Gus Yahya: Marah ke Trans7 Bukan Karena Pesantren/NU, tapi Serangan ke Kelompok Identitas

Surabaya, jurnal9.tv -Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan bahwa kemarahan santri kepada tayangan Trans7 bukan karena pesantren atau NU, tapi karena Trans7 melakukan serangan kepada kelompok identitas, sehingga bisa memicu perpecahan bangsa.

“Hari Santri ke-10 tahun 2025 mendapat kado pahit dari tayangan sebuah stasiun televisi nasional, tapi ada hikmah tentang pentingnya semangat persatuan dan mengawal kemerdekaan,” katanya dalam ‘Kick Off’ Hari Santri Nasional 2025 di Universitas NU Surabaya (Unusa), Minggu.

Acara “kick off” HSN 2025 oleh PWNU bersama PBNU dan Pemprov Jatim itu dihadiri Katib Aam PBNU KH Said Asrori, Rais Syuriah PBNU Prof DR Mohammad Nuh, Rektor Unusa Prof DR Achmad Jazidie, Wakil Ketua Umum PBNU DR KH Amin Said Husni, Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim KH Abdul Matin Djawahir, dan Ketua PWNU KH Abdul Hakim Mahfudz.

Dalam acara yang dihadiri pimpinan badan otonom (banom) dan lembaga PWNU Jatim, PCNU se-Jatim dan PTNU se-Jatim itu, Gus Yahya menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara majemuk itu memiliki banyak kelompok identitas dari suku, agama, ras/etnis, hingga golongan.

“Karena itu, serangan kepada kelompok identitas itu tidak boleh terjadi di Indonesia, termasuk ke NU yang juga merupakan kelompok indentitas, pesantren pun kelompok identitas. Semuanya harus dijaga dari serangan siapapun, karena dampaknya bisa terjadi perpecahan,” katanya.

Gus Yahya mencontohkan pernikahan. “Pasangan yang menikah itu pasti tujuannya bersatu, tapi yang namanya bersatu bukan berarti tidak ada perbedaan, juga bukan berarti tidak ada masalah, soal sayur kurang asin/pedas saja bisa jadi masalah, tapi jangan jadikan perbedaan sebagai alasan berpisah,” ujarnya.

Dalam acara yang juga ditandai dengan peluncuran buku “Resolusi Jihad NU (Perang Sabil di Surabaya 1945)” karya Riadi Ngasiran (Ketua Lesbumi PWNU Jatim) itu, Gus Yahya berharap NU juga harus tetap bersatu sebelum menyerukan persatuan bangsa, bahkan NU harus berada di garda terdepan sampai cita-cita kemerdekaan tercapai (peradaban mulia).

Sementara itu, Ketua PWNU KH Abdul Hakim Mahfudz (Kiai Kikin) mengapresiasi prestasi Unusa yang melebihi usianya, namun pendidikan umum maupun pesantren di lingkungan NU harus tetap mementingkan adab, meski saat ini menghadapi ujian di era digital.

“Adab yang selama ini diajarkan pesantren itu tetap lebih penting. Sikap tunduk santri dengan mencium tangan dan menunduk di hadapan kiai atau gurunya itu tradisi keilmuan yang penting, karena itulah jalan menekan ego, sehingga ilmu akan mudah masuk. Bisa saja dianggap tradisi lama, tapi adab itu ajaran Nabi,” kata Kiai Kikin yang langsung berkunjung ke Pesantren Al-Khoziny setelah acara di Unusa.

Dalam “kick off” HSN 2025 itu, Rais Syuriah PBNU yang juga Ketua Yarsis yang membawahi Unusa dan RSI Surabaya, Prof Mohammad Nuh, menambahkan human capital atau sumber daya manusia itu merupakan kunci peradaban, terutama menuju kesiapan bangsa Indonesia menjadi bangsa besar pada 2045.

“Kunci peradaban itu human capital atau orang, lalu pabrik dari human capital adalah pesantren (pendidikan agama), pendidikan (umum), kesehatan, dan ekonomi. Kita perkuat NU dengan human capital yang berkualitas, karena itu NU sudah merintis 22-23 UNU (universitas NU), termasuk Unusa yang prestasinya melebihi usianya,” kata Nuh. (*/pwnu)