Perubahan sosial di sini tidak berangkat dari definisi akademik yang ketat dan banyak ragam mengenainya. Paling tidak istilah perubahan sosial dalam tulisan ini berangkat dari dua sudut pandang, baik itu yang terjadi secara horisontal dan vertikal.
Perubahan sosial secara horisontal adalah berlangsung suatu proses pergerakan individu atau kelompok dari satu posisi sosial ke posisi sosial lain yang setara atau sejajar tanpa ada perubahan status sosial, baik naik maupun turun. Pergerakan sosial ini bisa juga berwujud adanya proses pemekaran aktifitas sosial di masyarakat akibat profesi yang sebelumnya tidak atau belum ada. Profesi baru tersebut dewasa ini semakin beragam, sehingga dampak dan konsekuensi sosialnya, semakin beragam dan kompleks pula.
Sementara itu perubahan sosial secara vertikal adalah suatu pergerakan yang berlangsung dari kedudukan atau status sosial seseorang individu atau kelompok ke lapisan yang tidak sederajat, dari struktur rendah ke struktur lebih tinggi atau pun bisa sebaliknya. Memang dalam kehidupan kemasyarakatan telah berlangsung strafikasi sosial, dimana didalamnya terdapat pelapisan-pelapisan sosial. Bisa dilihat secara nyata ada lapisan elit, menengah dan yang paling bawah masyarakat awam, sungguhpun begitu ada lapisan yang di/termarginalkan oleh sistem sosial sendiri. Adapun bentuknya dari perubahan ini dibagi menjadi mobilitas vertikal naik (social climbing), dan mobilitas vertikal turun (social sinking).
Kedua sudut pandang perubahan sosial tersebut harus diletakkan dalam konteks sosial yang berlangsung secara dinamis. Karena ia tidak berada pada ruang kosong dan tidak bebas nilai. Jadi tidak bisa diletakkan an-sich perubahan sosial dan berdiri sendiri. Dalam konteks dewasa ini, perubahan sosial itu lebih banyak digerakkan oleh dialektika dengan faktor eksternal. Adapun faktornya seperti penggunaan teknologi dengan derasnya arus informasi, yang kemudian mempengaruhi pola komunikasi, selain itu juga akibat adanya perubahan sistem politik, perubahan sistem ekonomi dan tata niaganya. Kesemua faktor tersebut sangat berpengaruh secara signifikan pada kedua sudut pandang perubahan sosial yang telah diurai secara sederhana di atas.
Selain perubahan sosial dari dua sudut pandang tersebut, tidak kalah pentingnya bagi kita untuk meninjau dari sudut perspektif historis. Perubahan dalam ditinjau dari setiap pembabakan waktu. Bahkan kalau ditelisik lebih jauh dari perspektif historis, proses dan praktek perubahan sosial dulu sudah pernah sudah berlangsung. Bisa jadi dalam proses kejadiaannya tentu berbeda sama sekali, bentuk perubahannya pun tidak sama, termasuk corak serta motif perubahannya lain-lain, akan tetapi substansinya bisa sama. Adapun contohnya, kita bisa saksikan secara nyata berlakunya pelapisan sosial, antara posisi elit, middle dan rakyat jelata. Hanya saja, dulu kalangan elit berada pada istana sentris, yakni raja dan para punggawanya (penguasa pasukan kerajaan) kemudian disusul para pangreh praja (birokrasi kerajaan seperti bupati dan para aparatnya penguasa cacah dan tanah) sebagai kekuatan tengahnya, dan akhirnya rakyat jelata. Struktur sosial telah berubah, sekarang bisa bernama Presiden, menteri dan perwira militer serta birokrasi sipil, dan seterusnya. Artinya telah berlangsung perubahan struktur sosial, dan dari perspektif historis ini kita bisa belajar, bahwa sejarah tidak melulu membicarakan nama tokoh dan angka tahun, tapi bagaimana masyarakat nantinya bisa menjadi aktor utama perubahan sosial dan melakukan pergerakan mobilitas sosial, baik horisontal maupun vertikal.
Dalam konteks sosial hari ini, proses perubahan sosial yang terjadi sangat dipengaruhi oleh arus modernisasi. Pada sistem sosial modern seperti sekarang ini, berlangsung perubahan pola hubungan kemanusiaan yang drastis dan sangat signifikan, dan bisa jadi sama sekali baru dari sebelumnya. Pada akhirnya perubahan sosial akibat arus modernisasi tersebut memiliki dampak yang sangat berarti bagi semua peran-peran sosial yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Termasuk keberadaan pesantren, sebagai entitas sosial pendidikan keagamaan tidak terkecuali juga harus menghadapi perubahan sosial ini.
Dalam masyarakat tradisional dulu, pola hubungan kelembagaannya bersifat paguyuban, akibat perubahan sosial dalam masyarakat modern berubah menjadi organisasi dengan struktur dan manajemen yang ketat untuk pengaturan anggotanya. Dalam kelembagaan yang bersifat paguyuban, keberadaan pesantren dengan pengasuhnya yang memiliki kharisma dalam kepemimpinannya, meminjam isilah Max Weber, sudah sangat berfungsi dalam menjalankan kelembagaannya. Akan tetapi kali ini dalam masyarakat yang sudah mengutamakan struktur organisasi dan manajemen modern yang ketat dibutuhkan suatu mekanisme dalam pelaksanaannya. Kendati masih bertahan kepemimpinan dalam model kharismatis, namun di era kini pesantren sudah ditopang dengan kelembagaan modern dan manajemen yang ketat. Artinya telah berlangsung perubahan sosial di pesantren tersebut.
Kondisi masyarakat secara umum memang mengalami perubahan secara drastis. Model kelembagaan paguyuban sudah mulai bertransformasi menjadi organisasi yang memiliki struktur dengan kepengurusan yang lebih kompleks. Artinya tengah berlangsung pergerakan yang statis ke arah yang dinamis yang cenderung kompleks dalam pengelolaannya. Dalam masyarakat kelembagaan paguyuban, cenderung statis prosesnya, karenanya ketokohan individu yang kuat selalu menjadi tumpuhannya. Sementara itu, dalam masyarakat yang memiliki kelembagaan organisasi modern yang dinamis, ketokohan individu benar-benar mendapatkan tantangan untuk selalu memperhatikan gerak sejarah perubahan sosial. Pada titik ini unsur administratif dalam pengelolaan organisasi adalah keniscayaan, setidaknya semuanya gerak organisasi dilakukan pencatatan.
Mau tidak mau, pesantren kali ini tertantang untuk terus menerus mengamati secara kritis gerak perubahan sosial tersebut. Karena inti dari perubahan sosial adalah suatu tindakan untuk hadirnya nilai-nilai baru, dari yang sifatnya kaku, tegang dan keras menjadi lentur (eklektis), dan itu dijalankan dengan mekanisme organisasi. Perubahan sosial yang berjalan rasa-rasanya menuntut pesantren tidak lagi hanya menjawab problem-problem fiqh keseharian, tapi juga mampu mengurai kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat sehari-hari.
Pada dasarnya bagi pesantren perubahan sosial adalah keniscayaan dan bukan barang asing. Pesantren sejak awal sudah terlibat aktif dalam dialektika perubahan sosial. Bahkan sebelum entitas lainnya turut dalam arus perubahan pesantren sudah berdialektika dengan perubahan sosial yang terjadi. Ada satu kaidah yang menjadi landasan bagi proses perubahan sosial di pesantren “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” (memelihara nilai yang lama yang masih baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik“. Prinsip ini menekankan pentingnya menjaga warisan nilai-nilai luhur dan tradisi baik sambil terus beradaptasi dengan inovasi dan kemajuan modern yang lebih baik, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dulu akses terhadap pendidikan khususnya bagi perempuan pesantren nyaris tertutup. Akan tetapi sejak muktamar NU tahun 1938 di Menes, Banten, tampil pidato Nyai Siti Sarah dan Nyai Juaesih menuntut hak setara dalam pendidikan untuk kaum perempuan. Dan sejak itu pula pesantren ikut arus perubahan tersebut. Begitu juga dengan keterlibatan pesantren menghadirkan negara bangsa yang bernama Indonesia tidak terbantahkan dalam arus sejarah.
Era modern sekarang dari sudut pandang perubahan sosial secara horisontal dunia pesantren telah mengalami pergeseran orientasi pendidikan dari semata-mata keagamaan ke arah pendidikan non keagamaan. Bahkan banyak putra-putri ulama yang menempuh jalur pendidikan seperti teknik dan kedokteran. Begitu di dunia kerja, orientasinya tidak lagi pertanian tapi juga perdagangan dan teknologi, termasuk penguasaan media seperti TV9. Sementara secara vertikal, mobilitas santri juga mengarah pada struktur sosial maupun politik yang lebih tinggi. Banyak kalangan santri yang sudah memasuki struktur elit kekuasaan negara dan menjadi pengambil kebijakan.
Demikianlah, kita tidak perlu gusar terhadap arus perubahan sosial yang dituntutkan oleh kalangan luar pesantren. Kelembagaan pesantren adalah hasil dari dialektika budaya dan arus perubahan itu sendiri. Sementara kalangan yang mendesak terjadi perubahan di kalangan pesantren adalah kelompok yang tidak siap menerima perubahan sosial dari pesantren untuk kehidupan sosial yang lebih luas.




