Jakarta, jurnal9.tv -Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis 7 Agustus. Ia dimintai keterangan terkait kebijakan pembagian kuota haji tambahan pada penyelenggaraan ibadah haji 2024. Kementerian yang ia pimpin dituduh menjual kuota tambahan tersebut ke para pelaku usaha travel haji.
DPR RI sudah membentuk panitia khusus (pansus) untuk mengevaluasi penyelenggaraan haji tahun 2024. Di forum politik yang diinisiasi oleh Komisi VIII itu, Kemenag menjelaskan seluruh pokok persoalan, termasuk pembagian kuota haji tambahan yang menjadi polemik publik.
Juru Bicara Gus Yaqut, Anna Hasbi, menjelaskan kedatangan ke KPK merupakan bentuk kepatuhan hukum sekaligus itikad baik membantu aparat penegak hukum dalam menuntaskan perkara ini. “Pemeriksaan ini juga merupakan kesempatan terbaik bagi kami untuk menjawab berbagai kontroversi di publik selama ini terkait kuota haji tambahan. Ada banyak hal yang memang perlu dijelaskan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman,” kata Anna di KPK.
Anna menjelaskan persoalan ini bermula dari kuota haji tambahan yang diberikan pemerintah Arab Saudi ke Indonesia. Kuota ini merupakan keberhasilan lobi pemerintah yang menjadi berkah bagi seluruh rakyat Indonesia dan karena itu patut disyukuri. “Tapi memang implementasinya tidak mudah karena terkait berbagai kesiapan termasuk infrastruktur kita di tanah suci terutama saat pelaksanaan puncak ibadah haji di Arafah, Mudzalifah dan MIna (Armuzna). Penjelasan soal ini memang sangat teknis, tapi kami bisa menjelaskan dan mempertanggungjawabkan,” katanya.
Kesiapan infrastruktur itu antara lain terkait zona tinggal para jamaah haji saat melaksanakan puncak ibadah di Armuzna. Zonasi yang kita miliki saat itu mengacu kepada jumlah jamaah haji tanpa memperhitungkan kuota tambahan. Begitu ada kuota tambahan, maka kita harus mencari dan menyediakan tempat tinggal tambahan dengan berpegang pada prinsip kenyamanan dan keselamatan para jamaah.
Pembagian zonasi ini berbeda beda harganya. Semakin dekat dengan jamarat (tempat lempar jumrah) maka semakin mahal harganya. Semakin jauh dari jamarat, maka semakin murah. Jika kita ambil posisi yang dekat dengan jamarat, maka biaya hajinya akan sangat tinggi dan sangat mungkin membebani para jemaah haji reguler.
“Penempatan jamaah haji kuota tambahan di Armuzna merupakan bagian terpenting dari perkara ini karena terkait kenyamanan dan keselamatan para jamaah. Maka itu kami sangat hati hati dalam memutuskan pembagian kuota. Perkara ini kami selalu konsultasikan ke banyak pihak, termasuk para mitra kerja kami di DPR,” kata Anna.
Tidak hanya pembahasan di rapat kerja, Kemenang bersama para pemangku kepentingan juga melakukan kunjungan ke lapangan untuk melakukan simulasi. Termasuk mengukur risiko jika mengambil zona paling jauh dari Jamarat demi mendapatkan tempat tinggal ber biaya paling murah agar sesuai bujet jamaah haji reguler sebagai dasar perhitungan.
Dari pengecekan ke lapangan dan merasakan bagaimana beratnya perjalanan yang akan dilalui para jamaah, maka Kemenag dan para pemangku kepentingan sepakat untuk mencari zona tinggal jamaah yang tidak terlalu jauh dari jamarat. “Jadi, sekali lagi, pembagian kuota tambahan haji ini telah melalui proses pembahasan yang panjang dan simulasi lapangan untuk mendapatkan hasil terbaik. Semua pihak kami libatkan. Prosesnya transparan, adil dan dapat dipertanggungjawabkan,” kata Anna.
Sebagai catatan kuota haji di Indonesia terbagi jadi dua : Kuota tetap (kuota haji Indonesia) dan Kuota Tambahan. Kuota tetap itu didasarkan pada kesepakatan negara-negara OKI, yaitu jatah 1 kuota untuk 1000 penduduk muslim. Atas aturan OKI tersebut maka Indonesia mendapat kuota tetap sebesar 221.000 jamaah per tahun.
Kuota tetap ini dibagi berdasarkan Pasal 8 dan 9 dan, UU no 8/2019, menjadi Kuota haji regular dan kuota haji khusus. Pasal 64 ayat (2 ) UU no. 8/2019 berbunyi: “Kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari kuota haji Indonesia.” Itu sebabnya kuota haji Indonesia atau kuota tetap itu dibagi 92% untuk Jemaah haji regular atau sebanyak 203.320 dan 8% untuk haji khusus atau setara 17.680.
Terkait Kuota Tambahan diatur dalam Pasal 9 UU no 8/2019, yang bunyinya (1) Dalam hal terdapat penambahan kuota haji Indonesia setelah Menteri menetapkan kuota haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). Ketentuan mengenai pengisian kuota haji tambahan diatur dengan Peraturan Menteri.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa pembagian kuota tambahan tidak harus mengikuti aturan 92 :8, melainkan diskresi Menag yang harus mempertimbangkan ketersediaan dana manfaat (BPKH) juga ketersediaan layanan dalam dan luar negeri (proses pemvisaan, pesawat, akomodasi, ketersediaan tenda di Arafah dan Mina, termasuk petugas, dll). “Kebijakan pembagian kuota tambahan ini dilakukan secara transparan, adil dan dapat dipertanggungjawabkan. Banyak pihak ikut membantu kami memutuskan masalah ini dan ikut melakukan simulasi secara langsung untuk mengecek kesiapan di lapangan,” kata Anna.