Jakarta, jurnal9.tv -Kasus dugaan penyalahgunaan kuota haji yang menyeret nama mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dinilai sarat dengan informasi yang tidak lengkap. KPK terkesan hanya menyoroti satu pasal dalam regulasi haji, sementara mengabaikan ketentuan lain yang jelas memberikan kewenangan kepada Menteri Agama dalam mengatur penambahan kuota haji.
Juru bicara mantan Menag, Anna Hasbie, menegaskan bahwa publik harus mengetahui adanya Pasal 9 yang seakan-akan “disembunyikan” dari narasi hukum yang dibangun KPK.
Pasal 9 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur bahwa Menteri menetapkan kuota haji tambahan jika ada penambahan kuota haji dari Arab Saudi. Pasal itu berbunyi:
Pasal 9 (1): Dalam hal terdapat penambahan kuota haji Indonesia setelah Menteri menetapkan kuota haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Menteri menetapkan kuota haji tambahan.
(3): Ketentuan mengenai pengisian kuota haji tambahan diatur dengan Peraturan Menteri.
“Pasal inilah yang justru menjadi dasar kebijakan Gus Yaqut. Tapi anehnya, pasal ini tidak pernah disebut-sebut dalam konstruksi kasus. Padahal jelas memberi kewenangan penuh kepada Menteri Agama untuk menetapkan kuota tambahan sesuai kebutuhan lapangan,” tegas Anna di Jakarta, Jumat (25/9/2025).
Pertimbangan Keselamatan Jamaah
Kebijakan penempatan sebagian kuota tambahan pada haji khusus bukan tanpa alasan. Pertimbangan utama adalah keselamatan jamaah di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). Jika seluruh tambahan kuota dialihkan ke haji reguler, maka kondisi di Armuzna akan jauh lebih padat, sehingga berpotensi menimbulkan risiko serius bagi kesehatan dan keselamatan jamaah. Termasuk resiko kehilangan nyawa.
“Banyak pihak tidak memahami bahwa Armuzna punya keterbatasan ruang. Ini soal hitungan matematis. Jika dipaksakan seluruhnya masuk ke jalur reguler, kita justru mempertaruhkan keselamatan jamaah haji Indonesia,” tambah Anna.
Narasi yang Menyesatkan Publik
Sayangnya, sebagian besar pemberitaan hanya menyoroti formula 92:8 persen pembagian kuota tambahan, seolah itu mutlak dan tidak boleh bergeser. Padahal, sesuai regulasi, Menteri Agama memiliki ruang kebijakan untuk menyesuaikan distribusi kuota tambahan, termasuk dengan mempertimbangkan faktor teknis lapangan serta keselamatan jamaah.
“Informasi yang tidak lengkap inilah yang kemudian menggiring opini publik bahwa Gus Yaqut telah melanggar hukum. Padahal, yang dilakukan adalah menjalankan kewenangan sesuai amanat pasal perundang-undangan. KPK tidak boleh sepihak mengabaikan pasal ini, karena hukum tidak boleh dipreteli demi membangun opini,” jelas Anna.
Menjaga Objektivitas
Kasu ini menjadi pelajaran penting agar penegakan hukum tidak dipolitisasi. Kewenangan Menteri Agama dalam mengatur kuota tambahan harus dilihat secara utuh, bukan parsial. Mengabaikan Pasal 9 sama saja dengan menghadirkan hukum secara pincang dan menyesatkan.
“Ke depan, publik harus lebih kritis dalam membaca narasi hukum yang disampaikan. Jangan biarkan ada pasal ‘tuyul’ yang disembunyikan sehingga menggiring pada kesimpulan keliru. Ini bukan hanya soal Gus Yaqut, tapi juga soal keadilan dan keselamatan jamaah haji Indonesia,” pungkas Anna.