OPINI  

Hari Santri, Dana APBN dan Infrastruktur Pendidikan Pesantren

Oleh Mabroer MS, Ketua LTN Idarah Aliyah JATMAN, Ketua Infokom DPP MUI

Secara historis, Pondok Pesantren khususnya yang didirikan para kiai dan ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan banyak diidentifikasi sebagai Pesantren NU mempunyai andil cukup besar terhadap kemerdekaan NKRI. Salah satu monumen cukup fenomenal adalah Fatwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang sekaligus menjadi dasar penetapan Hari Santri. Berdasarkan Fatwa itulah, seluruh komponen masyarakat khususnya kalangan santri dan Pesantren melibatkan diri secara aktif dalam perjuangan melawan penjajah pada 10 November 1945 dibawah komando Panglima Soedirman. Bahkan, sebelum perlawanan tersebut, Jendral Soedirman telah melakukan konsultasi sekaligus konsolidasi kekuatan dengan KH Hasyim Asy’ari selaku pengasuh Pesantren Tebu Ireng sekaligus pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama.

Fakta itu hanya sebagian kecil dari kontribusi Pesantren terhadap eksistensi negara ini, meski tak sedikit dari anak bangsa yang berusaha menafikannya seperti penolakan terhadap penetapan Hari Santri itu sendiri. Namun, kebenaran sejarah selalu menemukan jalannya sendiri dan negara pun akhirnya menunjukkan rasa terima kasih kepada Pesantren melalui penetapan UU Pesantren No 18 tahun 2019. Bahkan dalam UU tersebut, Negara telah memberikan payung hukum untuk pendanaan terhadap kebutuhan Pesantren yang nota bene merupakan institusi yang hanya fokus mendidik dan mencerdaskan anak-anak bangsa. Dalam pasal 48 UU No 18/2019 itu secara tegas disebutkan bahwa Pesantren berhak mendapatkan kucuran dana/bantuan dari Pemerintah Pusat (APBN), Pemerintah Daerah (APBD), dari masyarakat, serta sumbangan lain yang sah dan tidak mengikat. Dari persepktif UU Pesantren, terlihat sangat jelas bahwa Pondok Pesantren merupakan bagian integral NKRI dalam hal menyiapkan generasi yang bermoral, berakhlak, dan cerdas dalam merawat kemerdekaan ini.

Bahkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 82 tahun 2021 ditegaskan kembali kehadiran negara di dunia Pesantren melalui Bab III pasal 4 yang merupakan turunan dari UU Pesantren No 18/2019 pasal 48 yakni terkait dengan sumber pendanaan Pesantren. Dalam Perpres No 82 itu secara tegas disebutkan bahwa sumber pendanaan Pesantren bisa berasal dari Pemerintah Pusat melalui APBN, Pemerintah Daerah melalui APBD, juga berasal dari masyarakat maupun lembaga lain yang sah dan mengikat. Secara garis besar, Perpres No 82/2021 ini mengatur 3 hal yakni (1) sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren, (2) dana abadi pesantren, (3) pemantauan dan evaluasi. Pada poin ketiga inilah, pemerintah perlu melakukan pendampingan, pengawasan dan kontrol agar tidak terjadi penyimpangan atau kelalaian dalam penggunaan dana tersebut.

Kendati payung hukum terkait penggunaan dana pemerintah pusat maupun daerah untuk menopang kebutuhan Pesantren, termasuk recovery pembangunan Pesantren Al Khoziny Sidoarjo, ternyata masih sempat memunculkan beragam statemen yang bisa dimaknai sebagai penolakan. Selain dari kegaduhan di ruang digital, juga beberapa anggota DPR RI yang baru saja mendapatkan suntikan dana reses Rp 702 juta/orang. Antara lain Ibu Amalia Prataya (F-Golkar) karena khawatir menimbulkan kecemburuan. Pendapat serupa F-PAN yakni Ashabul Kahfi, Ahmad Bakri, serta Eddy Soeparno dengan catatan agar rencana penggunaan APBN dilakukan secara hati-hati dan disertai asas transparansi dan akuntabilitas. Tentu saja, catatan-catatan penting ini tetap perlu mendapatkan atensi serius dari pihak-pihak terkait, khususnya para pengelola Pondok Pesantren agar penggunaan dana pemerintah itu justru menjadi jebakan Batman. Dari sinilah, perlu dilakukan langkah-langkah antisipatif dan advokatif agar Pesantren tidak terjebak dengan urusan-urusan administratif yang merugikan Pesantren itu sendiri. Biarlah Pesantren tetap fokus dengan tugas mulianya yakni mendidik santri agar lebih siap dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 bersama elemen generasi muda lainnya.

Agar penggunaan dana pemerintah tersebut sesuai target dan menimbulkan masalah, ada baiknya juga Kementrian Agama selaku institusi payung bagi Pondok Pesantren membentuk tim khusus bersama instansi terkait seperti Kementerian PU untuk memberikan pendampingan dalam perencanaan dan pelaksanaan serta pengawasan termasuk mekanisme pertanggungjawabannya agar kekhawatiran berbagai pihak seperti catatan dari anggota F-PAN & Golkar itu tidak terbukti. Bahkan lebih bagus, kalau Pesantren juga tidak terlibat secara langsung dalam proses pembangunan gedung, kecuali menyampaikan catatan-catatan yang mereka perlukan sesuai kebutuhan Pesantren. Langkah seperti itu sangat diperlukan mengingat semua hal ihwal yang terkait dengan Pondok Pesantren itu terasa sangat sensitif di masyarakat karena tingginya animo serta harapan masyarakat terhadap ‘kesucian & kesakralan’ dunia Pesantren.

Apalagi Kementerian Agama juga memiliki dana Abadi Pesantren sehingga memungkinkan untuk melakukan telaah dan assessment secara intens untuk menyusun Road Mape penguatan Pondok Pesantren, baik yang menyangkut infrastruktur seperti tingkat kelayakan sarana prasarana, maupun yang menyangkut peningkatan kualitas suprastruktur Pesantren. Mulai dari peningkatan kesetaraan lulusannya hingga kesetaraan dalam pengembangan ilmu pengetahuan agar lulusan Pesantren khususnya Pesantren Salaf mempunyai peluang yang sama untuk memperdalam bidang ilmu lain seperti Teknik Kontruksi, Teknik Informatika, Kedokteran, Pertanian, Peternakan, serta bidang lainnya. Hal itu sangat memungkinkan asalkan ada afirmasi yang tegas dari pemerintah, meski harus melalui proses persiapan seperti halnya di Pesantren yakni Kelas Persiapan (isti’dad) bagi lulusan SD, SMP, SMU yang dianggap masih kurang bekal mendalami Kitab Kuning. Dengan cara seperti ini ada kesamaan kesempatan di semua lembaga pendidikan sehingga tidak muncul kesan bahwa Pesantren merupakan lembaga pendidikan kelas dua.

Sekedar mengingatkan, bukankah ilmu pengetahuan umum itu mulanya dikembangkan oleh pakar yang mumpuni para ilmuwan bidang keagamaan? Sekedar contoh, ilmu kedokteran oleh Ibnu Sina, ilmu matematika/aljabar oleh Al Khawarizmi atau sekarang dikenal dengan sebutan Algoritma, Ibnu Qurro/Tsabit bin Qurroh dan Al Battani di bidang astronomi sekaligus penentu Tahun (265 hari), Ibnu Al Farabi bidang Filsafat, Ibnu Al Haitam bidang fisika, dan Ibnu Khaldun bidang sosiologi. Ini merupakan peluang sekaligus tantangan, khususnya bagi Pesantren sekaligus Kementrian Agama agar memiliki peta jalan menuju Indonesia Emas dari sisi pengembangan Ilmu Pengetahuan yang berbasis Pesantren. (*)