Mahasiswa Pemimpin Indonesia di Masa Depan, Habib Husein bin Ja’far Al hadar : Pahami Pancasila Bukan Sekadar Slogan

Malang, Jurnal9.tv – Tahun 2030 hingga 2045 Indonesia akan mengalami bonus demografi. Generasi muda yang aktif bekerja menjadi tertinggi di Indonesia. Untuk itu perguruan tinggi perlu menyiapkan calon pempin Indonesia masa depan.

Pemimpin masyarakat itu harus memahami betul tentang kebutuhan masyarakat. Untuk memahami tidak cukup dengan membaca, tetapi harus merasakan terlibat dalam suatu komunitas yang real di masyarakat.

Ada pepatah jawa yang mengatakan “ngelmu”, ngelakoni nganti laku. Maka jadi Pemimpin juga harus siap menghadapi kenyataan. Untuk menyiapkan Mahasiswa menjadi Pemimpin Indonesia di masa yang akan datang, Universitas Brawijaya Malang melepas kegiatan mahasiswa untuk pengabdian masyarakat, dengan menghadirkan tokoh pendakwah milenial Habib Husein bin Ja’far Al Hadar.

Profesor Widodo, Rektor Universitas Brawijaya Malang mengatakan bahwa untuk berkomunikasi dengan gen-Z maka harus mencari sosok Influencer, karena kehidupan gen-Z tak lepas dari Gawai.

“Kita juga melihat bahwa pemikiran-pemikiran beliau (Habib Husein) cocok sekali dengan kebutuhan generasi muda, di antaranya yang harus memahami tentang budaya, memahami tentang keberagaman yang baik, kebhinekaan dan juga tentu kalau dari segi agama ya itu juga beliau ada. Salah satu alasan karena kecerdasan sekarang itu kan enggak cukup IQ, Nggak cukup emosional ya, tapi ada spiritual juga ya, dan kemudian adaptif juga, nah ini menjadi bagian penting karena saya pengen bahwa yang memberikan masukan kepada generasi muda itu Satu Frekuensi,” cerita Prof Widodo.

Selain pelepasan, UB juga berdialog dengan Habib Husein di ruang rector, yang membahas tentang Pancasila, Keberagaman, dan Mahasiswa sebagai Pemimpin Masa Depan.

Habib Husein mengatakan, bahwa Pancasila adalah warisan terbesar bangsa ini dari tokoh-tokoh pendiri bangsa (Founding Fathers) yang mereka sedari awal merumuskan Pancasila itu tidak dari keseragaman, melainkan dari keberagaman.

“Cita-cita Luhur bersama sebagai bagian dari bangsa untuk betul-betul menjaga keragaman Indonesia bukan dalam keseragaman tapi dalam satu ikatan persatuan yang berbasis kepada kesatuan. Jadi titik persamaannya apa ? bukan mau menyamakan tapi mencari titik samanya itu mana, dan itulah kemudian Pancasila yang menjadi identitas pertama dan utama kita dan itu terus dikuatkan”.

“kita ingin Pancasila itu betul-betul dipahami oleh generasi muda bukan sekadar slogan,” imbuhnya.  

Habib Husein dan Prof Widodo ingin bangsa ini dipimpin oleh nilai. Kita tidak ingin generasi muda hanya terjebak kepada sosok atau identitas. “Nah ini problem kita dalam mencari pemimpin seringkali kita terjebak kepada sosok atau sekadar identitas padahal yang utama itu adalah substansi value. Kita ingin bangsa ini dipimpin oleh Pancasila yang merangkul segala bentuk kebhinekaan sehingga karenanya kita ingin pemimpin itu mereka yang memiliki gagasan yang bukan hanya visioner tapi juga berbasis kepada nilai-nilai yang kita pegang bersama yaitu Pancasila”.

“Dan untuk generasi muda itu memang tantangan sebagaimana agama sering hanya menjadi warisan sebagaimana agama sering hanya dipahami sebagai ritual maka begitu juga Pancasila sering sekali hanya dijargonkan hanya dinilai sebagai suatu yang sakral yang sakti tapi tidak pernah kita pahami bahkan kadang hafal juga nggak,” peringat Habib Husein.

 Selain itu yang perlu diperhatikan generasi muda adalah internalisasi dan eksternalisasi. Eksternalisasi, artinya generasi muda harus paham betul tentang bagaimana sejarah Pancasila, bagaimana konteks lahirnya Pancasila, apa nilai-nilai yang diinginkan oleh Pancasila. Sementara internalisasi yaitu bagaimana kita menjadi generasi yang pancasilais, yaitu generasi yang betul-betul mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi.

Untuk itu perguruan tinggi perlu melakukan pendekatan dan mengajarkan tentang Kebhineka Tunggal Ika-an. Generasi muda perlu memahami bahwa masyarakat Indonesia itu majemuk.

Habib Husein juga mengatakan bahwa mengawali perubahan itu pada dirinya sendiri sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi. Karena keragaman itu sebagai rahmat, sebagai belas kasih yang Tuhan berikan. Karena keragaman, perbedaan itu indah.

“Perbedaan itu indah, nada itu tercipta Karena beda. Keindahan musik itu karena perbedaan kemudian beda itu saling melengkapi satu sama lain seperti puzzle bahkan katanya kebenaran itu seperti cermin yang dilempar oleh Tuhan dari langit dan jatuh ke bumi. Masing-masing pegang pecahannya. Semakin kamu bergabung dengan yang lainnya makin utuh kebenaran itu kamu pahami,” jelas Habib Husein memberikan analogi.

Dalam perspektif Islam anak muda memiliki Sofwah, kecenderungan kepada hal-hal yang sifatnya rendah. Generasi muda saat ini memiliki dua tantangan. Tantangan pertama adalah “jahiliyah” (kebodohan).  Banyak generasi muda yang tidak lagi menganggap kepintaran itu sebagai kemewahan.

“Nggak perlu pintar lah toh ada AI ada kalkulator ada Google ada semua lah yang mereka butuhkan. Kemudian meng-simplifikasi dan mereduksi yang namanya kepintaran atau bahkan kepintaran dianggap betul-betul bukan sesuatu yang penting bagi mereka sehingga kemudian kebodohan itulah yang akan menjadi bencana bagi mereka.

Tantangan kedua adalah egoisme dan pol hidup hedonis serta matrealistis. Ini terlihat pada generasi muda sekarang. Mereka menjadi generasi yang menutup diri terhadap perbedaan. Mereka cenderung mencari pembenaran bukan kebenaran.

“Jadi ruang dengung yang digaungkan terus-menerus dianggap itu satu kebenaran. Sehingga, eranya pada era postruth, pasca kebenaran, nggak penting lagi bener, yang penting saya suka, Like and dislike.  kemudian pola hidup yang hedonis dan materialistik yang mementingkan gengsi dalam membeli segala sesuatu ketimbang fungsi,” tambahnya.

Habib husein menggarisbawahi bahwa kepemimpinan itu tidak hanya bersifat kepemimpinan politik, tapi juga kepemimpinan sosial, kepemimpinan agama, kepemimpinan kebudayaan, kepemimpinan akademi dan lain sebagainya,

“Tugas generasi muda adalah bercermin. Saya ini siapa dan harus seperti apa dan mengisi pos apa di masa depan, apa potensi yang Tuhan berikan gift kepada saya untuk kemudian saya aktualisasikan sebagai bentuk kebermanfaatan kepada orang lain karena kata nabi khairunnas anfaum linnas. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain,” pungkasnya. (snm)