OPINI  

Rindu Kiai Sahal, Rais Aam Penjaga Muru’ah Nahdlatul Ulama

Oleh Mohammad Alfuniam, Wakil Ketua PCNU Sleman

Avatar photo

Ada rasa yang tak mudah kuterjemahkan setiap kali memikirkan NU hari ini, semacam getir halus yang bercampur rindu, semacam kesedihan yang tidak mau benar-benar menjadi duka, karena ia membawa cahaya dari masa lalu yang terlalu berharga untuk dilupakan.

Rindu itu datang dari ingatan-ingatan tentang Kiai Sahal, yang bagiku bukan sekadar Rais Aam atau pengasuh pesantren tempatku mengabdi selama enam tahun, melainkan seorang penjaga adab organisasi, seorang penyaring kata, seorang pelindung NU dari kesembronoan, sekaligus seseorang yang mengajarkan dengan diam lebih banyak daripada orang lain mengajar dengan ceramah.

Ketika melihat dinamika NU hari ini, aku sering merasa seperti seseorang yang pernah berdiri dekat lentera yang terang, lalu tiba-tiba masuk ke lorong yang penuh suara, hiruk pikuk, dan saling dorong.

Dan aku bertanya, apakah kita sedang berjalan semakin jauh dari ketenangan yang dulu membuat NU begitu kuat?

Dalam ingatanku, Kiai Sahal adalah sosok yang selalu menyatukan dua hal yang jarang bertemu, ketegasan dan kelembutan hati. Beliau tegas untuk hal-hal prinsip, tetapi memilih diam untuk hal-hal yang hanya melahirkan kegaduhan.

Contoh paling sederhana namun membekas adalah ketika beliau dicegah masuk oleh seorang Banser yang tak mengenal beliau di sebuah acara besar NU di Krapyak.
Beliau tidak protes, tidak marah, tidak menyebut jabatannya. Beliau tunduk pada aturan, pada prosedur yang diberikan kepada anak muda itu.

Dan dalam kejadian kecil itulah aku justru belajar, bahwa yang besar tidak perlu tampil besar, bahwa wibawa pemimpin tidak lahir dari jabatan yang diumumkan, tetapi dari kerendahan hati yang tidak dipamerkan.

Melihat fenomena sekarang, aku diam-diam bertanya dalam hati, mengapa sikap sederhana itu justru yang paling sulit dijumpai?

Ada pula cerita yang dulu kudengar dari Kiai Muadz Thohir. Ketika paman Kiai Sahal, Kiai Abdullah Salam wafat, sebuah momen penuh duka sekaligus kehormatan, Kiai Muadz datang meminta Kiai Sahal untuk menjadi imam shalat jenazah, namun Kiai Sahal menolak, bukan karena enggan, tetapi karena yang lebih berhak memintanya adalah Kiai Nafi selaku putra almarhum, Kiai Sahal selalu menempatkan sesuatu pada maqomnya, dan tidak mau melakukan sesuatu yang bukan haknya.

Seorang ulama besar, seorang Rais Aam PBNU, menolak kehormatan menjadi imam jenazah pamannya sendiri hanya demi menjaga tertib adab dan hak keluarga.
Di titik itu aku merasakan satu pelajaran besar, bahwa integritas tidak selalu hadir dalam keputusan yang besar, kadang ia hadir dalam ketegasan menjaga aturan yang tampak kecil namun sangat menentukan.

Sikap-sikap semacam inilah yang membuatku merasa NU dulu dijaga oleh tangan-tangan yang tahu batas, yang mengerti mana otoritas yang boleh diambil dan mana yang harus dilepaskan.

Ada lagi satu momen yang hingga kini selalu membuatku merenung panjang. Pada suatu sore, Kiai Sahal sedang beristirahat siang, ada telepon dari Presiden Megawati yang ingin berbicara dengan beliau, namun karena beliau tidur, santri tidak berani membangunkan.

Setelah bangun, Kiai Sahal justru meminta maaf kepada Presiden, dan kemudian menegur santri, “Aku iki sopo? (aku ini siapa?) Presiden itu kalau menelepon pasti ada hal penting, seharusnya kalian bangunkan.”

Di situ aku melihat bagaimana beliau menempatkan diri dengan tepat. Seorang santri mungkin melihat beliau sebagai sosok besar, tetapi beliau sendiri selalu memposisikan diri sebagai bagian dari tata kehidupan yang harus tertib. Beliau tahu mana relasi yang perlu dihormati, mana struktur negara yang harus dijaga, mana adab publik yang tidak boleh dikesampingkan.

Kadang aku merasa, NU sekarang justru kehilangan cara pandang yang demikian jernih, orang sering mengedepankan posisi, tetapi lupa mengukur konteks dan lupa diri.

Aku juga saksi bagaimana Kiai Sahal menjaga disiplin bukan hanya untuk santri, tetapi untuk dirinya sendiri.

Ada satu istilah dalam pesantren Maslakul Huda, kecimpung, situasi ketika adzan telah selesai tetapi sebagian santri belum masuk masjid. Suatu subuh, ketika beliau hendak mengimami, masih ada beberapa santri yang berlari dari tempat wudhu. Beliau langsung putar balik dan tidak jadi mengimami pagi itu.

Dan suatu malam, beliau tidak jadi makan malam hanya karena makanan belum tersaji pada waktunya. Bukan karena marah pada anak ndalem, tetapi karena jadwal adalah amanah terhadap waktu, dan ketepatan adalah bagian dari adab kehidupan yang beliau pelihara.

Melihat kedisiplinan seperti itu, aku sering merasa bahwa organisasi sebenarnya bukan hanya soal konstitusi tertulis, melainkan juga soal konsistensi laku. Dan konsistensi itulah yang kini mulai terasa hilang.

Tetapi kisah paling menentukan dan paling mengajariku tentang arti menjaga organisasi adalah ketika aku mendampingi beliau dalam Muktamar Solo 2004 dan Muktamar Makassar 2010. Situasi saat itu cukup panas dan dinamis, penuh tekanan politik, penuh ketegangan antara tokoh-tokoh besar. Gus Dur menolak majunya Kiai Hasyim Muzadi kembali karena dianggap melanggar Khittah, banyak kiai mendesak Kiai Sahal untuk memecat atau melarang Kiai Hasyim.

Namun Kiai Sahal menolak mengambil langkah inkonstitusional tersebut, meski beliau sendiri tidak sepakat dengan tindakan Kiai Hasyim saat itu. Aku bersama Mas Imam Aziz almarhum, yang diutus menemui Gus Dur untuk menjelaskan bahwa Kiai Sahal tidak sedang melindungi siapa pun.

Beliau hanya ingin satu hal, jangan ada penyelesaian di luar jalur muktamar. Jangan ada preseden buruk yang bisa membuat NU kelak dipimpin bukan oleh musyawarah, tetapi oleh tekanan politik. Dan ketika itu Kiai Sahal membuat statemen di media, memberikan pesan kepada pihak luar jangan ada yang mengintervensi Muktamar NU.

Gus Dur mendengarkan dengan jernih, dan ketika itu beliau berkata, “Kalau man/paman Sahal sudah bilang begitu, muktamar saya anggap sudah selesai saya pulang besok, kalian lanjutkan dan temui Gus Mus, ” lalu kami bertemu Gus Mus bersama Mbak Yenny Wahid ketika itu, di situlah aku menyaksikan bagaimana NU bisa bertahan karena dua tokoh besarnya sama-sama menjunjung konstitusi.

Keduanya berbeda pilihan, tetapi sama-sama memuliakan organisasi.
Dan hari ini, ketika suara-suara keras bergema di mana-mana, ketika pernyataan mudah sekali dilontarkan, ketika lembaga sering menjadi ladang kontestasi narasi, aku makin sadar, cara-cara itulah yang justru sedang hilang dari NU.

Rinduku kepada Kiai Sahal bukanlah rindu kepada sosok semata. Ini rindu kepada cara memimpin NU dengan tidak terburu-buru. Rindu kepada laku organisatoris yang tidak mudah terseret provokasi. Rindu kepada kebijakan yang lahir dari ketenangan, bukan dari kegaduhan. Rindu kepada Rais Aam yang lebih memilih menjaga muruah daripada masuk ke keramaian mikrofon dan media massa.

Dan mungkin, rindu inilah yang membuatku merasa perlu menuliskan semua ini, bukan untuk menghakimi siapa pun, tetapi untuk mengingatkan bahwa NU pernah punya teladan yang sangat kuat dalam menjaga konstitusinya. Jika NU ingin tetap menjadi rumah besar, maka tiang-tiangnya harus dipelihara, adab, konstitusi, kehati-hatian, dan keheningan yang penuh makna.

Dari semua pelajaran yang kuterima dari beliau, satu hal yang paling ingin kusampaikan untuk NU hari ini adalah, kadang, yang menyelamatkan bukanlah keberanian bicara, tetapi kebijaksanaan untuk memilih kapan harus diam. Itulah yang dulu dijaga Kiai Sahal. Dan itulah yang hari ini terasa begitu paling kurindukan. (*)