Salah satu ulama Pasuruan yang memiliki kontribusi nasional pada masa kolonial, namun tak banyak dibincang di era sekarang adalah sosok KH. Abdoerrochman dari Legi, Pasuruan. Beliau memiliki jasa dan peranan yang tidak kecil dalam Nahdlatul Ulama – organisasi Islam kalangan bermadzhab terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Selain itu, ia juga menjadi salah satu anggota pertama Hof voor Islamietische Zaken atau Mahkamah Islam Tinggi yang menjadi cikal bakal Peradilan Agama dewasa ini.
Peranan besar Kiai Abdoerrochman tersebut, nyaris tersembunyi di balik lipatan-lipatan arsip dan dokumen tua. Kenangan yang tersisa sebatas potongan kisah yang secara turun temurun tanpa adanya proses verifikasi yang memadai. Dari dua sumber tersebutlah, mozaik kehidupan dari Kiai Abdoerrochman berikut ini disusun.
Kiai Abdoerrochman merupakan putra dari Kiai Alawi. Terlahir di Desa Jatirejo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan. Tak banyak yang diketahui tentang latar belakang keluarga tersebut. Dalam catatan Gunsiekanbu dalam Orang Indonesia jang Terkemoeka di Djawa (1944: 136) disebutkan jika ia lahir pada “Shafar 2546”. Shafar sendiri merupakan bulan kedua dalam sistem kalender hijriyah. Sedangkan tahun 2546 adalah tahun dalam sistem kalender Jepang yang diacu oleh buku tersebut. Jika dikonversi ke masehi, maka sama dengan 1886. Dari dua indikasi ini, besar kemungkinan, Kiai Abdoerrochman lahir pada Shafar 1304 H atau November 1886 M.
Masih merujuk data yang sama, Abdoerrochman muda juga tercatat menempuh pendidikan di sejumlah pesantren. Ia mengawalinya dari Pesantren Patemon atau Temon, sekitar 7 KM dari kampung halamannya. Saat itu, diasuh langsung oleh pendirinya yang bernama KH. Abdul Latif atau dikenal dengan julukan Kiai Temon (W. 20 Shafar 1351/ 4 Juli 1932). Karena terdapat normalisasi sungai, menurut keterangan dari Gus Lutfi bin Adnan (cicit Kiai Temon), lokasi pesantren bergeser ke kampung sebelahnya. Kini, dikenal dengan nama PP. Fathul Latif yang beralamat di Dusun Panjen, Desa Patugurun, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Pasuruan.
Menurut keterangan dari Kiai Basith Cholil (cucu Kiai Abdoerrochman) yang mendapatkan cerita dari Amirah (kerabat dekat Kiai Abdoerrochman), konon sebelum masuk pesantren, Abdoerrochman kecil ini berbuat iseng. Ia memotong rambut seorang istri pejabat tingkat kawedanan (kecamatan) yang sedang tertidur pulas. Akibatnya, sang suami marah besar dan memburu pelakunya. Hal ini kemudian, membuat Kiai Alawi, ayahnya, lantas memondokkan Abdoerrochman kecil ke Pesantren Patemon.
Dari Pesantren Patemon inilah, Abdoerrochman lantas melanjutkan petualangannya menuntut ilmu ke beberapa pesantren. Di antaranya yang tertulis adalah Pesantren Bangkalan. Dalam catatan Gunseikanbu tak disebut secara spesifik di mana Abdoerrochman belajar semasa di Madura. Akan tetapi, dari catatan Syaikh Yasin Al-Padani dalam manaqib Kiai Muhammad Kholil al-Bangkalani/ Madura (Manuskrip tidak diterbitkan) menyebutkan dalam halaman keenam sejumlah daftar murid Syaikhona Kholil. Salah satunya, dalam urutan ke-26 adalah nama Syaikh Abdoerrochman, Legi, Pasuruan.
Catatan Syaikh Yasin al-Padani tersebut diperkuat dengan pemberitaan dalam surat kabar Pemandangan, No. 260, Tahun VI, Senin, 20 November 1938 yang memberitakan tentang pelaksanaan haul Syaikhona Kholil Bangkalan. Dalam kabar tersebut, disebutkan salah satu santri Syaikhona Kholil yang diminta untuk menuliskan tentang manaqib gurunya adalah Kiai Abdoerrachman Betawi. Nama ini, tak lain adalah Kiai Abdoerrochman Legi, Pasuruan yang telah menjadi pejabat di Jakarta (Betawi). Hal ini diperkuat dengan dokumen “Comite Holnja Almarhoem Kjai Moehammad Chalil Bangkalan (Madoera)” yang menceritakan jika Kiai Abdoerrochman selaku pejabat di Hof voor Islamietische Zaken mengirimkan surat kesaksian atas figur gurunya tersebut. (Baca status Facebook Kholili Kholil, 3 Agustus 2025).
Serampungnya di Madura, Abdoerrochman tabarukkan kepada Syaikh Ya’qub bin Hamdani di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Sebagaimana umumnya santri Syaikhona Kholil lainnya, tak sedikit pasca belajar kepada dirinya, diminta untuk menuntut ilmu juga ke pesantren-pesantren yang dulu pernah ditempati belajar oleh Syaikhona Kholil.
Sekitar tahun 1910, Kiai Abdoerrochman kemudian melanjutkan pendidikannya ke Mekkah. Dalam kenangan keluarga, ia bersahabat karib dengan KH. Abdul Wahab Chasbullah selama menuntut ilmu di tanah Hijaz tersebut. Titi mangsa yang tertulis di data Gunseikanbu tersebut, memang sesuai dengan masa belajar Kiai Wahab di Mekkah. Hal ini, misalnya, ditulis oleh Safrizal Rambe, Sang Penggerak Nahdlatul Ulama: KH. Abdul Wahab Chasbullah, Sebuah Biografi (2020: 41). Hal ini mengindikasikan jika Kiai Abdoerrochman kala itu, juga belajar kepada sejumlah ulama ternama yang mukim di Mekkah. Baik dari Timur Tengah maupun para ulama Nusantara yang bermukim di sana. Seperti halnya Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Mahfudz at-Tarmasy, Syaikh Said Al-Yamani, Syaikh Said Ahmab bin Bakri Satha dan para ulama lainnya.
Sebagaimana diungkapkan oleh KH. Abdul Halim Leuwimunding dalam nazam Sejarah Besar NU, di saat berada di Mekkah, Kiai Abdul Wahab memiliki perhatian serius terhadap dunia pergerakan Islam dunia, lebih-lebih di Nusantara. Di antaranya adalah mengikuti dinamika tumbuhnya organisasi Sarekat Islam. Perhatian Kiai Wahab tersebut, besar kemungkinan juga menjadi perhatian dari Kiai Abdoerrochman di sana. Tak ayal, sepulangnya ke tanah air, sebagaimana nanti akan disinggung, Kiai Abdoerrochman terlibat aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama yang salah satu pendirinya adalah KH. Abdul Wahab.
Sepulangnya ke Jawa, Kiai Abdoerrochman menikah dengan Khodijah, masih memiliki hubungan saudara dengan Nyai Chunnah, istri pertama dari KH. Yasin bin Rois, Pasuruan. Tak ayal, dari hubungan kekerabatan ini, kemudian dalam Gunseikanbu, disebutkan jika sepulangnya dari Mekkah pada 1915, Kiai Abdoerrochman lantas mengajar di Kebonsari. Yang dimaksud di sini adalah Pesantren Sunniyah, Kebonsari, Pasuruan yang kala itu dikelola oleh Kiai Yasin bin Rois.
Pesanten As-Sunniyah, Kebonsari ini bukanlah pesantren yang menutup diri terhadap dinamika zaman. Hal ini ditandai dengan mendirikan Madrasah Sunniyah sebagai lembaga pendidikan baru di masa itu. Madrasah ini memiliki sebuah gedung yang cukup megah di masanya yang diupayakan oleh sebuah perkumpulan bernama Jam’iyatul Ikhwan (SNO, No. 4 Tahun I, Rabiul Akhir 1346 H, Hal. 83-4). Selama mengajar di Kebonsari itu, Kiai Abdoerrochman tinggal di Kampung Legi yang kini berada di kawasan administratif Kelurahan Bugul Kidul, Kota Pasuruan. Tak ayal di berbagai dokumen kemudian namanya kerap disebut sebagai Kiai Abdoerrochman Legi.
Dengan latar belakang demikian, Kiai Abdoerrochman lantas turut aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Selain didirikan oleh para sejawat – sealmamater, seperti KH. Hasyim Asy’ari an KH. Abdul Wahab Chasbullah, juga memiliki kesamaan visi dengan Kiai Abdoerrachman. Visi tersebut adalah memajukan Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Nusantara, di antaranya dengan mendirikan madrasah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kiai Wahab dengan mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathon, Madrasah Taswirul Afkar dan seterusnya sebelum mendirikan NU.
Berkhidmat di NU: Dari Pasuruan hingga HBNO
Nahdlatul Ulama sebagaimana diketahui didirikan pada 16 Rajab 1334 H/ 31 Januari 1926 di Surabaya. Ada banyak pihak yang turut hadir dalam pertemuan tersebut. Dalam catatan dari KH. Umar Burhan (manuskrip tidak diterbitkan), tak kurang dari 200 orang yang hadir dari JawaMadura. Tak terkecuali para saudagar dari sejumlah pasar di Surabaya.

Dari 200 orang yang hadir, besar kemungkinan Kiai Abdoerrochman menjadi salah satu yang hadir dalam pertemuan tersebut. Belum ada catatan pasti memang tentang siapa-siapa saja yang hadir kala itu. Sampai saat ini, hanya klaim dari masing-masing pihak yang meyakini jika namanama yang populer sebagai salah satu pihak yang turut hadir.
Dugaan akan kehadiran Kiai Abdoerrochman dalam pertemuan tersebut, terindikasi dari catatan Gunseikanbu. Catatan yang bersumber dari formulir yang diisi langsung oleh yang bersangkutan itu menyebutkan jika ia telah aktif di Nahdlatul Ulama sejak 1926. Akan tetapi, sejauh penelusuran yang dilakukan oleh penulis, belum ditemukan data lain yang menguatkan. Hingga Muktamar II NU (1928), nama ulama terkemuka dari Pasuruan yang hadir dalam kegiatan NU adalah KH. Mas Nawawi dan KH. Abdullah bin Yasin. Meski bukan berarti hanya dua orang itu saja yang datang dari Pasuruan (SNO, No. 4, Tahun I, Rabiul Akhir 1346 H, Hal. 73).
Akan tetapi, terlepas dari hal tersebut, Kiai Abdoerrochman merupakan salah satu tokoh yang merintis NU di Pasuruan. Sejak HBNO memutuskan untuk mendirikan Cabang NU di berbagai daerah pada 4 Mei 1928, Pasuruan merupakan generasi awal daerah yang mendirikan kepengurusan Cabang.
Dalam catatan penulis, Pasuruan merupakan Cabang NU kedelapan yang berdiri pada masa itu. Bahkan, dibandingkan dengan cabang yang lain, NU Pasuruan ini berdiri atas inisiatif lokal. Bukanlah dikarenakan kunjungan dari pengurus Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO/ PBNU) ke suatu daerah lantas mendirikan Cabang NU. Akan tetapi, diawali oleh pertemuan sejumlah tokoh setempat yang kemudian bermufakat mendirikan Cabang NU (Baca: Ayung Notonegoro, Cabang Pasuruan: Generasi Awal NU di Daerah, nupasuruan.or.id).
Cabang NU Pasuruan sendiri pertama kali didirikan atas kesepakatan sejumlah ulama dan tokoh setempat dalam musyawarah yang dihelat Senin malam, 2 Rabiul Tsani 1347 H di kediaman KH. Mas Musthafa, Kebonagung. Dalam musyawarah tersebut, tersusun jajaran syuriyahnya. Sedangkan jajaran tanfidziyahnya akan disusun di kemudian hari. Kabar yang dimuat dalam Swara Nahdlatoel Oelama (SNO), No. 1 Tahun II itu, memuat jajaran syuriyah sebagai berikut: KH. Chuzaimi, Tambaan (Rais), KH. Abdurrahman, Legi (Wakil Rais), KH. Zainal Abidin, Grogolan (Katib) dan KH. Mas Musthafa, Kebunagung (Mustasyar).
Meskipun dalam musyawarah pembentukan Cabang NU Pasuruan tersebut, Kiai Abdoerrochman sekadar ditunjuk sebagai Wakil Rais, akan tetapi beliau kemudian memainkan peran signifikan dalam pergerakan Nahdlatul Ulama. Hal ini terbukti sebagaimana dilihat dalam Muktamar III NU yang dilaksanakan di Surabaya pada 8 – 10 September 1928. Dalam muktamar tersebut, Pasuruan hadir sebagai Cabang NU bersama dengan lima Cabang NU lainnya yang telah berdiri pada masa itu. Di mana dalam daftar hadir para ulama terkemuka dari berbagai daerah yang tercatat, justru nama Kiai Abdoerrochman yang tertulis (SNO, No. III Tahun II, Rabiul Awal 1347 H, Hal. 45).
Sejak Muktamar III NU tersebut, nama Kiai Abdoerrochman senantiasa tercatat sebagai utusan dari NU Cabang Pasuruan. Setidaknya hingga Muktamar XII NU di Malang (1937). Hanya di muktamar ke-6 dan ke-7, belum ditemukan ada catatan para peserta yang hadir, sehingga tidak bisa memastikan kehadirannya. Meskipun besar kemungkinan beliau juga hadir.
Kehadiran Kiai Abdoerrochman dari muktamar ke muktamar terlihat aktif. Tak sekadar datang saja. Hal ini, tampak misalnya, dari keterpilihan beliau dalam majelis-majelis khusus. Seperti pada Muktamar ke-4 NU, ia tercatat sebagai anggota lajnah khusus dalam membahas salah satu kebijakan pemerintah kolonial kala itu (SNO. No. 10 Tahun II, Syawal 1347 H, hal. 193). Pada Muktamar V NU, beliau juga tercatat sebagai salah satu A’wan (pembantu) Majelis Rabi’ bersama dengan para kiai lainnya, seperti KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Maksum Jombang, Kiai Yasin Menes, Banten, dan beberapa kiai lainnya (SNO, No. 4 Tahun III, Rabiul Akhir 1348 H, hal. 83).
Puncaknya pada Muktamar IX NU di Banyuwangi (1934), Kiai Abdoerrochman mulai mendapat kedudukan dalam struktur PBNU. Saat itu, ia diberikan dua amanah sekaligus. Yang pertama, sebagai A’wan HBNO/ PBNU. Sedangkan yang kedua diamanati sebagai rais (ketua) Lajnah Ishlahu Dzatubain – sebuah lembaga di NU untuk menyelesaikan berbagai sengketa di internal organisasi (SNO, No. 6 Tahun IV, Jumadil Akhir 1348 H, hal. 111).
Bahkan, pada Muktamar ke-XI NU di Banjarmasin (1936), beliau dipercaya untuk menyampaikan sambutan atas nama Rais Akbar KH. Hasyim Asy’ari yang berhalangan hadir kala itu. Dalam majalah Berita Nahdlatoel Oelama (BNO), No. 18-19, Tahun V, 15 Juli – 1 Agustus 1936, halaman 2 ditulis intisari pidato beliau sebagai berikut: “…Bahwa lelah pajah kita ini tiada lain dari pada karena boeat mendjoengjoeng tinggi titah Toehan seroe sekalian alam, mendjalankan amar ma’roef dan nahi moenkar…”
Kepercayaan demi kepercayaan yang diraih oleh Kiai Abdoerrochman dalam berbagai muktamar tersebut, besar kemungkinan juga dipicu oleh kinerjanya yang cukup baik dalam mengembangkan NU Cabang Pasuruan. Saat itu, beliau telah menggantikan peran dari Kiai Chuzaimi dari posisi sebagai Rais Syuriyah. Seperti halnya terekam dalam laporan Muktamar keX NU di Surakarta (1935). Dalam laporan tersebut disebutkan perkembangan NU Pasuruan sebagai berikut (SNO, No. 11 Tahun IV, Dzulqaidah 1349 H, hal. 7:
“(Cabang Pasuruan) utusan Kiai Haji Muhammad menerangkan yang dulu Kring [ranting] ada (18), sekarang (29). Sentral Kring [MWC] baru satu. Yang masuk menjadi anggota Anshor Nahdlatul Ulama ada (96), Nashihin dijalankan oleh (28). Anshor Nahdlatul Ulama mengadakan amal zakat fitrah, shadaqah kepada faqir miskin, mengumpulkan baju-baju dan kain-kain untuk fakir miskin, mengadakan khitanan – telah berlangsung menyunat anak 20, 50, 60 dan 58. mempunyai madrasah 7 tempat.”
Perkembangan NU Pasuruan juga semakin meningkat jika menilik laporan dalam Muktamar keXI NU di Banjarmasin. Berbagai kegiatan diaktivasi sedemikian rupa. Sebagaimana dicatat dalam BNO, No. 18 – 19, Tahun V, 15 Juli – 1 Agustus 1936, halaman 11 berikut ini:
“PASOEROEAN: Keadaan N.O. ada madjoe. Kring ada 41, beranggota 3.572. Maderasah ada 9. Mengadakan cursus organisatie. Tiap2 setengah boelan boeat leden bertempat di Kantoor Centraal Kring. Malam Achad tetap cursus choesoes Nasichin. Malam Isnain dan Chamis choesoes boeat kaoem iboe. Mengadakan penjoenatan. Menolong anak jatim dan fakir miskin, jaitoe dimasoekkan di madrasa. Sedang wang sekolahnja dipikoel oleh kastnja kring jang mempoenjai itoe jatim, fakir dan miskin. Tiap2 Ramadhan mengadakan pembahagian zakat.
Mengoesahakan pemberantasan lintah darat djahat (woeker: djalannja jaitoe memindjami wang kepada lid jang hadjat sekadarnja boeat djoealan; oempama kopi, ys, oleh kast kring masing2. (Tjobalah tjabang Pasoeroean, soedi menoelis ditentang tjara2 ini pengoertangan dan akibat2nja lebih landjut, sebab… memang sangat penting. Kalau2 bisa didjadikan tauladan oleh lain2 tjabang – red). Dan lain-lain acara soedah dichabarkan dalam BNO jg. lalu.”
***
Meski memiliki kiprah yang demikian aktif dan strategis dalam Nahdlatul Ulama, bukan berarti Kiai Abdoerrochman terlepas dari dinamika. Seperti halnya saat terjadi polemik perbedaan pandangan tentang kiblat Masjid Jami Pasuruan pasca renovasi. Perdebatan tersebut memanas pada Ramadan 1354 H (1936 M), masyarakat Pasuruan kembali memperdebatkan perihal akurasi arah kiblat.
Atas kejadian tersebut, Patih Pasuruan yang menjabat kala itu, meminta kepada tiga ulama ahli miqat dan falak untuk memeriksa kebenaran kiblat masjid jami’ tersebut. Dalam surat tertanggal 8 Juli 1936, Patih Pasuruan itu menulis demikian:
“Saja mempermakloemkan, bahwa sesoedahnja boelan Ramadhan jg. baroe laloe ada beberapa orang jg. memberi tahoekan pada saja bahwa waktoe2 di Masdjid Djami’ Pasoeroean sering tidak tjotjok dengan waktoe loear kota, djoeaga ada jg. Bilang jg. Qiblat masdjid koerang sampoerna.”
Keluhan tersebut ditujukan kepada Sayid Muhammad Al-Athas dari Probolinggo, Kiai Mas Subadar dari Besuk (Ayahanda Kiai Muhammad Subadar), Pasuruan dan Kiai Abduljalil dari Sidogiri, Pasuruan. Ketiganya, oleh Patih Pasuruan, ditunjuk sebagai komisi guna menentukan akurasi arah kiblat masjid jami’ tersebut.
Pada akhirnya, sebagaimana diungkapkan dalam Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) yang ditulis secara bersambung pada edisi 11 Tahun VI (1 April 1937), 12 Tahun VI (15 April 1937) dan 13 Tahun VI (1 Mei 1937), ketiga ulama tersebut melakukan pemeriksaan pada 13 Agustus 1936. Saat itu, Patih Pasuruan juga hadir dengan didampingi sejumlah imam masjid jami. Di antaranya adalah KH. Thohir, Kiai Nawawi dan KH. Abdurrachim. Sedangkan Mas Haji Sahal selaku penanggungjawab Pembangunan masjid tak datang dikarenakan ada kesibukan lainnya.
Dari pengukuran tersebut, diketahui bahwa mizwalah di Masjid Jami Pasuruan tidak akurat. Lebih cepat 3 sampai 4 menit. Sedangkan, posisi kiblatnya juga serong sebanyak 3 derajat, bahkan dalam metode ukur lainnya, keserongannya mencapai 5 derajat dari ainul ka’bah. Atas hasil tersebut, maka arah kiblat harus diubah. Kemiringan lebih dari 2 derajat tersebut, melebihi batas toleransi kepresisian kiblat dalam madzhab Syafi’i.
Kiai Muhammad bin Yasin yang kala itu masih tinggal di Pasuruan (sebelum pindah ke Jember), lantas menyampaikan kepada masyarakat pada hari itu juga. Kebetulan, setelah Ashar, Kiai Muhammad tersebut sedang mengajar di masjid. Namun, keputusan komisi bentukan Patih Pasuruan itu, ditolak oleh sejumlah kalangan. Di antaranya adalah Kiai Abdullah bin Yasin, adik dari Kiai Muhammad bin Yasin. Pada 9 Oktober 1936, salah seorang imam masjid jami’ Pasuruan, KH. Thohir, membacakan surat dari Kiai Abdullah pada saat pelaksanaan salat Jumat. Surat tersebut membenarkan jika arah kiblat masjid kurang presisi. Namun, masih berkisar 2 derajat sehingga masih dalam tahap diperbolehkan dan haram hukumnya untuk mengubah arah kiblat.
Pengumuman tersebut, menimbulkan kegaduhan baru. Warga terbelah. Ada yang mendukung pendapat Kiai Abdullah, namun juga tak sedikit yang membela pendapat komisi yang awal. Untuk meredam hal tersebut, Kiai Muhammad lantas membuat risalah perihal arah kiblat masjid jami Pasuruan dalam bahasa Arab dan Jawa. Tujuannya, untuk menjelaskan duduk perkaranya hal tersebut.
Atas upaya tersebut, masyarakat Pasuruan kembali redam. Orang sembayang kembali mengacu kepada arah kiblat yang telah ditentukan oleh komisi bentukan Patih Pasuruan. Akan tetapi, di kemudian hari, KH. Abdurrahman dari Legi, Pasuruan, tiba-tiba mengembalikan tikar masjid ke arah semula sebelum ada perubahan. Gerakan tersebut, mendapat perlawanan oleh orang-orang NU yang menjadi jama’ah masjid jami’ Pasuruan. Mereka kembali mengubah tikar masjid ke arah kiblat versi komisi. Hal tersebut berulang beberapa kali.
Kiai Abdurrahman yang notabanenya adalah Rais Syuriyah PCNU Pasuruan, melaporkan kejadian itu kepada Patih Pasuruan yang kala itu sudah diganti orang baru. Kemudian, pada 8 Dzulhijah 1355 (Februari 1937), mengadakan pertemuan dengan 8 orang ulama Pasuruan. Selain Kiai Abdurrahman, dari pengurus NU yang hadir ada juga KH. Choezaimi dan KH. Djoefri.
Dalam pertemuan tersebut, Patih melakukan voting atas arah kiblat Masjid Jami’ Pasuruan. Dalam voting tersebut, ternyata dimenangkan oleh pihaknya Kiai Abdurrahman yang menganggap bahwa arah kiblat tak perlu diubah. Hasil voting tersebut, menimbulkan kekecawaan bagi Kiai Choezaimi dan Kiai Djoefri. Keduanya yang mendukung perubahan arah kiblat, merasa dikerjai dalam pertemuan itu. Sebagai pengurus NU, keduanya merasa tak diajak berembuk terlebih dahulu.
Atas hal tersebut, Kiai Choezaimi lantas meminta Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO/ Istilah PBNU masa itu), untuk menengahi perselisihan tersebut. Lantas, pada 6 Maret 1937, HBNO mengadakan pertemuan di Madrasah NU Bangilan, Pasuruan. Hadir berbagai ulama dari Pasuruan, maupun luar kota. Di antaranya adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah (Wakil HBNO), Kiai Noer (HBNO/ Surabaya), Kiai Bisri (Jombang), Kiai Abdul Jalil (Kudus), Kiai Machfoedz (Seblak, Jombang), Kiai Moenif (Bangkalan), KH. Muhammad bin Yasin (Jember), Sayid Muhammad AlAthas (Probolinggo), KH. Abdul Hanan (Tanggul, Jember), KH. Hasan (Genggong, Probolinggo), Kiai Abdullah Oebaid (Surabaya), KH. Amin (Surabaya), KH. Dachlan (Surabaya), KH. Chatib (Malang) dan KH. Abdurrahman (Probolinggo).
Selain itu, juga dihadiri oleh sejumlah media massa antara lain Sin Tit Po, Pewarta Soerabaja, Soera Oemoem, dan Berita Nahdlatoel Oelama yang diwakili oleh KH. Machfoedz Shiddiq. Hadir pula sejumlah perwakilan pemerintah.Dalam pertemuan itu, Kiai Abdurrahman memberikan pembelaan atas sikapnya tersebut.
Sebagaimana dimuat dalam BNO, No. 12 Tahun VI, 15 April 1937, ia berkilah demikian:“Bahwa Qiblat jg.lama itoe pernah diperiksa oleh Kj. Chasan Asj’ari seorang ahli falak jg. amat terkemoeka, beliau memang soedah menerangkan memang inchirof (membengkok) doea graad, akan tetapi membengkok sekian itoe tidak mengapa.”
Selain itu, Kiai Abdurrahman juga mengatakan bahwa saat Komisi bentukan Patih Pasuruan melakukan pengukuran, ia taka da. Sehingga tidak mengetahui hasilnya secara langsung. Lebihlebih hasil dari pengukuran Komisi itu, menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Bahkan, Kiai Thohir harus mengundurkan diri dari imam masjid.
Dalam musyawarah tersebut, akhirnya diputuskan untuk membentuk komisi ulang guna mengukur akurasi dari arah kiblat Masjid Jami’ Pasuruan. Tim tersebut terdiri dari KH. Amin, Sayid Muhammad Al-Athas, KH. Abdul Jalil (Kudus), KH. Mas Subadar (Besuk, Pasuruan), KH. Abdul Jalil (Sidogiri, Pasuruan), KH. Machfoed (Seblak, Jombang), KH. Abdulchanan, KH. Moenif, KH. Choezaimi, KH. Abdul Wahab (Jombang), KH. Chatib (Malang), KH. Muhammad bin Yasin (Pasuruan-Jember), Letnan Arab Pasuruan, Kiai Lasijo, dan KH. Zoehdi. Kemudian ditambahkan Kiai Abdurrahman dan KH. Achmad Qusyairi bin Shiddiq.
Polemik arah kiblat Masjid Jami’ Pasuruan tersebut berimbas kepada NU Cabang Pasuruan. Sedari awal, NU Pasuruan cenderung mendukung hasil keputusan komisi bentukan Patih Pasuruan. Selain itu, gerakan penolakan terhadap hasil keputusan komisi tersebut, dilakukan oleh pihak-pihak yang kerap menyerang Nahdlatul Ulama. Seperti halnya Kiai Abdullah bin Yasin yang sering berpolemik dengan KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama.
Akan tetapi, internal Cabang NU Pasuruan dikejutkan oleh sikap sepihak KH. Abdurrahman. Sebagaimana dijelaskan di atas. Kiai asal Legi itu, mengambil keputusan personal atas persoalan kiblat Masjid Pasuruan tanpa membicarakan terlebih dahulu dengan jajaran pengurus NU setempat.
Usai pertemuan Majelis Syuro yang dihelat PBNU di Madrasah NU Bangilan, Pasuruan pada 6 Maret 1937 itu, PCNU Pasuruan segera melakukan rapat internal. Rapat yang diselenggarakan di Kantor NU Pasuruan pada 11 April 1937 itu, mengambil sejumlah keputusan penting. Di antaranya adalah “meroyyer” atau “memecat” KH. Abdurrahman, Legi dari Rais Syuriyah PCNU Pasuruan. Bahkan, dari keanggotan Nahdlatul Ulama.
Keputusan tersebut juga berdalih jika Kiai Abdurrahman telah mengundurkan diri dari kepengurusan NU sebagai “wakil moetlak dari paduka KH. Hasjim” dengan surat tertanggal 18 Dzulhijah yang lantas dikirimkan ke HBNO pada 2 Maret 1937 dan diterima oleh HBNO selang empat hari kemudian.
KH. Abdurrahman tidak menerima keputusan tersebut. Ia berkilah jika pemecatan dirinya itu, tidak beralasan dan mengada-ada. Kiai Abdurrahman yang terpilih sebagai ketua Majelis Ishalah Dzatubain, lalu mengajukan putusan NU Pasuruan itu ke HBNO. Pada 3 Rabiul Awal 1356 H, HBNO membentuk Mahkamah Ulama Ulya untuk memutuskan polemik antara KH. Abdurrahman dengan NU Cabang Pasuruan itu. Persidangan yang dihelat di Surabaya itu, dipimpin langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai qadli. Sedangkan KH. Abdul Wahab Chasbullah sebagai “Openbare Ministerie/ Al-Muchdir”. Kemudian dibantu oleh M. Kariadi sebagai Griffier/ Katib (panitera) dan sejumlah hakim anggota yang terdiri dari KH. Abdulkarim, KH. Faqih, KH. Choezaimi, KH. Ridlwan, KH. Amien dan KH. Said.
HBNO juga mengangkat KH. Nachrowi dan KH. Masykur dari Malang sebagai pembela dari KH. Abdurrahman. Sedangkan pembela dari NU Cabang Pasuruan adalah KH. Machfudz Shiddiq dan KH. Abdullah Oebaid. Setelah melalui proses adu argumentasi dari masing-masing pihak, akhirnya diambil putusan yang melegakan semua pihak.
“KH. Abdurrachman Pasuruan tetap mendjadi lid N.O. tjabang Pasoeroean, tetapi diberhentikan dari djabatan Rois N.O. Pasoeroean dan boleh dipilih lagi. Ketetapan keanggotaan tahadi dengan sjarat: Kj. H. Abdoerrachman terseboet moesti bekerdja bersama2 dan menjertai pada N.O. Pasoeroean oentoek mengembalikan Qiblat jg. baharoe, ialah qiblat jg. disetoedjoei oleh N.O. tjabang Pasoeroean dan lain2 jang berhoeboengan dengan N.O.”
***
Polemik di kalangan ulama Pasuruan adalah hal yang lumrah. Hal tersebut berangkat dari upaya untuk menegakkan agama Islam berdasarkan dengan basis keilmuan dan kapasitas antar ulama. Keberadaan NU secara keorganisasian, misalnya, kerap dikritik oleh KH. Abdullah bin Yasin, Pasuruan. Mulai dari penamaan Nahdlatul Ulama hingga sejumlah keputusan-keputusan bahtsul masail yang diputuskan oleh NU. Iklim intelektual yang demikian hidup tersebut, disikapi dengan penuh kedewasaan. Sehingga tak lantas membuat martabat para kiai yang terlibat polemik tersebut tergerus seiring dengan perbedaan pandangan yang terjadi.
Hal tersebut yang dialami oleh Kiai Abdoerrochman. Meskipun dirinya, harus mengundurkan diri dari struktural NU Pasuruan, namun posisinya di HBNO semakin meningkat. Dari semulanya sebagai a’wan dari hasil Muktamar IX NU di Banyuwangi (1934), meningkat sebagai Wakil Rais Akbar dari hasil Muktamar XII NU di Malang (1937), bersama dengan Kiai Abdullah Fakih, Gresik (BNO, No. 20 Tahun VI, 15 Agustus 1937, Hal. 16).
Menjadi Mahkamah Islam Tinggi (Hof Voor Islamietische Zaken)
Mahkamah Islam Tinggi merupakan cikal bakal Pengadilan Agama yang kita kenal dewasa ini. Lembaga yang berdiri di masa kolonial hindia-belanda ini, memiliki sejarah yang cukup panjang sebelum akhirnya berdiri. Setidaknya terhitung sejak 12 Januari 1922. Kala itu, sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Justisi Pemerintah Hindia Belanda Mr. L.W.H. de Loeuw dalam pembukaan sidang perdana Hof voor Islamietische Zaken pada 7 Maret 1938 (Surat Kabar Tjahaja Timoer, No. 26 & 27, 9 dan 11 Maret 1938).

Pada tanggal tersebut, pemerintah hindia belanda membentuk komisi khusus guna membahas tentang upaya menata ulang sistem peradilan Islam di kawasan Jawa dan Madura. Pengadilan Raad Agama yang ada dinilai tak cukup mampu untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada. Komisi tersebut diketuai oleh Dr. Raden Hoesien Djojodiningrat yang saat itu anggota dari Wakil Penasehat Urusan Pribumi (Adjunct Adviseur voor Inladsch Zaken).
HoesienDjojodiningrat dibantu oleh sejumlah orang guna merumuskan tata kelola pengadilan agama yang baru itu. Di antaranya adalah Raden Adipati Ario Soewondo (Bupati Pati), Raden Adipati Ario Tjakraningrat (Bupati Bangkalan), Raden Haji Mohammad Isa (Hoofd Penghulu Serang), Haji Aboengamar (Penghulu Purbalingga), Haji Mohammad Dahlan (Ketua Muhammadiyah), Mr. B Ter Haar (Ketua Landraad Purwokerto dan Purbalingga), Mas Haji Ichsan (Penghulu Temanggung) dan Haji Hadikoesoemo (Anggota Muhammadiyah).
Tak kurang dari empat tahun komisi tersebut bekerja. Pada 1926, komisi ini menyerahkan laporan hasil kerjanya kepada pemerintah kala itu. Ada sejumlah rekomendasi yang diberikan. Di antaranya adalah mengubah sistem pengadilan agama (Raad Agama) di Jawa dan Madura, mengadakan hakim penghulu untuk Raad Agama dan mendirikan majelis tinggi Islam.
Rekomendasi tersebut lantas ditindaklanjuti oleh pemerintah empat tahun kemudian. Pada 1930, pemerintah mengajukan Ordonasi Raad Agama yang baru ke Volkdraad untuk dibahas dan disahkan. Pengajuan ini menjadi pembicaraan cukup luas. Khususnya di kalangan umat Islam.
Nahdlatul Ulama yang kala itu sudah berdiri, tak ketinggalan turut membahasnya. Dalam Muktamar keempat NU di Semarang (1929), NU membentuk lajnah khusus guna membahas tentang rancangan pembentukan Majelis Islam Tinggi (SNO, No. 10, Tahun II, Syawal 1347 H, Hal. 196). Lajnah khusus tersebut diketuai oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah dan sekretarisnya adalah Abdullah. Kiai Abdoerrochman Pasuruan menjadi bagian dari anggota lajnah khusus tersebut. Ia bersama dengan sejumlah kiai lainnya. Di antaranya adalah Kiai Mustain, Tuban; Kiai Zuhdi, Pekalongan; Kiai Mahfudz, Jember; Kiai Abdurrahman, Menes; Kiai Muhammad Qomar, Madiun; Kiai Bisri, Jombang; Kiai Abdul Aziz, Cilegon; Kiai Dasuki, Majalengka; Kiai Asnawi, Kudus; Kiai Muhammad Hadirejo, Penghulu Purwodadi; Kiai Abdul Majid, Wakil Penghulu Tuban; Penghulu Junaidi, Tanggerang.
Usulan tersebut baru rampung dibahas pada 31 Januari 1931. Keputusan tersebut disahkan dalam Staatsblad No. 53 tentang Ordonasi Raad Agama. Meski demikian, gagasan untuk melakukan pembaharuan penghulu dalam Raad Agama dan juga pendirian Mahkamah Islam Tinggi itu tak segera dilaksanakan. Krisis yang melanda Eropa dan dunia saat itu, membuat keuangan pemerintah tak cukup kuat untuk membiayainya.
Baru pada 1937, saat kondisi krisis melaise tersebut mulai terkendali, pemerintah kembali menengahkan gagasan tersebut. Koran De Locomotif (31 Desember 1937) mengabarkan bahwa, Mahkamah Islam Tinggi tersebut akan mulai beroperasi pada 1 Januari 1937. Personalia dari mahkamah tersebut, sebagaimana diberitakan dalam surat kabar De Indische Courant (4 Februari 1938), dikepalai oleh Raden Haji Mohammad Isa (Kepala Penghulu di Serang sekaligus anggota komisi khusus pengkajian ordonasi Raad Agama sebagaimana disinggung di atas). Ia dibantu oleh dua orang. Yakni, KH. Abdoerrochman dari Nahdlatul Ulama dan Haji Moechtar dari Muhammadiyah.
Terpilihnya KH. Abdoerrochman dari Pasuruan sebagai anggota Mahkamah Tinggi Islam ini, dapat dipastikan merupakan utusan dari Nahdlatul Ulama. Sebagaimana disinggung di atas, Kiai
Abdoerrochman merupakan salah satu anggota lajnah khusus bentukan NU Pada Muktamar Keempat guna membahas hal tersebut. Hal ini menjadikannya cukup paham tentang apa yang menjadi perhatian dan tujuan dari dibentuknya Hof voor Islamietische Zaken tersebut.
Selain itu, anggota mahkamah yang lain, yaitu Haji Moechtar, merupakan perwakilan dari Muhammadiyah. Sedari awal perancangan, Muhammadiyah memang terlibat aktif. Sehingga pantas untuk turut menjadi anggota. Hal ini, dapat dikatakan sebagai jejak awal, berbagi peran NU dan Muhammadiyah di pemerintahan.
Diutusnya Kiai Abdoerrochman sebagai anggota Hof voor Islamietische Zaken tersebut, mengandung konsekuensi. Sebagai bagian dari pemerintahan kala itu, Kiai Abdoerrochman harus mundur dari organisasi Nahdlatul Ulama. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh KH. Machfoedz Shiddiq, Ketua Umum PBNU kala itu, dalam Berita Official HBNO tertanggal 31 Januari 1938.
Kiprah Kiai Abdoerrochman dalam mahkamah tinggi tersebut tetap eksis hingga pergantian rezim. Dari pemerintah hindia belanda sampai pendudukan Jepang. Mahkamah Islam Tinggi tersebut, di masa Jepang diganti menjadi Kaikyo Kootoo Hooin sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 34 Osamu Seirei No. 3 (Kan Po, No. 4 Tahun I, Boelan 10 – 2602). Jabatan tersebut tampaknya dijabat hingga akhir hayatnya.
Wafatnya Kiai Abdoerrochman terjadi di atas pangkuan sang istri yang sedang menemani perjalanan pulang dari Jakarta ke Pasuruan. Ketika kereta api yang ditumpangi tersebut mencapai sekitar Solo, Jawa Tengah, Kiai Abdoerrochman menghembuskan nafas terakhirnya. Peristiwa ini dalam kenangan keluarga terjadi pada 11 Jumadil Awal 1362 atau sekitar 16 Mei 1943 M. Wallahu’alam bish showab. (**)




