Jepara, Jurnal9.tv – Perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, berakhir pada Sabtu (26/11). Sejumlah pandangan dan sikap keagamaan, serta rekomendasi KUPI II dihasilkan. Salah satunya, desakan untuk tidak melakukan tindakan pemotongan dan/atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis, karena hukumnya haram.
Dr. Sarina Aini, Wakil Ketua STAI Teuku Chik Pante Kulu Banda Aceh, menyatakan hal tersebut sebagai represantasi peserta KUPI II. “Semua pihak harus bertanggungjawab untuk mencegah P2GP tanpa alasan medis. Sedangkan hukum menggunakan wewenang sebagai tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis, dan keluarga dalam melindungi perempuan dari bahaya tindakan pemotongan dan/atau P2GP tanpa alasan medis adalah wajib,” ujarnya.
Selain itu, berbagai tema krusial yang saat ini melilit kaum perempuan juga ditetapkan sikapnya sebagaimana peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama, isu perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan, pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan. Tak ketinggalan juga isu perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan, serta dari bahaya pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan tanpa alasan medis. Kongres juga menelurkan pernyataan bersama peserta kongres dalam bentuk Ikrar Bangsri Jepara dan Deklarasi Jaringan KUPI Muda.
Dr. Fatum Abu Bakar dari PP. Al Khoirot Ternate, saat membacakan pandangan dan sikap keagamaan KUPI II, menyampaikan bahwa hukum menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah wajib bagi setiap warga negara. Namun ketika terjadi peminggiran perempuan yang berdampak sebaliknya, hukumnya adalah haram.
“Hukum peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah haram bagi setiap lembaga negara, masyarakat sipil, organisasi sosial dan keagamaan sesuai dengan otoritas yang dimilikinya,” ujar Dr. Fathum.
Untuk isu lingkungan, Mohammad Khatibul Umam dari PP. An-Nuqayah Guluk Guluk Sumenep Madura, menegaskan semua pihak wajib mengelola sampah sesuai kemampuan dan kapasitas masing-masing. Terutama pemerintah wajib membangun kesadaran warga akan bahaya sampah dan memberikan edukasi pengelolaan sampah yang paling sederhana.
“Hukum pembiaran kerusakan lingkungan hidup akibat polusi sampah adalah haram bagi pelakunya langsung dan makruh tahrim (mendekati haram) bagi orang yang tidak mempunyai wewenang,” ujar Khatibul Umam.
Dalam kesempatan lain, Nyai Nurul Mahmudah dari Jombang mengungkapkan bahwa sikap keagamaan KUPI melihat pemaksaan perkawinan terhadap perempuan tidak hanya berdampak secara fisik dan psikis, tapi juga sosial, ekonomi, politik, dan hukum.
“Dengan demikian, pemerintah harus membuat peraturan perundangan yang menjamin hak-hak korban, pemulihan yang berkelanjutan, dan sanksi pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan pada perempuan hukumnya adalah wajib,” tutur Nyai Nurul.
Prof. Hj. Masyitah Umar, Guru Besar UIN Antasari Banjarmasin menyebutkan bahwa hukum melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah wajib di usia berapa pun kehamilannya, baik dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan, sesuai dengan pertimbangan darurat medis dan atau psikiatris.
“Semua pihak mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan. Pelaku juga mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa korban dengan cara yang tidak semakin menambah dampak buruk bagi korban,” ungkap Prof. Masyitah.