Oktober selalu datang dengan aroma yang khas — suara lantunan selawat dari surau, barisan santri bersarung putih di jalan-jalan pesantren, dan langit yang seolah menunduk teduh di atas halaman tempat mereka berkumpul. Setiap tanggal 22 Oktober, negeri ini merayakan Hari Santri Nasional. Tapi lebih dari sekadar peringatan, hari itu seperti membuka jendela: memperlihatkan kelembutan Islam yang bersenyawa dengan kebangsaan, kebudayaan, dan kemanusiaan.
Tema tahun ini, “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia,” terdengar sederhana, tetapi di dalamnya tersimpan pesan besar: tentang tanggung jawab moral kaum santri dalam menjaga kemerdekaan yang tidak hanya bersifat politik, melainkan juga kebebasan berpikir, beragama, dan berperilaku secara beradab. Di tengah dunia yang makin gaduh oleh perbedaan, kaum santri hadir dengan ketenangan. Mereka menjaga negeri ini bukan dengan amarah, melainkan dengan doa dan keteladanan.
Dunia pesantren, yang mungkin tampak sederhana bagi sebagian orang luar, sesungguhnya adalah laboratorium kehidupan yang kaya. Di sanalah para santri belajar tentang disiplin, kemandirian, dan kebijaksanaan yang tumbuh dari keseharian. Mereka mengaji, membersihkan halaman, menanak nasi untuk sesama, lalu duduk tenang di serambi membahas ayat-ayat yang bicara tentang cinta dan kasih. Dari ruang-ruang kecil itulah lahir pemahaman bahwa agama tidak berdiri di menara gading, tapi hidup di tengah manusia — di antara tetangga, di pasar, di sawah, dan di jalan-jalan kecil yang mereka lewati setiap hari.
Itulah kelembutan Islam. Ia tidak datang dengan nada ancaman, melainkan dengan sapaan. Tidak menegakkan batas, tetapi membangun jembatan. Dalam kesehariannya, agama tidak hadir dengan kebisingan, tetapi dengan keteduhan. Dan di tengah wajah lembut Islam Nusantara itu, ada satu nama yang sulit dihapus dari ingatan bangsa: KH Abdurrahman Wahid — atau yang akrab dipanggil Gus Dur.
Gus Dur bukan hanya seorang pemimpin agama, melainkan sosok yang membuat banyak orang dari luar dunia Islam belajar memahami arti toleransi yang sejati. Ia tidak melihat perbedaan sebagai ancaman, tapi sebagai bagian alami dari ciptaan Tuhan. Dalam setiap tindakannya, Gus Dur menunjukkan bahwa beragama tidak perlu keras untuk menjadi kuat, dan tidak perlu menang sendiri untuk menjadi benar.
Ia adalah cermin santri yang paripurna: berakar pada tradisi, tapi berani melangkah ke dunia luas dengan kepala terbuka dan hati lapang. Ia memahami kitab, tapi juga memahami manusia. Ia tidak sibuk menilai siapa yang suci, melainkan mengingatkan semua agar tetap berperilaku manusiawi. Dalam diamnya, Gus Dur sering lebih fasih menjelaskan tentang makna Islam daripada seribu pidato keras.
Moderasi beragama yang kini menjadi arah besar bangsa sejatinya bukan konsep akademik, melainkan warisan cara berpikir yang telah lama hidup di pesantren. Pesantren menanamkan keyakinan bahwa kekuatan iman justru diuji dalam cara kita memperlakukan mereka yang berbeda. Santri tahu, Tuhan tidak butuh dibela dengan kemarahan, melainkan dengan akhlak yang baik. Mereka paham bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman, dan menjaga perdamaian adalah bentuk ibadah.
Melihat santri hari ini, ada rasa haru yang tak bisa disembunyikan. Mereka bukan lagi sekadar penjaga surau, tetapi juga penjaga nalar publik di tengah riuhnya dunia maya. Mereka membawa kitab, tapi juga membawa ponsel; mengaji tafsir, tapi juga menulis opini; mereka tampil dengan wajah yang segar, tanpa kehilangan akar.
Barangkali inilah yang disebut Gus Dur sebagai peradaban: ketika agama tidak hanya mengatur hubungan dengan Tuhan, tapi juga melahirkan manusia yang menghormati manusia lain. Ketika ajaran yang dibaca dalam kitab menjadi perilaku yang nyata di jalanan, di kantor, di sekolah, dan di media sosial.
Hari Santri mengingatkan bahwa kekuatan bangsa ini tidak hanya lahir dari senjata dan strategi, tetapi juga dari doa dan kelapangan hati. Santri menjaga Indonesia dengan caranya yang sederhana namun dalam: lewat ketenangan, kesabaran, dan kasih yang tak banyak bicara.
Dan di balik semua itu, terasa sekali jejak Gus Dur — dalam cara santri tersenyum, dalam cara mereka menyapa, dan dalam keyakinan bahwa perbedaan bukan alasan untuk saling meniadakan. Di situlah letak kelembutan Islam yang sulit dijelaskan tapi mudah dirasakan: ia tumbuh dari cinta, bukan dari ketakutan.
Selamat Hari Santri Nasional 2025. Santri Pilar Utama NKRI. (*)