Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Kabar duka menyelimuti keluarga besar Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif. Pada Rabu, 9 Juli 2025, sekitar pukul 11.23 WIB, KH. Ahmad Wazir Ali telah berpulang ke rahmatullah. Sosok ulama kharismatik, pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Asrama Sunan Ampel Putri itu tutup usia, meninggalkan duka mendalam di hati para santri, alumni, dan keluarga besar pesantren.
Beliau bukan hanya pengasuh dan guru. Bagi kami, para santri, beliau adalah ayah. Saking dekat dan hangatnya perhatian beliau, kami memanggilnya ayah. Beliau tidak sekadar membimbing kami dalam ilmu agama, tetapi juga hadir sebagai tempat pulang bagi kami yang rapuh, salah arah, dan haus kasih sayang dalam perjuangan menuntut ilmu.
Saya masih sangat mengingat pertama kali menginjakkan kaki di Madrasah Mu’allimin Mu’allimat (MAMM) Mamba’ul Ma’arif pada tahun 2005. Saat itu, KH. Ahmad Wair Ali menjabat sebagai Kepala Madrasah setelah sebelumnya memimpin Lembaga Bahasa Arab dan Inggris (LBAI). Saya datang sebagai santri yang penuh kekurangan, termasuk dalam capaian pelajaran. Di masa MTs saya termasuk santri yang nakal, bahkan kerap membolos ngaji.
Karena merasa tertinggal dan tidak percaya diri, saya sempat berpikir untuk pindah dari Asrama Sunan Ampel ke asrama lain yang santrinya banyak belajar di MAMM. Namun, ketika saya sowan dan menyampaikan niat itu, beliau justru “ngaboti” saya untuk tetap bertahan. Bahkan, beliau dengan tulus menyediakan waktunya sendiri untuk mengajari saya ngaji secara pribadi setiap Selasa pagi ba’da Subuh, saat tidak ada kegiatan ngaji al-Qur’an. Dari momen itulah saya belajar, bukan hanya ilmu, tapi juga kasih sayang, kesabaran, dan keteladanan sejati dari seorang guru sejati.
Kebersamaan kami dipenuhi banyak kenangan. Beliau dikenal dengan gurauan khasnya, yang selalu mengandung nilai. Salah satu yang masih terpatri dalam ingatan adalah bagaimana beliau bersyukur dengan kehadiran istri tercintanya, Bu Nyai Halimah Ahmad. Beliau sering berseloroh dengan wajah sumringah, “Bu Nyai Halimah itu cantik, dan ketika menikah dengan saya, itu bentuk kesabaran. Sedangkan saya menikahinya adalah bentuk rasa syukur. Dan orang yang sabar serta bersyukur itu akan masuk surga lebih dulu.” Gurauan yang menyentuh, menunjukkan kedalaman cintanya.
Pernah suatu ketika saya melanggar aturan asrama dengan mengikuti kegiatan olahraga beladiri yang kala itu dilarang karena dinilai banyak mudaratnya. Saya memberanikan diri sowan dan meminta maaf. Tapi yang terjadi justru beliau menyalahkan diri sendiri. “Mungkin ini salah saya, Jib (panggilan beliau kepada saya Mochammad Fuad Nadjib),” dawuh beliau dengan lirih. “Tirakat saya kurang, puasa saya kurang, bangun malam saya kurang. Sehingga hati para santri belum bisa halus kepada pengasuhnya.” Kalimat itu menusuk hati saya. Betapa rendah hatinya beliau, kesalahan santri pun beliau tanggungkan pada dirinya sendiri.
Kebiasaan beliau yang paling mengesankan adalah tidak makan pada malam hari. Suatu malam, saat saya memijat beliau, beliau berkata, “Kalau malam saya tidak berani makan, khawatir nanti tidak bisa bangun malam. Lalu siapa yang akan mendoakan para santri?” Hati saya runtuh mendengar itu. Beliau adalah pengasuh yang tidak tidur sebelum memastikan ruhani santri-santrinya dalam penjagaan doa.
Kini beliau telah tiada. Namun teladan, cinta, dan ilmu beliau abadi dalam sanubari kami. Dalam setiap sujud kami, ada rindu untuk sosok yang tak pernah lelah mendidik dengan kasih sayang. Dalam setiap huruf yang kami eja dari kitab kuning, ada keberkahan dari doa-doa malam beliau yang tidak makan agar bisa bangun mendoakan kami.
Selamat jalan, Ayah kami, KH. Ahmad Wazir Ali. Semoga Allah menempatkan engkau di tempat terbaik di sisi-Nya. Engkau tidak hanya telah mengajari kami membaca dan menulis, tetapi juga mengajarkan makna hidup dan keikhlasan yang sebenar-benarnya.
Al-Fatihah.