Ada sesuatu yang menenangkan dari suara gemericik air yang beriak pelan. Seseorang tampak berusaha mempersiapkan sejak dari tepian sungai. Dari menyetel joran, memasang kail, hingga mempersiapkan umpan. Ujung kail pancing nan runcing siap dilemparkan serta menunggu sabar di atas permukaan. Waktu terasa berjalan pelan lalu berhenti. Bukan untuk diam, tapi untuk merenungi tentang arti menanti dengan hati yang lapang.
Bagi sebagian orang, memancing merupakan hobi atau aktivitas pengisi waktu luang; cara melepaskan penat dan letih baik badan maupun pikiran. Setelah sekian hari yang panjang berlalu digunakan bekerja, memancing menjadi salah satu alternatif hiburan yang murah dan menyenangkan. Mencari tempat teduh bernuansa alam agar mata tak letih dengan hanya memandang layar yang menyala atau tugas lembur lainnya.
Sebagian lain menganggap bahwa memancing adalah salah satu bentuk tafakur. Bagi mereka yang mampu berfikir setiap tarikan dan umpan yang disebarkan, terdapat percakapan sunyi antara seorang hamba dengan Tuhan. Ketika seseorang mengikat umpan pada mata kail, hakikatnya ia sedang mengikat harapan. Lalu ia mengayunkan joran sembari melemparkan umpan ke dalam air, seakan ia berpasrah pada ketetapan takdir yang sedang dinanti. Ia tidak tau ikan apa yang akan menyambar umpannya, atau apakah hari itu ia pulang membawa hasil. Akan tetapi, ia tetap menunggu seolah berpasrah pada usaha yang telah ia kerahkan dan menunggu permainan takdir Tuhan yang sedang bekerja. Dan sadar ataupun tak sadar, barangkali disitulah letak nilai Tawakal yang sesungguhnya.
Tawakal bukan berarti diam, Tapi bergerak
Allah Swt. telah berfirman dalam Q.S. Ali Imran ayat 159 :
… فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ …
… Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah …
Ayat ini turun setelah peristiwa Perang Uhud, ketika umat Islam mengalami kekalahan, Rasulullah Saw. diperintahkan untuk memaafkan para sahabatnya lalu bermusyawarah dan melanjutkan perjuangan tanpa ada keraguan. Jika dilihat dari konteks ayat, maka ayat ini menjelaskan tentang sikap kepemimpinan dan pengambilan keputusan di tengah ujian yang menerjang. Namun, para Mufassir seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi menjelaskan bahwa pesan ayat ini meluas bagi siapapun yang berikhtiar lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah. Oleh karena itu, ayat ini mengandung pesan terkait adab spiritual bahwa :
Tawakkal bukan berarti berhenti berbuat, tetapi menyandarkan hasil setelah menempuh sebab.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. pernah menasehati seorang sahabat tentang sikap tawakal. hadis tersebut berbunyi :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ؟ قَالَ: اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ.
Dari Anas bin Malik r.a., ia berkata: Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah ﷺ,
“Ya Rasulullah, apakah aku harus mengikat untaku lalu bertawakal,
atau aku lepaskan saja lalu bertawakal?” Rasulullah ﷺ menjawab:
“Ikatlah, dan bertawakallah.” (HR. al-Tirmidzi)
Begitu pula dalam hidup, Kita tidak bisa berharap pada hasil tanpa mengikat “unta” kita tanpa berusaha. Begitupula dalam memancing, tanpa kita berusaha, tanpa kita melempar kail, dan kita juga tidak hanya menunggu ikan menyambar apa yang telah kita lempar, tapi juga menyiapkan umpan terbaik, memilih tempat, dan duduk dengan hati yang tenang sembari menanti kehendak Tuhan bekerja.
Kail dan Hikmah Rezeki
Dalam dunia yang serba cepat ini, banyak orang kehilangan kesabaran untuk menunggu. Kita hidup di zaman yang menagih hasil sebelum usaha matang, ingin panen tanpa menanam, ingin makan tanpa memasak, dan keinginan keinginan yang disebabkan oleh lajunya perkembangan zaman.
Padahal, memancing mengajarkan sesuatu yang sederhana tapi dalam:
rezeki selalu datang di waktu yang telah ditetapkan, tidak lebih cepat, tidak lebih lambat. Rezeki bukan hanya tentang ikan yang tersangkut di ujung kail, tapi tentang ketenangan hati yang tumbuh selama menunggu.
Kadang Tuhan tidak memberimu hasil karena Ia sedang memberimu proses. Ia tidak menolak, Ia sedang mendidik.
Kita hidup di masa di mana banyak orang merasa haus; haus akan kepastian, akan pengakuan, akan hasil yang cepat. Namun hidup, seperti memancing, tak selalu tentang mendapatkan. memancing kadang tentang bertahan dalam sabar, dan mempercayai bahwa air yang diam pun menyimpan janji Tuhan yang belum terbuka.
Mungkin rezekimu belum datang bukan karena Engkau ditinggalkan,
tapi karena Allah sedang mengajarkan bagaimana rasanya menunggu dengan tenang. Sebab tawakal sejati bukan hanya tentang mempercayai hasil, tapi juga mempercayai waktu.
Pada akhirnya, mari kita merenungi dan bertfakur sejenak pada Firman Allah pada Q.S. At-Thalaq ayat 3 :
… وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“… Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sungguh, Allah telah menjadikan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (*)