Suranya, jurnal9.tv -Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur terus memperkuat literasi hukum dan politik di kalangan masyarakat melalui program unggulan bertajuk Sekolah Hukum dan Politik Kebangsaan. Program yang digelar bekerja sama dengan LTN NU Jatim dan Pesantren Digipreneur Al-Yasmin Surabaya ini memasuki seri kedua pada Kamis (9/10/2025).
Menurut Prof. Dr. Hufron Koordinator Bidang Hukum dan Politik Kebangsaan PW ISNU Jatim, kegiatan ini bukan sekadar diskusi ilmiah, melainkan gerakan edukasi berkelanjutan untuk membangun kesadaran politik kebangsaan yang sehat.
“Sekolah Hukum dan Politik Kebangsaan ini bersifat series, artinya berkelanjutan. Seri pertama kita angkat tema dialog antara fikih hukum tata negara dan hukum tata negara positif. Kali ini, formatnya lebih luas: bedah buku dan diskusi nasional,” jelas Prof. Hufron.
Kegiatan seri kedua ini mengangkat buku karya Prof. Mas’ud Said, Ketua PW ISNU Jatim sekaligus Wakil Ketua Umum PP ISNU, berjudul “Konflik, Perdamaian, dan Resolusi Konflik”. Buku tersebut dinilai relevan dengan kondisi global saat ini yang diwarnai konflik di berbagai kawasan, mulai dari Timur Tengah hingga Eropa Timur.
“Konflik bisa muncul di mana saja dalam keluarga, organisasi, negara, bahkan antarnegara. Yang terpenting adalah menemukan resolusi konflik yang berujung pada perdamaian,” ujar Hufron.
Ia menilai, diskusi lintas disiplin antara hukum, politik, dan sosiologi menjadi kunci dalam mencari solusi konflik modern. Karena itu, acara ini menghadirkan akademisi lintas bidang, termasuk Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, serta Prof. Dr. Bagong Suyanto, pakar sosiologi dari Universitas Airlangga.
“Pendekatan penyelesaian konflik tidak bisa hanya dengan satu disiplin. Diperlukan sinergi antara ilmu hukum, politik, dan sosiologi,” ujarnya.
Prof. Hufron menekankan bahwa Sekolah Hukum dan Politik Kebangsaan bertujuan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya politik yang berorientasi pada kepentingan bangsa dan umat, bukan politik partisan.
“Kita ingin membangun politik kebangsaan, bukan politik kepentingan. NKRI adalah harga mati yang harus diperjuangkan di atas kepentingan kelompok atau koalisi,” tegasnya.
Program ini, lanjutnya, menjadi ruang bagi para sarjana muda NU dan masyarakat luas untuk memahami dinamika hukum dan politik dari perspektif kebangsaan dan keumatan.
“Belajar hukum tanpa memahami politik membuat kita kehilangan konteks. Karena di balik hukum, selalu ada dimensi politik yang menentukan arah kebijakan negara,” tutupnya.