Dunia semakin nampak penuh beban di dalam menghadapi tantangan dalam bentuk bencana alam dan non alam. Bencana ini merupakan peristiwa yang sangat tidak diinginkan terjadi namun terjadi berulang-ulang yang sangat berdampak pada kelangsungan hidup makhluk hidup, khususnya manusia.
Bencana yang seakan tidak henti hentinya menghantam alam sekitar baik itu banjir, tanah longsor, angin ribut maupun kerusakan atas nilai kemanusiaan, berupa peperangan/konflik bersenjata, pengeksploitasian manusia atas manusia seperti perdagangan manusia dan barang secara ilegal hingga penggerogotan atas kualitas lingkungan hidup baik yang terjadi di darat, lautan maupun udara, menjadi pemberitaan yang patut menjadi pembelajaran bagi perlindungan dan pemeliharaan kualitas hidup manusia dan lingkungannya.
Sudah barang tentu, makhluk hidup yang dituntut untuk memperbaiki, menjaga dan mengelola bumi ini adalah manusia. Sosok makhluk hidup yang diberi akal dan pikiran serta petunjuk merupakan satu-satunya yang diberikan kepercayaan oleh Sang Pencipta untuk mengelola dunia ini.
Dalam perspektif demikian, sudah barang tentu semua keanomalian dan kerusakan yang terjadi di sekitar manusia itu hidup adalah peringatan sekaligus tantangan untuk mengantisipasi sejak ini atau memitigasi bencana guna minimal mengantisipasi atau meminimalisir dampak negatif dari bencana. Kata memitigasi inilah yg menjadi tanggung jawab manusia.
Memitigasi (mengelola) bencana mengandung arti antisipatif, regulatif, pemberdayaan, rehabilitatif, korektif, punitif, dan evaluatif. Karena secara kodrat manusia adalah makhluk yang penuh kealpaan. Untuk itu mitigasi harus terus menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pertumbuhan manusia. Tidak heran berbagai program sosialiasi atas dampak bencana ini terus gencar disebarluaskan di berbagai kalangan dan insitusi baik pemerintah maupun non pemerintah. Intinya negara harus hadir untuk melindungi keselamatan manusia bukan membiarkan bahkan menelantarkan. Dalam proses mitigasi ini tentu manusia tidak bisa berdiri sendiri namun pada akhirnya manusia itu sendiri harus mempersiapkan diri agar tidak terperangkap ataupun terjerembap dalam interaksi yang dirasa/dilihat/dinilai dapat mencelakakan diri dan orang banyak serta lingkungannya.
Menyadarkan semua manusia akan tanggung jawab ini menjadi satu isu yang sangat krusial. Adanya kesadaran dini bagi manusia untuk bertanggung jawab adalah tanda keselamatan awal terhadap bahaya yang diakibatkan oleh bencana tersebut.
Bila kita kembali ke atas tadi bahwa bencana (baik alam maupun non alam) akan berdampak buruk bagi manusia dan lingkungan, maka sikap yang paling mendasar untuk ditunjukkan adalah penolakan diri terhadap setiap tindakan dan rayuan ataupun ajakan yang dapat membawa diri kita ataupun masyarakat kita jatuh dalam praktik yang merendahkan martabat manusia itu sendiri.
Dalam hal di atas tentu pada setiap tingkatan manusia perlu diperkenalkan sifat, perilaku dan benda yang dapat mendorong manusia menjadi pelaku dan sindikasi timbulnya bencana. Bencana itu pun harus disadari tidak harus menunggu menjadi bencana kemanusiaan nasional tapi selayaknya juga dilihat dari lingkup yang terdekat, yakni diri, keluarga dan masyarakat sekitar.
Bila kita semua mulai menyadari bahwa ancaman bencana itu bisa saja terjadi pada diri sendiri dan keluarga, maka hal yang perlu dipersiapkan oleh diri pribadi adalah kewaspadaan atas anasir-anasir buruk yang bisa saja muncul dari dalam alam pikiran kita maupun dari pengaruh lingkungan kita. Maka, sebagai bangsa yang berKetuhanan Yang Maha Esa, diri ini perlu dibentengi oleh nilai-nilai agama dan nasehat-nasehat yang bijaksana dan sini atas ilmu dan pengalaman serta kejadian yang terjadi di sekeliling kita yang positif.
Pendekatan antisipatif yang holistik seperti di atas yang menyangkut upaya pembentengan diri manusia terhadap godaan baik yang terlihat maupun tidak terlihat (tidak kasat mata) pun menjadi landasan yang ideal untuk setiap diri maupun institusi di dalam memitigasi bencana yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberlangsungan hidup manusia.
Semoga perkembangan makhluk hidup di dunia, khususnya manusia “sang mitigator” sebagaimana yang diyakini pun akan berakhir pada waktunya, maka pekerjaan rumah yang masih diberikan kepada kita yang masih hidup adalah terus memupuk tanggung jawab diri dan bersama ini untuk dan di dalam memitigasi ancaman /bencana yang bisa menimpa diri dan sekeliling kita, khususnya terhadap ancaman dan bencana yang bisa membahayakan diri dan lingkungan kita. Wallahu’alam bishawab. (*)




