Lamongan, Jurnal9.tv – Keputusan penyesuaian tarif penyeberangan lintas antar provinsi melalui KM 184 tahun 2022 yang ditandatangani oleh Menteri Perhubungan RI pada tanggal 28 September dan berlaku 3 hari setelahnya dianggap belum sesuai dengan harapan dan dianggap ada politisasi.
Ketua Umum DPP Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Khoiri Soetomo mengungkapkan besaran kenaikan tersebut tidak sesuai dengan pengusulan dari Gapasdap.
Menurut Khoiri, sebenarnya usulan Gapasdap untuk penyesuaian tarif angkutan penyeberangan akibat adanya kenaikan harga BBM tidak terlalu besar. Akan tetapi, yang besar adalah adanya kekurangan pada saat penetapan tarif sebelumnya yang dihitung mulai tahun 2018.
Sebelumnya, lanjut Khoiri, kekurangan tersebut mencapai 35,4 persen, yang sebenarnya sesuai ketentuan perlu dilakukan evaluasi atau penyesuaian setiap 6 bulan. Namun hal itu tidak dilakukan, sehingga tidak cukup untuk menjamin keselamatan pelayaran dan standar pelayanan minimum.
“Kami heran, di satu sisi Menteri Perhubungan adalah penanggung jawab keselamatan transportasi, akan tetapi kenapa menetapkan tarif yang bertolak belakang dengan keselamatan. Ini seakan-akan kami ingin dijebak pada penilaian publik tentang rendahnya jaminan keselamatan transportasi penyeberangan ataupun standar pelayanan minimum yang kurang,” ungkapnya.
Sebagai asosiasi pengusaha angkutan penyeberangan, Khoiri menegaskan, pihaknya tidak bisa menerima tuntutan untuk keselamatan dari pemerintah. Sehingga, keselamatan itu bukan menjadi tanggung jawab operator atau pengusaha lagi, melainkan tanggung jawab dari Kementerian Perhubungan.
“Karena kondisi pentarifan yang sangat minim. Tarif angkutan penyeberangan yang melakukan perhitungan adalah pemerintah, sehingga ketika terjadi kekurangan dalam penetapannya seolah-olah ada unsur kesengajaan. Bila terjadi kecelakaan, maka menteri yang harus bertanggung jawab,” terangnya.
Selain berpengaruh pada faktor keselamatan, tambah Khoiri, kurangnya tarif ini dikhawatirkan akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan karyawan yang selama ini sudah terganggu dalam pembayaran gajinya.
Dengan gaji yang tidak cukup itu, pihaknya menilai, akan menyebabkan kurangnya konsentrasi kerja karyawan dan berdampak pada keselamatan pelayaran.
“Dari sini dapat dikatakan bahwa menteri menganggap bahwa keselamatan tidak penting, padahal keselamatan nyawa publik tidak ternilai harganya dan menjadi kewajiban pemerintah sesuai UUD untuk menjamin keselamatan jiwa dari setiap rakyatnya,” bebernya.
Lebih lanjut, Khoiri juga berkata, pemberlakuan KM 184 tahun 2022 telah membatalkan KM 172 tahun 2022 mengenai penyesuaian tarif angkutan penyeberangan lintas antar provinsi yang ditetapkan pada tanggal 15 September 2022 yang seharusnya berlaku 3 hari setelahnya.
“Namun SK tersebut ‘layu sebelum berkembang’, yakni tidak pernah berlaku tanpa adanya kejelasan dan juga tidak ada pencabutan meskipun telah melewati batas waktu pemberlakuannya pada tanggal 19 September 2022,” ucapnya.
“Sebagai perbandingan, untuk kenaikan tarif yang terjadi pada moda transportasi yang merupakan pasar dari angkutan penyeberangan, yaitu Organda sudah mengalami kenaikan antara 35 – 45 persen dan Aptrindo 40 persen, sebelum terjadinya kenaikan tarif angkutan penyeberangan,” imbuhnya.
Atas kenyataan ini semua, Khoiri mempertanyakan kenapa hal tersebut tidak ada kontrol dari pemerintah. Sehingga, ia menyebut, telah terjadi diskriminasi di mana moda transportasi laut tidak diperhatikan oleh Kemenhub.
“Padahal jargon Presiden Jokowi adalah maritim. Semoga Pak Jokowi mendengar hal ini, agar segera melakukan pembenahan di sektor industri angkutan Penyebrangan Nasional dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif yang menjamin keselamatan pelayaran Penyebrangan,” pungkasnya. (mbs/snm)