OPINI  

Melihat Tradisi Pesantren dalam Gelombang #BoikotTrans7

Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Media sosial ramai oleh tagar #BoikotTrans7. Aksi digital ini bermula dari cuplikan tayangan di salah satu acara televisi dalam pogram “Xpose Uncensored” di Trans7. Bagi kalangan yang hidup di lingkungan pesantren, tayangan tersebut dianggap melecehkan simbol dan martabat pesantren.
Gelombang kritik pun bermunculan. Sejumlah tokoh Nahdlatul Ulama dan ormas Islam menilai tayangan itu sebagai bentuk pelecehan simbol keagamaan, karena menggambarkan santri serta kiai secara stereotip dan tidak proporsional. Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), bahkan menyatakan keberatan dan menginstruksikan Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU untuk segera mengambil langkah hukum.
Di banyak daerah, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pesantren masih menjadi pusat pendidikan masyarakat. Maka wajar, ketika lembaga yang selama ini dihormati dijadikan bahan olok-olok di ruang publik, publik menilai televisi tersebut telah kehilangan empati sosial.
Secara hukum, produk jurnalistik seperti dalam pogram “Xpose Uncensored” di Trans7 memang dilindungi oleh kebebasan berekspresi sebagaimana tertuang dalam Pasal 28E ayat (3) dan kebebasan pers dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Namun, lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menegaskan bahwa isi siaran tidak boleh melecehkan nilai agama, merendahkan martabat manusia, atau menyinggung kelompok sosial tertentu. Begitu pula dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang diterbitkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), disebutkan bahwa program siaran wajib menghormati keberagaman budaya dan keyakinan masyarakat.

Hukum sendiri tidak pernah berada di ruang kosong, namun selalu berada dalam teks dan konteks. Memberikan penilaian terhadap suatu peristiwa tidak berarti cukup hanya membaca fakta permukaan, tetapi juga memahami nilai-nilai, budaya, dan makna yang mendasari tindakan tersebut.

Kasus Trans7 ini misalnya, ketika menarasikan tradisi cium tangan santri kepada kyai sebagai bentuk perbudakan, menunjukkan bagaimana ketidaktahuan konteks budaya dapat memicu kesalahpahaman yang serius. Dalam tradisi pesantren, cium tangan bukanlah simbol subordinasi atau perbudakan, tetapi bagian dari adab, penghormatan, dan pengakuan terhadap guru spiritual atau kyai.
Hal serupa muncul ketika program tersebut menarasikan pemberian amplop uang oleh santri kepada kyai sebagai bentuk “meminta-minta”. Bagi kalangan pesantren, itu merupakan bentuk penghormatan dan wujud apresiasi terhadap ilmu serta pengabdin kyai terhadap masyarakat. Tanpa memahami konteks budaya dan moral di balik praktik tersebut, penilaian publik—atau bahkan penilaian hukum—bisa salah arah.

Oleh karena itu, penting untuk menekankan bahwa hukum tidak cukup hanya membaca teks normatif secara formal (textual reading), tetapi juga perlu melakukan moral reading, yaitu memahami makna, nilai, dan tujuan di balik tindakan. Moral reading ini menjadi instrumen penting agar penegakan hukum dan analisis publik tidak terjebak pada persepsi dangkal yang mengabaikan konteks budaya dan sosial. Dalam kasus Trans7, ketidakpekaan terhadap konteks pesantren menimbulkan kontroversi yang sebenarnya dapat dihindari jika terdapat pemahaman mendalam terhadap nilai tradisi pesantren.

Filosofi Pesantren

Kata pesantren berasal dari istilah “santri” yang kemudian diberi imbuhan pe- dan -an untuk menandai tempat atau lembaga, sehingga menjadi pesantren, yang secara harfiah berarti “tempat para santri belajar”.
Kata “santri” sendiri dalam tradisi Nusantara bukan sekadar istilah untuk “pelajar agama”. Menurut Nurcholish Madjid, kata santri berasal dari bahasa Jawa yakni cantrik, yang berarti murid yang selalu mengikuti gurunya. Arti ini menekankan bahwa seorang santri bukan hanya menimba ilmu secara pasif, tetapi mengabdikan diri pada bimbingan gurunya, khususnya dalam aspek spiritual dan moral.

Seiring waktu, istilah santri meluas untuk merujuk pada siapa saja yang belajar di pesantren, baik dari perspektif akademik maupun spiritual. Etimologi ini menegaskan akar relasional dalam pendidikan pesantren, dimana ilmu bukan sekadar kumpulan pengetahuan, tetapi hubungan batin antara guru dan murid.

Menurut antropolog Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren (1982), pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang menanamkan ilmu agama sekaligus membentuk karakter moral. Pesantren tumbuh dari denyut sosial masyarakat tradisiona. Pondok, masjid, kiai, dan santri menjadi empat pilar yang melahirkan komunitas belajar berbasis keikhlasan.

Filosofi pesantren berpijak pada ajaran kesederhanaan, keikhlasan, dan adab terhadap ilmu. Santri diajarkan untuk membersihkan hati serta menghormati guru sebelum membaca dan memahami kitab. Dalam pandangan pesantren, ilmu bukan hanya kumpulan pengetahuan, tetapi juga jalan menuju kematangan spiritual.

Dari rahim pesantren pula lahir para tokoh bangsa. KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama dan menjadi salah satu penggerak Resolusi Jihad 1945, yang menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah bagian dari iman. Banyak tokoh pesantren lain—seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Wahab Chasbullah—ikut merancang fondasi moral Republik ini.

Itu sebabnya, tayangan Trans7 langsung memicu gelombang protes dari kalangan santri. Program tersebut dianggap melecehkan Mbah Yai War (Romo KH. Anwar Manshur), pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri sekaligus Rais Syuriah PWNU Jawa Timur.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam tradisi pesantren, seorang santri mengabdikan diri pada bimbingan gurunya, membangun hubungan yang erat dan penuh kepercayaan antara santri dan kyai. Kyai bukan hanya pengajar agama, tetapi panutan moral dan spiritual, simbol identitas komunitas pesantren.

Jalan Keluar

Kasus #BoikotTrans7 seharusnya menjadi momentum refleksi publik dan media, bukan sekadar ajang kemarahan. Di satu sisi, masyarakat berhak mengingatkan media tentang batas etika dan sensitivitas budaya, sementara di sisi lain, media juga berhak mendapatkan ruang edukasi agar tidak terjebak dalam ketidaktahuan kultural. Dalam konteks hukum, pengawasan terhadap penyiaran diatur secara jelas melalui beberapa instrumen hukum yang saling melengkapi.

Pertama, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) 2012. Pasal 6 hingga Pasal 8 P3SPS menegaskan kewajiban lembaga penyiaran untuk menghormati perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan, tidak menyajikan program yang merendahkan atau melecehkan, serta mempertimbangkan kemungkinan ketidaknyamanan khalayak atas program siaran tertentu. Dengan kata lain, media wajib memperhatikan konteks sosial, budaya, dan moral dari masyarakat yang menjadi objek atau subjek siaran.

Selain itu, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan kewajiban pers untuk menghormati norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat (Pasal 5), melayani hak jawab dan hak koreksi, serta tunduk pada pengawasan Dewan Pers yang menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik (Pasal 15). UU Pers dan UU Penyiaran bersifat komplementer.

Dengan demikian, jalan keluar bukan semata sanksi hukum atau boikot publik, tetapi juga pembangunan kesadaran etik di industri media. KPI dapat menegakkan sanksi administratif berupa teguran tertulis atau penghentian sementara program acara, pembekuan kegiatan siaran hingga pencabutan izin penyiaran sesuai Pasal 55 UU Penyiaran.

Selain itu, yang kedua adalah media harus memahami prinsip tabayun yang diajarkan dalam tradisi pesantren. Ketika terjadi kesalahpahaman atau pelecehan simbol keagamaan, langkah yang paling tepat adalah datang langsung ke pihak pesantren, melakukan klarifikasi, dan meminta maaf secara personal. Tindakan ini tidak hanya memulihkan hubungan sosial dan moral, tetapi juga menunjukkan keseriusan media dalam menghormati tradisi dan nilai-nilai pesantren.

Secara lebih luas, media perlu menyadari bahwa konten yang baik harus melalui riset, pemahaman, dan penelaahan yang matang. Narasi yang tidak terkurasi dengan baik, menimbulkan konflik moral.
Media seharusnya menyadari bahwa “tanggung jawab sosial” bukan beban, melainkan kehormatan. Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, media berperan sebagai ruang perjumpaan, bukan arena pertentangan. Karena itu, perlu dibangun mekanisme dialog kultural antara dunia penyiaran dan komunitas pesantren. Program-program kolaboratif, misalnya dokumenter pesantren, diskusi lintas budaya, atau pelatihan literasi media bagi santri, bisa menjadi jembatan yang produktif.

Lebih jauh, pemerintah dan lembaga pendidikan komunikasi juga perlu menanamkan kembali etika penyiaran berbasis nilai Pancasila. Setiap calon jurnalis dan kreator media perlu memahami bahwa kebebasan berekspresi harus berakar pada penghormatan terhadap nilai agama, budaya, dan martabat manusia.
Pesantren dan media sebenarnya memiliki misi yang sama: mendidik publik. Bedanya, pesantren mendidik melalui teladan dan ketenangan, sementara media mendidik melalui suara dan gambar. Jika keduanya bersatu dalam semangat saling memahami, ruang publik kita akan menjadi lebih beradab.
Boikot mungkin perlu untuk menggugah kesadaran, tetapi dialog tetap menjadi jalan keluar. Karena pada akhirnya, tujuan dari kemarahan bukanlah untuk memadamkan, melainkan untuk menyalakan kembali kesadaran moral bahwa kebebasan berekspresi hanya bermakna bila disertai tanggung jawab terhadap sesama manusia, termasuk pesantren dan tradisi adhiluhung yang diajarkannya. (*)