Kunjungan Pak CT (Chairul Tanjung) bersama jajaran CT Corp ke Pondok Pesantren Lirboyo hari Kamis (23/10) ini menjadi sorotan publik, khususnya kalangan santri dan Nahdliyin. Dalam kesempatan itu, Chairul Tanjung menyampaikan permohonan maaf secara langsung kepada keluarga besar Lirboyo dan bersilaturahmi ke kediaman KH. Anwar Manshur. Langkah ini dilakukan setelah muncul desakan kuat dari para santri, alumni, dan keluarga besar pesantren akibat tayangan program Xpose Uncensored yang dinilai melukai perasaan umat, terutama kalangan pesantren. Sebelumnya, pihak CT Corp hanya mengutus Direktur Produksi dan beberapa staf. Namun, hal itu tidak meredakan tuntutan #boikotTrans7 dan demo yang dilakukan para santri di berbagai wilayah.
Johannesen (1996) menjelaskan tentang Etika Komunikasi, bahwa komunikasi publik menuntut adanya tiga prinsip utama: kejujuran (truthfulness), rasa hormat (respect), dan tanggung jawab (responsibility). Media massa sebagai saluran komunikasi publik memiliki tanggung jawab moral atas pesan yang disiarkannya.
Ketika sebuah tayangan menimbulkan keresahan dan melukai perasaan masyarakat, maka permohonan maaf bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk pengakuan atas kesalahan komunikasi. Terlebih lagi, dalam konteks lembaga besar seperti CT Corp, tanggung jawab itu seharusnya diemban langsung oleh pemilik atau pimpinan tertinggi, bukan sekadar dilimpahkan pada bawahan. Islam sendiri mengajarkan pentingnya kehati-hatian dalam berbicara dan menyampaikan pesan. Setiap ucapan memiliki konsekuensi moral dan sosial. Dalam konteks komunikasi publik, tanggung jawab ini semakin besar karena pesan yang disampaikan dapat memengaruhi jutaan orang sekaligus.
Dalam pandangan pesantren, komunikasi tidak hanya diukur dari kebenaran informasi, tetapi juga dari adab dan niat di balik penyampaiannya. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang membawa nilai ma’ruf — sesuatu yang diakui baik secara sosial dan syar’i.
Komunikasi dakwah —termasuk dalam ruang publik modern seperti media— harus dilakukan dengan hikmah, kelembutan, dan niat yang baik. Namun, jika ada pelanggaran atau penyimpangan yang merendahkan ajaran Islam, maka amar ma’ruf nahi munkar menjadi bagian dari tanggung jawab moral masyarakat.
Reaksi tegas para santri dan alumni Lirboyo dapat dipahami dalam kerangka ini. Mereka tidak sedang marah karena ego kelompok, tetapi sedang menegakkan nilai kehormatan (izzah) terhadap agama dan guru mereka. Dalam tradisi santri, menghormati kiai adalah bagian dari menjaga marwah ilmu dan agama.
Ini bukan kali pertama dunia penyiaran bersinggungan dengan perasaan umat. Beberapa tahun lalu, publik sempat digemparkan oleh pernyataan seorang presenter yang membid’ahkan bacaan Fatihah untuk almarhum, serta tayangan “Khazanah” di Trans7 yang menyudutkan amalan malam Nishfu Sya’ban. Saat itu, permintaan maaf hanya disampaikan secara formal di layar kaca, tanpa ada refleksi mendalam atau langkah perbaikan nyata.
Kasus Xpose Uncensored Trans7 ini semestinya menjadi titik balik. Permintaan maaf Chairul Tanjung harus dimaknai bukan sekadar sebagai respons terhadap tekanan publik, tetapi sebagai pelajaran penting bahwa media wajib memiliki kesadaran kultural terhadap umat yang menjadi penontonnya.
Media memiliki peran besar dalam membentuk kesadaran publik. Karena itu, media tidak bisa hanya mengejar rating atau sensasi, tetapi harus menjadi ruang yang mencerdaskan dan menghormati nilai-nilai masyarakat. Media seharusnya memahami bahwa masyarakat Indonesia memiliki kekayaan tradisi keagamaan yang hidup, termasuk amaliyah yang dijalankan warga pesantren. Menyudutkan praktik-praktik tersebut (apalagi tanpa dasar yang kuat) bukanlah bentuk edukasi, melainkan kesalahan etika komunikasi yang bisa memecah kepercayaan sosial.
Kedatangan Chairul Tanjung ke Lirboyo memang terlambat, namun tetap layak diapresiasi. Dalam tradisi pesantren, pintu maaf selalu terbuka bagi siapa pun yang datang dengan niat tulus. Kini, yang lebih penting adalah memastikan agar kesalahan yang sama tidak terulang. Dunia media perlu menata ulang kesadaran etikanya, memahami keberagaman budaya Islam di Indonesia, dan menempatkan adab sebagai pondasi komunikasi.
Sebab sebagaimana pesan para kiai guru kita: Adab itu lebih tinggi daripada ilmu. Dan dalam konteks dunia penyiaran hari ini, mungkin perlu kita tambahkan: Adab komunikasi lebih utama daripada sekadar popularitas dan keuntungan. Wallahu a’lam bish-showab (*)




