Akhir-akhir ini, muncul dan menjadi perbincangan kembali tuduhan bahwa kultur pesantren adalah bentuk “feodalisme”. Pandangan yang menyamakan relasi kiai-santri dengan sistem feodal adalah sebuah kekeliruan konseptual (tashawwur) yang mendasar dan tidak dapat dibenarkan. Anggapan ini lahir dari kegagalan membedakan antara disiplin spiritual (adab) dengan sistem kekuasaan materialistis (feodalisme). Kita perlu memahami kedua konsep ini dari akarnya agar kita dapat memahami dengan sudut pandang yang lebih luas dan tidak terjebak dengan logika atau penalaran yang salah.
Dari beberapa sumber otoritatif yang kami dapat seperti KBBI, Prof. Dr. Habib Mustopo, dkk. dalam buku Sejarah, Kun Maryati dalam Sosiologi, Feodalisme adalah sistem sosial-politik yang esensinya berlandaskan pada kekuasaan duniawi dan hierarkis, relasi kuasa yang timpang, eksploitatif, berbasis paksaan, menindas dan menutup ruang kritik.
Berbeda dengan feodalisme, relasi antara guru-murid (kiai-santri) dibangun di atas fondasi adab dan ta’ẓīm (penghormatan), sebuah disiplin spiritual yang bertujuan untuk memuliakan ilmu. Konsep ini, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ta’limul Muta’allim, menegaskan bahwa keberkahan dan kemanfaatan ilmu tidak akan tercapai kecuali dengan mengagungkan ilmu itu sendiri dan ahlinya (guru). Penghayatan ini tergambar dalam ungkapan masyhur Sayyidina Ali bin Abi Thalib,
أنا عبد من علمني ولو حرفا
“Aku adalah hamba sahaya dari orang yang telah mengajariku walau satu huruf.”. Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU KH Ulil Abshar Abdalla atau Gus Ulil menjelaskan bahwa kata ‘harfan’ ini bukan sekadar ilmu pengetahuan atau informasi saja. Akan tetapi, ‘harfan’ dalam pengertian yang menjadi petunjuk kepada kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Pernyataan sayyidina Ali bin Abi Thalib ini bukanlah deklarasi perbudakan fisik, melainkan metafora tentang kerendahan hati (tawadhu’) dan pengakuan atas utang budi ilmu yang tidak ternilai, di mana seorang murid secara sadar menempatkan dirinya dalam posisi spiritual yang rela hati demi meraih keridhaan gurunya.
Banyak orang non-pesantren mungkin merasa heran saat melihat tradisi adab/ta’dhim yang begitu kental.
Aturan-aturan seperti tidak berjalan di depan guru, tidak duduk di tempatnya, atau meminta izin sebelum berbicara, seringkali disalahpahami. Ada yang mengira ini mirip feodalisme, padahal tujuannya sama sekali berbeda. Dalam kitab Bariqah Mahmudiyah, dijelaskan bahwa rangkaian etika ini bukanlah untuk menciptakan jurang kekuasaan, melainkan sebuah metode untuk melatih hati, menumbuhkan rasa hormat, dan menciptakan suasana terbaik agar ilmu dapat terserap dengan baik, berkah dan manfaat.
Begitu pula dengan tradisi mencium tangan atau berdiri saat guru datang. Ini bukanlah bentuk penyembahan atau kultus individu. Sederhananya, ini adalah simbol penghormatan, bukan kepada sosoknya semata, tetapi kepada ilmu agung yang beliau bawa—ilmu yang sanadnya bersambung hingga ke Rasulullah SAW. Tujuannya murni untuk mendapatkan keberkahan (tabarruk), bukan kepatuhan buta.
Lalu, apakah ketaatan ini tanpa batas? Jawabannya: tidak sama sekali. Justru di sinilah letak perbedaan paling mendasar antara adab dan feodalisme. Ada sebuah “garis merah” yang sangat tegas dan tidak bisa ditawar. Banyak kitab rujukan seperti Ta’limul Muta’allim dan Bariqah Mahmudiyah sama-sama mengunci prinsip ini dengan kaidah:
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.” Artinya, kepatuhan seorang murid (santri) kepada (kiai) langsung gugur jika perintah itu bertentangan dengan syariat. Prinsip ini dengan sendirinya membantah tuduhan feodalisme.
Bahkan untuk penghormatan fisik yang paling ekstrem, yaitu sujud, para ulama sepakat (ijma’) bahwa hukumnya haram. Dijelaskan dalam kitab Al-minhaj Al-qowim Syarah Al-Muqoddimah Al-Hadlromiyah bahwa sujudnya seseorang di hadapan gurunya, meskipun niatnya bertaqarrub kepada Allah Ta’ala, adalah perbuatan terlarang yang bahkan bisa menjerumuskan ke dalam kekufuran. Ini adalah bukti nyata bahwa adab memiliki “pagar” syariat yang kokoh untuk menjaga kemurnian tauhid.
Adab tidak membunuh nalar kritis. Ia menyediakan ruang aman untuk berdialog. Banyak yang tidak tahu bahwa Imam an-Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar justru menganjurkan seorang murid untuk bertanya kepada gurunya jika melihat sesuatu yang tampak ganjil atau tidak biasa. Tujuannya adalah untuk mencari penjelasan (istirsyad). Beliau mencontohkan bagaimana para sahabat seperti Usamah bin Zaid dan Umar bin Khattab tidak ragu bertanya langsung kepada Rasulullah SAW ketika mereka butuh klarifikasi.
Berdasarkan dalil-dalil dan perbandingan di atas, dapat disimpulkan bahwa tuduhan feodalisme terhadap kultur pesantren adalah analogi yang keliru. Tuduhan tersebut lahir dari pandangan materialistis yang gagal memahami bahwa adab dan ta’ẓīm dalam tradisi pesantren adalah sebuah disiplin spiritual yang dilakukan secara sadar untuk memuliakan ilmu dan ahlinya, bukan bentuk penghambaan buta kepada figur. Relasi ini adalah proses pembinaan tata kehidupan yang seimbang (hablu min-Allah wa hablu minan-nas) yang berlandaskan pada keikhlasan dan cinta, sangat berbeda dengan feodalisme yang berlandaskan pada eksploitasi dan paksaan. Akhir kata, kita tdak harus berpikiran sama, tapi kita diajarkan untuk sama-sama berpikir, waalahu a’lam.
Referensi:
1. Bariqoh Mahmudiyah Fi Syarhi Thoriqoti Muhammadiyyah Wa Syari’ati Nabawiyah Juz 4 Hal 3 Karya imam Muhammad bin Bir Ali Al-Barkuli
2. Al-Adzkar Hal 323 Karya Imam Nawawi
3. Ta’limul Muta’allim Hal 16 Karya Syaikh Burhanuddin al-Zarnuji
4. Al-minhaj Al-qowim Syarah Al-Muqoddimah Al-Hadlromiyah Hal 136 Karya Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami
5. https://katadata.co.id/berita/nasional/6200a36a01aa8/feodalisme-pengertian-sejarah-dan-ciri-ciri-masyarakat-feodal