru bisa menurunkan kualitas layanan yang sudah dipersiapkan bertahun-tahun.

Sebaliknya, haji khusus memiliki mekanisme lebih fleksibel. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) bisa mengatur sendiri akomodasi, transportasi, dan konsumsi jamaah. Karena itu, tambahan kuota 10 ribu untuk haji khusus relatif lebih mudah dikelola secara teknis. Dengan cara ini, kedua sisi—reguler dan khusus—bisa sama-sama menerima manfaat tambahan kuota tanpa mengorbankan kualitas layanan.

Kedua, aspek syariah dan keadilan. Dalam Islam, prinsip keadilan bukan berarti semua orang mendapat jumlah yang sama, melainkan setiap orang mendapat bagian sesuai kebutuhannya. Jika kuota tambahan hanya diberikan seluruhnya kepada jamaah reguler, maka potensi layanan yang tidak optimal bisa menjadi masalah syariah: jamaah tidak memperoleh kenyamanan dan kemaslahatan dalam ibadah.

Ketiga, aspek darurat dan kedaruratan waktu. Tambahan kuota biasanya datang mendadak, bahkan hanya beberapa bulan sebelum keberangkatan. Waktu persiapan yang sempit memaksa pemerintah untuk mengambil keputusan cepat. Dalam konteks ini, diskresi menteri adalah bentuk ijtihad administratif untuk menjawab kondisi darurat.

Faktor-faktor tersebut memperlihatkan bahwa persoalan kuota haji bukan sekadar angka, melainkan juga menyangkut manajemen layanan dan prinsip kemaslahatan umat. Inilah yang kerap luput dari perdebatan publik, karena banyak orang terjebak pada logika matematis 92:8 tanpa mempertimbangkan realitas lapangan.

Tuduhan Korupsi, Politik, dan Kontestasi Narasi

Polemik kuota haji 2024 semakin memanas ketika isu hukum masuk ke dalam pusaran. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan adanya penyelidikan terkait dugaan penyimpangan dalam pembagian tambahan kuota. Media massa langsung memberitakan dengan tajuk sensasional: “Kuota Haji Disunat”, “Kerugian Negara Rp1 Triliun”, hingga “Jual Beli Kuota Haji”.

Namun, ketika ditelusuri lebih dalam, klaim tersebut tidak sepenuhnya akurat. Misalnya, angka kerugian Rp1 triliun dihitung berdasarkan asumsi bahwa tambahan kuota 20 ribu jamaah seharusnya mengikuti pola 92:8. Dari sini, lalu muncul klaim bahwa 1.600 kursi haji khusus “kelebihan” dan menghasilkan potensi keuntungan biro travel. Padahal, secara hukum, pembagian kuota tambahan tidak wajib mengikuti pola tersebut.

Lebih jauh, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru menemukan hal berbeda. Dalam audit penyelenggaraan haji 2024, BPK mencatat adanya efisiensi sebesar Rp601 miliar pada layanan haji reguler. Artinya, tidak hanya tidak ada kerugian negara, bahkan ada penghematan yang signifikan. Temuan BPK ini jarang disorot media, padahal data inilah yang lebih otoritatif dibandingkan spekulasi.

Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa isu haji juga sarat dengan muatan politik. Posisi Menteri Agama selalu strategis, terlebih ketika menjelang kontestasi politik nasional. Yaqut Cholil Qoumas yang dikenal sebagai tokoh NU tentu menjadi sasaran empuk serangan politik, baik dari kelompok oposisi maupun pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan haji.

Narasi korupsi kuota haji dengan cepat menjadi amunisi politik. Di ruang publik, tuduhan ini menimbulkan persepsi negatif yang sulit diluruskan. Padahal, dalam konteks hukum tata negara, diskresi yang dijalankan menteri masih dalam koridor legal.

Kondisi ini memperlihatkan betapa kuota haji telah berubah menjadi arena kontestasi narasi. Di satu sisi, ada narasi hukum dan regulasi yang menjelaskan sahnya diskresi. Di sisi lain, ada narasi politik dan media yang menggiring opini publik pada dugaan penyimpangan. Pertarungan narasi inilah yang membuat polemik kuota haji 2024 semakin berlarut-larut.

Refleksi, Moralitas, dan Jalan ke Depan

Polemik kuota haji 2024 membuka mata kita tentang banyak hal. Ia bukan sekadar soal angka tambahan 20 ribu jamaah, tetapi juga menyangkut kepercayaan publik, transparansi birokrasi, tafsir hukum, dan bahkan legitimasi politik.

Di satu sisi, publik berhak menuntut agar setiap keputusan penyelenggaraan haji dilakukan dengan akuntabel. Sayangnya, karena ketiadaan kepastian hukum. Dan aparat menggunakan isu haji sebagai isu seksi untuk membunuh karir seseorang, maka terjadilah proses hukum yang berlarat-larat seperti sekarang.

Kita maklum, ibadah haji adalah rukun Islam kelima, dan bagi mayoritas Muslim Indonesia, ia adalah puncak ibadah seumur hidup. Tidak ada toleransi bagi penyalahgunaan kewenangan, apalagi korupsi. Kecurigaan publik yang mencuat karena isu kuota tambahan sesungguhnya mencerminkan kerinduan umat pada tata kelola haji yang bersih.

Namun di sisi lain, kita juga perlu jujur mengakui bahwa pengelolaan kuota haji bukan pekerjaan sederhana. Diskresi menteri dalam konteks tambahan kuota bukanlah bentuk kesewenang-wenangan, melainkan ijtihad administratif untuk menjawab kebutuhan darurat.

Seperti dijelaskan dalam bagian sebelumnya, tambahan kuota sering datang tiba-tiba dari pemerintah Arab Saudi. Dalam kondisi demikian, yang diperlukan bukanlah kalkulasi matematis semata, melainkan pertimbangan teknis, syariah, dan kemaslahatan jamaah.

Lebih jauh, jika kita tarik ke dalam kerangka besar syariat Islam, maka prinsip hifdzun nafs (perlindungan jiwa) dan maslahah mursalah (kemaslahatan umum) seharusnya menjadi pijakan utama. Menyediakan layanan haji yang aman, nyaman, dan bermartabat adalah bagian dari kewajiban syar’i. Jika tambahan kuota dipaksakan seluruhnya ke reguler tanpa kesiapan logistik, justru akan mengorbankan keselamatan jamaah.

Dalam kerangka ini, tuduhan korupsi yang muncul harus dilihat secara hati-hati. Audit BPK yang mencatat adanya efisiensi Rp601 miliar pada penyelenggaraan haji 2024 membuktikan bahwa narasi kerugian Rp1 triliun tidak sepenuhnya berdasar. Bahkan, jika benar ada oknum biro travel yang mencoba mengambil keuntungan dari kuota tambahan, maka itu seharusnya menjadi isu penegakan hukum sektoral, bukan tuduhan sistemik pada Kementerian Agama.

Di sinilah pentingnya keseimbangan narasi. Media, akademisi, dan masyarakat sipil perlu berhati-hati agar tidak terjebak pada framing politik yang membabi buta. Kritik tentu sah dan penting, tetapi harus didasarkan pada data yang terverifikasi, bukan asumsi atau kalkulasi sepihak.

Bagi pemerintah, kasus ini juga menjadi pelajaran strategis. Pertama, perlu ada regulasi turunan yang lebih jelas terkait mekanisme distribusi kuota tambahan. Dengan begitu, perdebatan hukum seperti tahun 2024 bisa dihindari. Kedua, transparansi harus ditingkatkan—misalnya dengan mempublikasikan secara rinci alokasi tambahan kuota, dasar pertimbangannya, serta dampaknya bagi jamaah.

Selain itu, Kementerian Agama perlu memperkuat komunikasi publik. Banyak kesalahpahaman terjadi karena penjelasan resmi kurang cepat atau kurang gamblang. Jika informasi terbuka sejak awal, maka ruang spekulasi politik bisa dipersempit.

Lebih jauh, ada juga dimensi moralitas yang tak boleh diabaikan. Haji adalah ibadah yang penuh kesakralan. Mengotori ibadah ini dengan intrik politik, fitnah, atau korupsi adalah bentuk penghinaan terhadap agama itu sendiri. Semua pihak—pemerintah, DPR, biro travel, bahkan media—seharusnya menjunjung tinggi kesucian haji (BB).