Jakarta, jurnal9.tv -Demokrasi menjadi pilihan bangsa Indonesia pasca reformasi 1998. Sebuah sistem yang mendasarkan pada kedaulatan rakyat berlandaskan konstitusi dan kokohnya supremasi sipil. Penegakan hukum menjadi faktor penting untuk menjaga dua fundamen demokrasi tersebut.
Sebuah sistem hukum yang adil, transparan serta ditunjang oleh aparat penegak hukum yang humanis dan profesional.
Kepolisian Republik Indonesia memegang peran kunci dalam menjaga demokrasi. Dengan fungsi utama memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, Kepolisian harus mampu membangun peradaban hukum yang berorientasi pada penghormatan hak, keberpihakan kepada kepentingan rakyat serta kesejahteraan bersama.
Indonesia saat ini berada pada titik penegakan hukum yang kritis dan saling terkait dengan politik, sosial, ekonomi dan hak asasi manusia (HAM). Dinamika yang terjadi menunjukkan bahwa persoalan-persoalan mendasar penegakan hukum tidak lagi berdiri sendiri, melainkan membentuk ekosistem masalah yang berkelindan dan berpengaruh pada arah demokrasi serta keberlanjutan negara hukum di tanah air. Tekanan terhadap ruang sipil, politisasi hukum, dan peran polisi yang sudah melampaui fungsinya menimbulkan kegelisahan mendalam di berbagai lapisan masyarakat.
Kepercayaan publik terhadap kinerja kepolisian terus merosot. Pada Desember 2021, Survei Indikator Politik Indonesia mencatat tingkat kepercayaan publik terhadap POLRI mencapai 80,2%. Saat ini, berdasarkan survey pada Oktober 2025, Indikator Politik indonesia mencatat hanya 66% publik yang percaya dengan kinerja kepolisian.
Menurunnya kepercayaan publik tentu beralasan. Banyak penanganan kasus, baik internal kepolisian maupun kasus publik yang jauh dari rasa keadilan dan harapan masyarakat. Problem di internal kepolisian, sebagai contoh, kasus Ferdi Sambo, keterlibatan perwira tinggi kepolisian dalam kasus narkoba, maupun gaya hidup mewah yang sering diperlihatkan oleh anggota kepolisian Indonesia.
Demikian halnya dalam penanganan kasus-kasus publik dan kasus terkait penghormatan hak asasi manusia, kinerja kepolisian masih jauh dari semestinya. Contohnya, penanganan tragedi Kanjuruhan, pemerasan terhadap tersangka maupun korban, Kriminalisasi para pembela HAM yang memperjuangkan keadilan, lingkungan, reforma agraria, kebebasan pers maupun kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kasus lainnya adalah, aparat kepolisian menjadi pelindung tambang ilegal, menduduki jabatan di kementerian lembaga dan juga penyiksaan, kekerasan maupun penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) dalam berbagai demonstrasi, unjuk rasa termasuk yang terakhir, prahara Agustus 2025.
Tekanan terhadap lembaga-lembaga keagamaan, organisasi masyarakat sipil, serta ruang partisipasi kritis semakin nyata, termasuk di dunia pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi sumber kekuatan alternatif. Keterbatasan ruang politik di luar jalur formal, intervensi terhadap gerakan mahasiswa, dan intimidasi terhadap para aktivis menunjukkan adanya upaya sistemik untuk membungkam suara-suara kritis dan mengekang kapasitas warga dalam memperjuangkan perubahan.
Kasus-kasus tersebut mencerminkan peliknya persoalan di tubuh kepolisian. Persoalan yang sudah sistemik karena terus berulang dan tidak hanya terjadi di satu unit atau bagian kerja tetapi terjadi di berbagai struktur yang berbeda. Yang pertama, adalah Permasalahan etika dan integritas aparat kepolisian. Pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, impunitas kepada aparat kepolisian yang melakukan pelanggaran hukum, korupsi dan pungutan liar serta potensi penyalahgunaan wewenang dan jabatan merupakan bagian dari persoalan etika dan integritas di tubuh POLRI.
Kedua. Persoalan Struktural dan Tata Kelola Kelembagaan yang ditandai dengan kelemahan sistem akuntabilitas kinerja kepolisian, intervensi politik dalam tugas-tugas penegakan hukum dan lemahnya sistem pengawasan kepolisian, baik pengawasan internal kepolisian yang dilakukan oleh unit profesi dan pengamanan (Propam) dan Irwas (Inspektorat Pengawas) maupun juga pengawas eksternal seperti Komnas HAM, Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Ketiga, Persoalan Kultural terkait pelaksanaan tugas sehari-hari. Sebagai contoh, penanganan kasus berbasis berita viral (no viral no justice), kekerasan dan penyiksaan aparat kepolisian serta potensi penyalahgunaan wewenang kepolisian di level bawah masyarakat seperti pemerasan maupun pungutan liar.
Bercermin dari akutnya berbagai persoalan yang ada, Gerakan Nurani Bangsa sebagai gerakan etik moral merasa perlu mendorong perubahan mendasar di tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Perubahan strategi dan kebijakan disertai komitmen tinggi semua pihak yang mampu mengubah paradigma dan pola pikir institusi, memastikan terjaganya etika dan integritas, mengatasi persoalan struktural dan tata kelola kelembagaan serta menjamin kehadiran aparat kepolisian yang humanis dan profesional dalam tugas sehari-hari.
Secara garis besar terdapat tiga perubahan/reformasi yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja kepolisian Republik Indonesia. Pertama adalah Reformasi Struktural. Mengubah struktur organisasi yang lebih berorientasi pada pelayanan paripurna masyarakat di tingkat bawah. Menguatkan layanan di tingkat Polsek dan merampingkan struktur organisasi di level markas besar sesuai dengan blue print Kepolisian Republik Indonesia. Menghentikan praktik-praktik jabatan di luar struktur kepolisian yang berpotensi mengganggu berjalannya merit system.
Kedua, Reformasi Instrumental. Perubahan berbagai aturan, kebijakan dan sistem menuju perubahan paradigma menuju polisi sipil, kepolisian yang humanis, profesional dan menghormati hak asasi manusia sesuai dengan amanat kontitusi Pasal 30 ayat 4. Meliputi aturan dan kebijakan tentang rekrutmen, pendidikan kepolisian, merit system, pengawasan internal dan eksternal kepolisian serta aturan dan kebijakan transparansi dan akuntabilitas institusi yang memungkinkan publik melakukan kontrol dan partisipasi bermakna (meaningful participation)
Ketiga, Reformasi Kultural. Perubahan nilai, budaya kerja dan standar etika. Di mulai dari Menghilangkan praktik-praktik suap/gratifikasi pada proses rekrutmen dan pendidikan kepolisian di semua tingkatan serta penempatan/penuugasan di wilayah atau unit kerja, praktik-praktik impunitas dan semangat korps serta memperbanyak praktik-praktik baik community policing yang menumbuhkan kembali kepercayaan publik kepada Institusi Kepolisian Republik Indonesia.
Sebagai tahap awal reformasi kepolisian, diperlukan “Quick Win” untuk menumbuhkan
kembali kepercayaan masyarakat sekaligus menjadi modal awal untuk meningkatkan kinerja kepolisian. Quick Win tersebut antara lain terkait dengan penghilangan abuse of power (penyalahgunaan wewenang), menghilangkan praktik-praktik korupsi, impunitas, kekerasan, pendukung kegiatan ilegal serta menghilangkan keterlibatan aparat kepolisian dalam aktivitas politik praktis.
Selain “Quick Win”, POLRI juga perlu memperbesar ruang dan melembagakan praktik-praktik baik yang sudah dilakukan oleh aparat kepolisian seperti Bhabinkamtibmas di daerah tertinggal dan perbatasan yang sepenuh hati melayani rakyat, Binmas Noken Papua untuk mengurangi angka kekerasan di Papua maupun aparat kepolisian yang memperoleh apresiasi dalam Hoegeng Awards dan penghargaan dalam bentuk lain.
Reformasi Kepolisian menuju POLRI yang berintegritas, profesional dan melayani adalah agenda peradaban hukum nasional dan demokrasi. Diperlukan keteladanan, arahan moral pimpinan yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan agar terbangun ketangguhan moral (Moral Resilience).
Gerakan Nurani Bangsa berharap Komite Percepatan Reformasi Polisi (KPRP) membuat peta jalan reformasi Kepolisian yang komprehensif. Sebuah peta jalan yang berisikan arahan moral, komitmen institusi, strategi dan arahkebijakan, langkah-langkah serta tahapan perbaikan kelembagaan kepolisian dengan lini masa dan target sasaran yang jelas.
Jakarta, 13 November 2025
Gerakan Nurani Bangsa: Ibu Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, KH. Ahmad Mustofa Bisri, Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, Omi Komariah Nurcholish Madjid, Romo Frans Magniz Suseno SJ, Prof. Dr. Amin Abdullah, Bhikkhu Pannyavaro Mahathera, Alissa Q Wahid, Lukman Hakim Saifuddin, Karlina Rohima Supelli, Pendeta Jacky Manuputty, Pendeta Gomar Gultom, Romo A Setyo Wibowo SJ, Erry Riyana Hardjapamekas, Eri Seda, Laode Moh Syarif, Makarim Wibisono, Komaruddin Hidayat dan Slamet Rahardjo




