OPINI  

Ketika Kiai Dilecehkan di Layar Televisi: Mengapa Sanksi KPI Tak Lagi Cukup?

Oleh Mochammad Dawud, Dosen Komunikasi Penyiaran Islam UIN KHAS Jember

Seharian saya mencermati perkembangan kasus pelecehan terhadap kiai dan pesantren yang dilakukan oleh Trans7 melalui program Xpose Uncensored. Tayangan tersebut bukan hanya menimbulkan kegaduhan di ruang publik, tetapi juga melukai marwah kiai, santri, dan pesantren—lembaga yang selama ini menjadi benteng moral dan spiritual bangsa.
Berbagai elemen Nahdlatul Ulama (NU) menyuarakan protes keras, menuntut permintaan maaf, hingga pencabutan izin siaran Trans7. Gelombang aspirasi ini menandakan bahwa persoalan ini bukan sekadar kesalahan teknis penyiaran, melainkan persoalan yang menyentuh rasa keadilan dan kehormatan umat.
Langkah pertama yang dilakukan banyak pihak adalah melaporkan tayangan ini ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pilihan ini tepat, sebab program Xpose Uncensored bukan produk jurnalistik, sehingga tidak relevan dilaporkan ke Dewan Pers. KPI, sebagai regulator independen di bidang penyiaran, memiliki wewenang mengawasi isi siaran agar sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).

Saya cukup yakin KPI akan merespons cepat. Benar saja, tidak lama setelah laporan publik masuk, KPI memutuskan sanksi penghentian sementara program Xpose Uncensored. Langkah KPI ini memiliki dasar hukum yang kuat. Dalam P3SPS, penghentian sementara tanpa teguran tertulis hanya diberikan jika sebuah program dinilai melanggar berat dan menimbulkan keresahan publik. Sanksi ini dapat berlangsung satu bulan, tiga bulan, enam bulan, bahkan hingga satu tahun. Setelah masa sanksi selesai, program boleh tayang kembali—tetapi bila kembali melanggar, KPI dapat menjatuhkan penghentian tetap.

Masalahnya, pelanggaran penyiaran oleh Trans7 bukan kali ini saja terjadi. Data KPI menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir, Trans7 berulang kali melanggar norma penyiaran.
Tahun 2017, program Redaksi Siang ditegur karena menampilkan identitas anak korban kekerasan—pelanggaran terhadap prinsip perlindungan anak. Tahun yang sama, segmen Redaksi Kontroversi dihentikan sementara karena menayangkan adegan yang melanggar norma kesusilaan dan perlindungan remaja. Masih di 2017, program Selebrita Pagi dijatuhi sanksi penghentian sementara karena menayangkan konten mistik di jam tayang anak-anak.

Dengan catatan semacam ini, tampak bahwa Trans7 memiliki pola pelanggaran berulang yang mengindikasikan lemahnya sistem pengendalian isi siaran di internal redaksi dan manajemen. Sanksi administratif yang selama ini dijatuhkan KPI tampaknya belum cukup menumbuhkan kesadaran etis dan tanggung jawab sosial.
Apakah penghentian sementara program Xpose Uncensored cukup untuk menegakkan keadilan? Saya kira tidak. Pelanggaran ini menyentuh harkat dan martabat kiai dan pesantren—sekali lagi, bukan sekadar kesalahan teknis penyiaran. Rasa keadilan masyarakat, terutama warga Nahdliyin, tidak akan terpenuhi hanya dengan mengganti nama program.
Kita masih ingat kasus lama: ketika program Empat Mata dihentikan KPI, Trans7 menggantinya dengan Bukan Empat Mata—dengan konsep, format, dan gaya penyajian yang hampir identik. Kemudian berubah lagi menjadi Ini Baru Empat Mata. Pola seperti ini menimbulkan kesan bahwa sanksi administratif hanyalah formalitas belaka. Program berhenti, tapi perilaku penyiaran tidak berubah.
Karena itu, wajar bila banyak kalangan mendesak agar pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital, mempertimbangkan pencabutan izin siaran Trans7. Meski prosedurnya panjang—melibatkan KPI, Kementerian, dan masukan publik—desakan ini menggambarkan keinginan agar pelanggaran serius tidak berhenti pada “teguran administratif” semata. Namun, sejarah menunjukkan bahwa belum pernah ada stasiun televisi di Indonesia yang dicabut izin siarannya karena pelanggaran isi tayangan. Artinya, regulasi sudah ada, tapi penegakannya tidak pernah sampai di meja hijau.

Saya melihat ada satu jalur yang selama ini belum pernah digunakan, yaitu membawa pelanggaran isi siaran ke ranah pidana. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran jelas menyebut ancaman pidana bagi pelanggaran berat isi siaran. Pasal 36 ayat 6 UU Penyiaran menegaskan bahwa isi siaran dilarang mengandung fitnah, penghinaan, atau pelecehan terhadap nilai-nilai agama dan martabat manusia. Pasal 57 memberikan dasar sanksi pidana: pelanggaran terhadap ketentuan isi siaran dapat diancam dengan penjara hingga lima tahun atau denda hingga sepuluh miliar rupiah.

Hingga kini, belum pernah ada kasus pidana penyiaran yang benar-benar sampai ke pengadilan. Semua berhenti di tataran administratif KPI. Saya tidak tahu persis apa hambatannya. Namun, bukan berarti jalur ini mustahil ditempuh. Jika ada keberanian hukum untuk membawa kasus semacam ini ke meja hijau, ia bisa menjadi preseden bersejarah—bahwa media penyiaran tidak kebal hukum dan harus bertanggung jawab atas dampak sosial siarannya.
Dalam prinsip hukum Islam maupun hukum positif, keadilan tidak hanya dimaknai sebagai hukuman, tetapi juga pemulihan. Ketika martabat pesantren dan kiai dilecehkan di ruang publik, yang dibutuhkan bukan sekadar sanksi, tetapi juga pengakuan kesalahan, permintaan maaf, dan tindakan nyata untuk memperbaiki kerusakan moral yang ditimbulkan.
Trans7 harus berani melakukan langkah tabayyun, bukan hanya kepada pihak pesantren yang dirugikan, tapi juga kepada publik yang selama ini menjadi penontonnya. Media massa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga akhlak publik, bukan merusaknya demi rating dan sensasi.

Keadilan sejati dalam konteks penyiaran bukanlah tentang menghentikan sebuah program, melainkan menumbuhkan etika baru dalam berkomunikasi di ruang publik. Keadilan bukan hanya memberi hukuman, tapi menegakkan marwah dan memulihkan kepercayaan.
Kita tidak menolak kebebasan berekspresi. Tetapi kebebasan tanpa batas etika hanyalah anarki informasi. Penyiaran publik harus berdiri di atas nilai-nilai keadilan, moralitas, dan kebangsaan.

Pesantren dan kiai adalah sumber nilai luhur bangsa, bukan bahan olok-olokan hiburan murahan.
Kasus Xpose Uncensored harus menjadi momentum reflektif bagi seluruh insan penyiaran: bahwa rating tidak boleh mengorbankan martabat. Jika hukum administrasi tak lagi cukup menumbuhkan efek jera, maka hukum pidana patut menjadi jalan baru untuk menegakkan keadilan.
Dan lebih dari itu, masyarakat juga berhak menuntut taubat media: kesadaran untuk kembali ke tujuan suci penyiaran — mendidik, mencerahkan, dan mempersatukan bangsa.

Wallâhu a‘lam bish-shawâb.