Didorong oleh pikiran untuk menemukan alternatif terbaik proses pemilihan pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menyusul tercapainya kesepakatan menggelar Muktamar Bersama, saya jadi penasaran nonton video conclave (konklaf) pemilihan Paus terakhir, 2025 lalu. Konklaf Pemilihan Paus tahun 2025 berlangsung pada 7-8 Mei 2025 dan berhasil memilih Kardinal Robert Francis Prevost sebagai Paus baru, menggantikan Paus Fransiskus yang wafat pada 21 April 2025.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Prosesi pemilihan berlangsung cepat di Kapel Sistina dan dihadiri oleh sebagian besar kardinal elektor dari seluruh dunia. Setelah menyimak video konklaf ini, menurut saya ada sembilan pelajaran penting berikut yang bisa kita petik.

Pertama, sebelum menentukan kriteria, para pemimpin yang datang memetakan dulu situasi, kondisi, dan watak dunia yang jadi tanggung jawab lembaga mereka hari ini, semacam memahami kontek, problem dan potensi substansialnya. Lebih dari sekedar SWOT tentu saja.

Kedua, berdasarkan pemahaman latar belakang itu, baru mereka bicara sosok siapa yang dianggap paling cocok untuk memegang kendali leadership.

Ketiga, seluruh proses dilakukan secara rahasia untuk menjamin hasil terbaik dan wibawa lembaga serta kesucian misi. Selama proses berlangsung (bisa beberapa hari sampai beberapa bulan), semua pemegang suara terputus dengan “dunia luar” (tak ada signal, tanpa wifi, tanpa gadget apapun), tanpa komunikasi dengan siapapun. Setiap orang diminta bersumpah secara verbal untuk menjaga kerahasiaan proses demi kebaikan bersama dan menghindari fitnah.

Keempat, semua orang yang tak berhak memberi suara diminta keluar. Pintu ditutup rapat. Itu sekaligus merupakan simbol bahwa para pemegang hak suara harus meletakkan semua urusan, pikiran, kepentingan, hal-hal yg tak relevan dengan kemaslahatan Bersama harus ditinggalkan jauh-jauh. Mereka sepenuhnya focus mencari pemimpin terbaik yang paling tepat dengan mengharap petunjuk dan Ridha Allah.

Kelima, prosesnya sengaja dibuat tak tergesa, tenang, penuh khidmat, yang menggambarkan kehati-hatian dalam melakukan pertimbangan, dengan makna yang mendalam sesuai tujuan. Ini bukan proses politik sekuler duniawi (dimana pemilih memberikan suara demi kepentingan personal dirinya), tapi proses yang penuh refleksi, introspeksi, kepasrahan kepada Allah. Yang jadi pertaruhan adalah kemaslahatan umat di mata Allah dan masa depan agama yang jadi tanggung jawab mereka. Jadi proses voting ini dikondisikan sebagai proses spiritual yang penuh khidmat, dilepaskan dari urusan duniawi, sublim, ia adalah bagian dari ibadah dan kepasrahan kepada Allah.

Keenam, masing-masing pemilik suara dikondisikan supaya ia bertindak bukan untuk dirinya, bukan untuk kelompoknya, bukan karena kebencian, bukan karena urusan duniawi, tapi semata demi mencari ridha Allah dan pasrah penuh terhadap hasil akhirnya. Masing-masing pemilik suara melakukan berbagai ritual dan doa sebagai ihtiar spiritual dalam mencari petunjuk.

Ketujuh, karene proses yang khidmat dan sakral itu, hasilnya sangat kredibel. Jama’ah bergembira menyambut hasil, bahkan sebelum mereka tahu siapa pemimpin yang terpilih.

Kedelapan, dibutuhkan 2/3 suara (89 dari 133-an kardinal). Masing-masing menulis 1 nama lalu (sebelum memasukkan tulisan name ke kotak suara) bersumpah atas nama Tuhan bahwa pilihannya adalah yang terbaik menurut nuraninya; Ketidakpastian awal justru sbg bentuk generosity utk saling berbagi perhatian dan apresiasi, sampai akhirnya makin mengerucut ke nama-nama terkuat

Kesembilan, setelah diumumkan, pemimpin terpilih keluar dengan kesadaran bahwa peran, tanggung jawab dan jabatan yang diembannya adalah a total gift of self-sacrifice demi agama Tuhan. (*)

*) Oleh Achmad Munjid, Ketua SC Musyawarah Besar Warga NU 2025, Peneliti dan Akademisi UGM