Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari niat baik negara, memastikan generasi muda tumbuh sehat dan mampu belajar dengan optimal. Namun niat baik saja tidak cukup. Ketepatan sasaran dan kepatuhan pada desain kebijakan adalah kunci agar program ini tidak kehilangan makna.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Belakangan, muncul pengalihan MBG yang semula diperuntukkan bagi siswa sekolah, dialihkan kepada ibu hamil dan menyusui saat masa libur sekolah, termasuk libur Natal dan Tahun Baru. Di atas kertas, sasaran pengganti ini juga kelompok rentan. Tetapi pertanyaannya bukan soal empati, melainkan soal ketepatan kebijakan.

MBG untuk siswa bukan sekadar bantuan makanan, melainkan bagian dari ekosistem pendidikan. Program ini melekat pada aktivitas belajar-mengajar: meningkatkan konsentrasi, kehadiran, dan kualitas pembelajaran, sekaligus pencegahan stunting pada usia sekolah. Artinya, MBG siswa adalah hak berbasis layanan pendidikan, bukan bantuan sosial yang bisa dialihkan begitu saja.

Sementara itu, ibu hamil dan menyusui memang memiliki kebutuhan gizi yang sangat penting, khususnya dalam periode 1.000 hari pertama kehidupan. Namun negara juga telah merancang skema tersendiri untuk kelompok ini, seperti layanan posyandu, PMT, dan program kesehatan ibu dan anak. Logika kebijakannya berbeda, indikator keberhasilannya berbeda, dan mekanisme anggarannya pun semestinya berbeda.

Di sinilah persoalan muncul. Ketika MBG siswa dialihkan tanpa penjelasan kebijakan yang transparan, publik berhak bertanya:
Apakah ada dasar hukum atau petunjuk teknis yang membolehkan pengalihan sasaran?
Ataukah ini sekadar inisiatif lapangan agar anggaran “tetap terserap”?

Jika pengalihan dilakukan tanpa payung aturan yang jelas, maka yang dipertaruhkan bukan hanya akuntabilitas anggaran, tetapi juga hak siswa yang secara tidak sadar dianggap fleksibel dan bisa “dipinjamkan” ke kelompok lain.

Perlu ditegaskan, keberatan atas pengalihan ini bukan berarti menolak pemenuhan gizi ibu hamil dan menyusui. Justru sebaliknya, setiap kelompok rentan berhak mendapatkan layanan sesuai kebijakan yang dirancang khusus untuk mereka. Program publik tidak boleh berjalan dengan logika tambal sulam.

Jika memang ada kebijakan resmi bahwa selama libur sekolah MBG dialihkan sementara ke posyandu atau ibu hamil, maka negara wajib terbuka menyampaikannya ke publik. Transparansi adalah kunci menjaga kepercayaan. Namun jika tidak ada, maka penghentian sementara MBG siswa selama libur sekolah adalah pilihan yang lebih jujur secara kebijakan daripada mengubah sasaran secara sepihak.

MBG adalah program strategis jangka panjang. Agar tidak menuai resistensi sosial, ia harus dijalankan secara konsisten, tertib aturan, dan tepat sasaran. Jangan sampai niat baik negara justru melemah karena kelonggaran dalam tata kelola.

Hak siswa tetaplah hak siswa. Dan kebijakan yang baik adalah kebijakan yang berani disiplin pada desainnya sendiri.

===

Ditulis oleh: R. Fitria P., pemerhati kebijakan publik.