Hukum sering kali dibayangkan sebagai gedung pengadilan yang dingin, tumpukan kertas kaku, dan ketukan palu hakim yang tak kenal ampun. Namun, melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, Indonesia mencoba memberikan “ruh” ke dalam sistem hukumnya. Upaya ini tertuang dalam pengakuan terhadap living law atau hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Setelah lebih dari seabad kita meminjam logika hukum kolonial Belanda yang kaku dan legalistik, kini negara mencoba berpaling pada kearifan lokal, pada tradisi, dan pada denyut nadi kehidupan masyarakat adat. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah apakah langkah ini akan lebih memanusiakan warganya, atau justru menjadi belenggu baru yang menciptakan ketidakpastian hukum dalam hidup mereka?
Mencari Keadilan di Antara Tulisan dan Kenyataan
Secara normatif, pengakuan hukum yang hidup dan berkembang di tengah Masyarakat tertuang di Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa seseorang bisa dihukum berdasarkan hukum yang berlaku di masyarakat, bahkan jika perbuatan itu tidak tertulis dalam undang-undang nasional. Ini merupakan perubahan pandangan yang sangat mendasar. Sebelumnya, kita selalu berpegang teguh pada asas legalitas—nullum crimen, nulla poena sine lege bahwa tak ada kejahatan dan hukuman tanpa aturan tertulis yang jelas.
Langkah ini sesuai dengan teori Sociological Jurisprudence dari Eugen Ehrlich, yang percaya bahwa hukum yang sejati bukanlah yang tercatat di buku-buku ataupun undang-undang resmi, melainkan yang diterapkan oleh masyarakat dalam kehudupan sehari-hari mereka. Dibalik ini semua ada semangat kemanusiaan yang baik: negara ingin menghargai jatidiri masyarakat, menghormati para tokoh adat, dan mengakui bahwa keadilan tidak selalu datang dari pusat pemerintah di Jakarta, tapi bisa muncul dari diskusi bersama di desa.
Namun, dibalik niat mulia ini ada risiko nyata membayangin. Bayangkan saja jika perantau kita harus hidup dalam rasa was-was karena tidak tau pasti mana yang benar dan mana yang sakah dimata hukum. Esensi hukum yang maniusiawi itu sederhana : ia harus menjadi Kompas yang menuntun jalan dan bukan malah menjadi ranjau yang bisa meledak sewaktu-waktu karena ketidaktahuan kita.
Risiko di Balik Ketidakpastian
Tantangan terbesar kita bukan Cuma soal pasal tetapi soal ketidakpastian atau “kekaburan norma” (vagueness of norms). Dalam dunia yang ideal aturang yang jelas adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap harkat dan martabat manusia. Jika aturan tersebut menjadi abu-abu maka masyarakt tidak lagi memiliki pegangan sehingga akubatnya hal tersebut akan sangat mudah menjadi korban ego penafsir hukum atau tekanan massa yang mengatasnamakan “adat” tanpa dasar yang pasti.
Di sinilah kita harus Kembali pada prinsip keadilan yang bermartabat. Keadilan sejati bukan hanya bicara soal siapa yang menang di pengadilan, tetapi bagaimana prosesnya tetap menghargai kehormatan kita sebagai manusia. Kita perlu lebih waspada ketika aparat diberikan kewenangan terlalu bebas dalam menafsirkan sendiri mana aturan adat yang berlaku dan mana yang tidak, hukum bisa bersifat sangat subjektif. Tentunya kita tidak ingin hukum adat yang suci dan penuh kearifan justru disalahgunakan untuk kepentingan politik atau hanya sekedar menjadi alat untuk memilih-milih siapa yang ingin dihukum.
Kekahawatiran ini terlihat semakin nyata bayangkan saja saat kita melihat Nasib perempuan dipelosok negeri yang masih terbelenggu dengan aturan adat yang belum adil secra gender. Jika norma-norma yang memojokkan perempuan ini dipaksakan masuk de dalam KUHP, negara seolah-olah sedang melegalkan penderitaan bagi perempuan. Bukankah hukum yang memanusiakan manusia itu harusnya tidak membenturkan tradisi dengan hak asasi? Tradisi itu lahir untuk memuliakan hidup kita, bukan malah menjadi alat penindasan yang diberi “stampel resmi” oleh negara.
Keadilan yang terbelah : Satu Negara, Beda Aturan?
Salah satu janji kemerdekaan kita adalah kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) bahwa setiap warga negara diperlakukan sama tanpa memandang kasta. Namun, dengan hadirnya living law, membawa risiko besar bagi keutuhan keadilan kita. Bayangkan saja sebuah perbuatan bisa dianggap biasa saja di satu kabupaten, namun justru bisa berujung penjara di daerah tetangganya. Bagi Masyarakat saat ini yang bergerak cepat dan melintasi batas daerah setiap harinya, ketisakpastian seperti ini adalam mimpi buruk. Kita tidak boleh membiarkan rasa aman seseorang ditentukan oleh dimana ia berdiri, bikan oleh kebenaran yang hakiki.
Secara manusiawi kita perlu bertanya pada diki kita sendiri, apakah adil jika rasa aman seorang warga negara hanya ditentukan oleh koordinat diamana ia berpijak? Seharusnya pembaruan KUHP hadir sebagai payung teduh yang melindungi setiap anak bangsa dengan rasa keadilan yang setara. Tidak boleh menjadi jarring-jaring aturan lokal yang bolong dia sana-sini yang justru membiarkan warga negaranya terperosk kedalam ketidakpastian hanya karena perbedaan wilayah.
Menuju Hukum yang Menghidupkan
Agar living law tidak menjadi ancaman yang menakutkan, kita pelu mengubah cara pandang secara mendasar. Jangan sampai kita menarik hukum adat secara paksa ke dalam logika penjara yang dungin dan sekedar menghukum (retributif), sebaliknya harus kita arahkan pada Keadilan Restoratif (restorative justice) sebagai sebuah jalan untuk memulihkan keadaan.
Mari Kita ingat Kembali, dalam tradisi luhur nusantara, hukuman adat jarang sekali bertujuan membuang seseorang ke dalam sel gelap yang sunyi. Justru sebaliknya, sanksi hukum adat biasanya bertujuan memulihkan keseimbangan yang retak, mendamaikan mereka yang berselisih dan merangkul Kembali pelaku pelanggaran ke dalam dekapan hangat masyarakat. Inilah sisi kemanusiaan yang seharusnya diadopsi kedalam hukum nasional, bukan justru menghilangkannya demi pidana semata.
Jika hukum adat dipaksakan menjadi alat untuk memenjarakan orang, ia akan kehilangan jiwanya sebagai hukum yang tumbuh secara alami. Ia akan menjadi “kehendak negara yang dipaksakan atas nama adat”. Oleh karena itu, pemerintah harus segera menyusun panduan yang sangat ketat melalui Peraturan Pemerintah. Hukum yang hidup hanya boleh memiliki daya ikat jika memenuhi tiga syarat mutlak:
1. Jelas dan tertulis Aturan tersebut harus sudah disepakati dan dicatat secara jelas agar tidak menjadi jebakan bagi mereka yang tidak tahu.
2. Aturan tersebut harus sudah disepakati dan dicatat secara terang agar tidak menjadi jebakan bagi mereka yang tidak tahu.
3. Senjata Terakhir: Hukum adat hanya boleh digunakan sebagai jalan terakhir (ultimum remedium) saat dialog dan perdamaian sudah benar-benar menemui jalan buntu.
Simpulan: Menjaga Martabat di Tengah Perubahan
Penerapan living law dalam KUHP Baru ini sebenarnya adalah sebuah pertaruhan besar. Di satu sisi, ia adalah bentuk penghormatan pada akar budaya, namun di sisi lain menjadi ujian sejauh mana kedewasaan hukum kita telah tumbuh
Satu hal yang harus kita pegang teguh: hukum yang baik bukan sekadar hukum yang “hidup” (living), melainkan hukum yang “menghidupkan” (giving life). Hukum yang menghidupkan adalah hukum yang memberikan rasa aman, memberikan kepastian dan menjaga setiap orang dari kesewenang-wenangan. Jangan sampai semangat dekolonisasi ini justru membawa kita kembali ke era di mana hukum ditentukan oleh siapa yang paling keras suaranya di lapangan, bukan oleh apa yang benar menurut nurani dan aturan yang jelas.
Pada akhirnya, martabat hukum kita dalam KUHP Baru ini akan ditentukan oleh keberanian kita untuk memberi batas. Sebab tanpa batasan yang terang benderang, keadilan hanyalah sebuah kata hampa, dan warga negara akan terus berjalan dalam kegelapan meraba-raba di mana letak keadilan yang dijanjikan.
*) Oleh: Rodiyahna Tri Indarti. Mahasiswa Hukum Pascasarjana Unesa




