Pemilu 1971 merupakan awal saya mengenal NU. Tak hanya mengenal secara nama, tetapi menjadi titik di mana saya merasa menjadi “bagian” NU. Ketika itu usia saya 9 tahun, kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah. Sebelum peristiwa itu, menurut pemahaman saya, NU tidak pernah terlintas dalam pikiran. Di keluarga, saya hanya merasakan lingkungan yang akrab dengan tahlilan, manakiban, diba’an, siarah kubur dan semacamnya. Hampir tidak ada hari tanpa acara-acara tersebut. Sudah biasa.
Tetapi pemilu pertama di era orde baru tersebut, banyak peristiwa “aneh” yang membuat saya bertanya-tanya sebagai bocah kecil. Sering sekali saya saksikan truk-truk tentara berseragam lalu lalang di jalan. Semacam show of force. Tapi untuk apa? Saya kemudian mendengar, gambar-gambar NU (partai) di pinggir jalan dicopot, dibersihkan. Saya melihat suatu malam ada acara di rumah kakek saya, “latihan nyoblos” – ya nyoblos gambar NU di lembar peraga. Tidak ramai, cenderung sembunyi-sembunyi. Dan yang paling mengejutkan, ada kabar kakek saya hilang. Sudah tiga hari tidak pulang. Hari ke empat, baru pulang dengan wajah kuyu, tak banyak berbicara. Selang beberap hari baru dapat cerita, kakek dipaksa “nginap” di Koramil. Padahal, rumah kakek dan koramil hanya berjarak kira-kira 200 meter. Saya tidak paham apa yang terjadi. Tapi yang saya pahami, ada persaingan yang keras antara NU dan Golkar, karena gambarnya ada di mana-mana. Dan di”bantu” tentara hingga pamong desa. Hingga membuat takut kami yang mendukung NU.
Ayah saya tidak banyak cerita mengenai apa yang terjadi. Dia seorang guru madrasah. Habis pemilu tersebut, dia diangkat sebagai ketua LP Ma’arif tingkat MWC. Yang saya tahu, beberapa kali dalam seminggu ayah berangkat ke kantor Maarif. Jaraknya 1 kilo dari rumah. Selalu dengan pakaian lengkap: baju lengan panjang, pakai kopyah dan bersepatu. Pagi-pagi berangkat dengan sepeda, agak sore baru pulang. Apa istimewanya LP Maarif sehingga ayah begitu “serius” ngantor, apalagi dia juga harus mengurus madrasah di desa. Dia juga harus menyelesaikan pekerjaan rutinnya sebagai penjahit.
Maaf, saya mengawali tulisan ini dengan bercertia tentang “saya”. Dan bagaimana saya mengenal dan memahami NU pada tahun 70-an. Sebetulnya ada berbagai cara, bagaimana seseorang “menjadi NU”. Dia bisa mempelajari NU dari buku, atau pelajaran di sekolah. Tapi mungkin saaja, kebanyakan orang NU mengetahui, dan memahami NU dari peristiwa-peristiwa penting yang dialami yang kemudian menjadi “kesadaran” sejarah baik secara individu maupun secara kolektif. Paling tidak, ada semacam pengetahuan dan kesadaran kolektif yang membuat orang menyatakan: Ya, saya NU. Pengetahuan sistematis? Tidak sama sekali. Pengetahuan itu sekadar: NU didirikan oleh Hadrotussyaikh Hasyim Asy’ari. Gambar Jagat. Warna Hijau. Ahli tahlilan, ziarah kubur, dan seterusnya. Karena itu, kalau ditanya sejak kapan anda tahu tentang Muqaddimah Qanun Asasy? Apa peranan KH Wahab Chasbullah dalam pendirian NU? SIapa Ketua Tanfidziah pertama, kedua, ketiga, dst. ? Pada umur berapa dirimu tahu tentang Resolusi Jihad? Yakin, jawabannya akan berbeda-beda. Saya baru tahu Muqaddimah Qanun Asasy pada Munas Situbondo (`983), itupun yang sudah diterjemahkan oleh KH Musthofa Bisri. Itu contoh, bagaimana “kesadaran sejarah” NU selama ini tidak selalu didasarkan pada “sejarah tertulis”. NU telah menjadi memori kolektif. Cara kerja memori kolektif itu di luar cara kerja pengetahuan sistematik. Dia disosialisasikan secara kultural, melalui cerita turun-temurun, simbiol-simbol non verbal. Dia menembus ke dalam ke[tidak]sadaran. Tetapi sekaligus menumbuhkan kecintaan luar biasa, dan sumber identitas.
Mungkin ada orang yang galau, dengan kenyataan –sampai sekarang– tidak ada mata pelajaran tentang sejarah NU di sekolah/madrasah/pesantren NU. Kegalauan itu pasti tidak salah. Dan itu sudah pernah diupayakan adanya mata pelajaran ke-NU-an. Di Jawa Timur mungkin sampai sekarang masih ada. Di Yogyakarta pernah ada rintisan pelajaran ke-NU-an oleh LP Maarif. Tapi sekarang tidak terdengar apakah masih ada. Lalu ada yang berupaya menjadikan materi wajib dalam forum-forum pengkaderan. Upaya-upaya itu sangat diperlukan, untuk memahami NU secara “kaffah” untuk generasi mendatang. Pertanyaannya, mengapa hal yang sangat penting itu tidak cukup mendapat perhatian. Apakah NU cukup menjadi memori kolektif saja?
Transformasi memori kolektif menjadi kesadaran sejarah yang “kaffah” tadi memerlukan upaya serius. Karena haruslah dipahami, bahwa NU itu merupakan transmisi dari kesadaran masa lalu yang Panjang. Pendeknya, NU tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah Islam Nusantara. NU lahir dalam “jeda sejarah” yang sungguh monumental – Ketika peradaban santri sebelumnya mengalami surut akibat kolonialisme yang panjang. Nahdlatul Ulama, Kebangkitan Ulama, adalah nama yang menanadai era baru dan gerakan baru untuk mewujudkan cita-cita lama, yaktu kegairahan peradaban santri.
Dalam konteks ini semua, kita patut berterimakasih kepada Cak Anam.
Pertama, karena Cak Anam sudah memulai sebuah upaya baru untuk mentransformasi memori kolektif menjadi kesadaran sejarah NU, dimulai dari pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah NU. Dia menulis skripsi tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU berdasarkan fakta-fakta sejarah, dan menurut starndar historiagrafi. Dia mengimpun dokumen-dokumen primer yang sebelumnya banyak tidak diketahui oleh kebanyakan warga NU. Kekayaan sumber primer yang dimiliki oleh Cak Anam itu sungguh istimewa. Skripsi itu kemudian diterbitkan menjadi buku “babon” yang menjadi rujukan dalam penulisan tentang NU oleh sejarawan setelah Cak Anam. Penulis asing seperti Martin van Bruinessen, Adree Fillard, menjadikan buku Cak Anam sebagai peta awal dalam penulisan mereka.
Kekayaan dokumenter Cak Anam memungkinkannya menuliskan sejarah NU tanpa banyak tafsiran. Justru dokumen itu akan berbicara dengan sendirinya. Ini mirip cara Clifford Geertz dalam mengerjakan karya-karya antropoligisnya, yaitu dengan thick description, deskripsi detil, lengkap, sehingga –kata Geertz— kita bisa tahu perbedaan “tertawa”, “pura-pura tertawa”, hingga “belajar pura-pura tertawa”. Untuk itu dia harus mencatat dan mendiskripsikan fakta, bukan penilaian atas fakta. Biarlah fakta yang berbicara. Dengan cara kerja yang cukup teliti, memilah antara sumber primer dan sumber sekunder, kritik internal dan eksternal, maka cukuplah penulisan sejarah NU dianggap sempurna. Tidak perlu ada istilah “sejarah resmi”. Karena yamg “resmi” biasanya justru banyak masuk kepentingan-kepentingan.
Kedua, Cak Anam telah mengingatkan kita untuk memelihara dokumen-dokumen yang berkaitan dengan NU. Dokumen primer itu sangat banyak, mulai dari arsip surat, notulensi rapat, dokumen konferensi, muktamar, munas, rekaman suara, gambar, terbitan resmi organisasi, seperti majalah, koran, dan seterusnya. Oleh karena itu Cak Anam juga telah mendirikan museum NU di Surabaya. Selayaknya, setiap kepengurusan NU mempunyai kesadaran untuk menyimpan, dan merawat domumen-dokumen tersebut, bisa diupayakan sediri atau bekerjasama dengan Arsip Nasional, maupun Arsip Daerah. Di Arsip Nasional RI (Anri) sudah ada sedikit dokumen NU, Sebagian masih bersifat tertutup. Masih banyak ruangan di ANRI yang disediakan untuk NU masih belum terisi.
Betapa masalah-masalah mengenai sejarah NU tetap menjadi pekerjaan rumah yang harus mendapatkan perhatian. Kesadaran sejarah bagi generasi mendatang NU, tentu, harus dibangun dengan terus menulis sejarah NU secara benar, kemudian disosialisasikan secara benar sehingga muncul kecintaan terhadap NU
Jakarta, 11 Nopember 2023