TOKOH  

Mengenal Lebih Dekat Prof KH M Ali Yafie

Surabaya, Jurnal9.tv – Prof KH M Ali Yafie, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tahun 1991-1992 tersebut menghembuskan nafas terakhirnya di usia 92 tahun di hari Sabtu (25/02/2023) di Rumah Sakit Premier Bintaro, Tangerang Selatan, Banten.  Kabar tersebut telah menyisakan duka yang mendalam bagi warga Nahdliyin dan Warga Indonesia.

Prof KH. M Ali Yafie adalah kiai yang lahir pada 1 September 1926 di Donggala, Sulawesi Selatan. Yang mana pada tanggal tersebut bertepatan pada hari istimewa warga Nahdliyin yakni adanya perhelatan Acara Muktamar NU yang pertama kali.

Syekh Muhammad Al- Yafie dan Imacayya adalah orang tua beliau. Prof KH. M Ali Yafie lahir di keluarga yang kental akan ajaran-ajaran islam. Hingga beliau pun menekuni pekerjan Sebagai hakim Pengadilan Agama Ujung Pandang  pada 1959-1962. Lalu dilanjut dengan melanjutkan karier hidupnya dengan menuju Inspektorat Pengadilan Agama Indonesia Timur pada tahun 1962-1965.

Perjuangan Prof KH. M Ali Yafie tidak serta-merta berhenti pada Inspektorat saja, beliau pun turut terjun di dunia Pendidikan dengan menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuludin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ujung Pandang. Barulah beliau menduduki kursi jabatan di NU dengan menyandang Wakil Rais Aam PBNU pada Muktamar 1989 di Krapyak.

Prof KH. M Ali Yafie sempat mendapatkan sebuah amanah sebagai PJ  Rais Aam PBNU di tahun 1991-1992. Dan beliau pun menlanjutkan jenjang kariernya dengan menjabat sebagai Ketua Umum MUI di tahun 1998-2000 dan sekaligus menjabat Rektor Institut Ilmu Al Quran (IIIQ) Jakarta pada 2002-2005.

Ketekunan dan keilmuan Prof KH. M Ali Yafie  tidak dapat diragukan lagi. Sepak terjang itu menjadi bukti atas keilmuan beliau.

Dilansir dari nu.or.id. Gus Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCINU Australia-Newa Zealand mengaku pernah melihat secara langsung beliau melangsungkan perdebatan ilmiah antara KH. Ma’ruf Amin dengan Prof KH. M Ali Yafie tentang Haji.

“Dengan santun tapi tegas, keduanya menyampaikan argumen fiqih masing-masing”. Kenang Guru Besar Hukum di Universitas Monash Australia itu.

“Semoga akan muncul penerus kepakaran beliau dari rahim Ibu Pertiwi, yang santun, alim, lentur dalam berpendapat tapi kokoh dalam bersikap. Selamat jalan Kiai,” pungkas Gus Nadir. (muk/snm)