OPINI  

Duka Pesantren dalam Framing Kelompok Islam Intoleran

Oleh Mabroer MS, Jurnalis Senior, Ketua LTN JATMAN & Ketua Komisi Infokom MUI

Musibah runtuhnya Musholla Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo pada 29 September 2025 benar-benar telah membetot perhatian publik. Selain menuai kisah yang mengharu biru tentang keteguhan santri dalam mempertahankan kultur Pesantren seperti mengaji dan salat dibalik puing reruntuhan, juga kepedihan yang mendalam karena meninggalnya 67 santri. Diantara musabab musibah, ditengarai karena faktor teknis yakni tidak terpenuhinya persyaratan dasar dalam membangun gedung bertingkat. Faktor teknis ini bisa terjadi antara lain kelalaian, atau mungkin malah ketidak fahaman tim pelaksana proyek pembangunan terhadap hal ihwal konstruksi bangunan. Dari sisi inilah, kemudian ada orang atau kelompok yang melakukan stigmatisasi kehidupan Pesantren melalui beragam platform Medsos dengan konten-konten yang acapkali tidak faktual dan cenderung ilutif dan fitnah yang keji.

Terlepas dari semua itu, setiap ‘Musibah Selalu Ada Hikmah’ dan salah satunya adalah terciumnya gelagat framing negatif dan stigmatif dari kaum intoleran untuk menyerang jantung pertahanan Islam Rahmatan Lil Alamin yakni Pondok Pesantren yang sekaligus ruh spiritual Nahdlatul Ulama. Kaum intoleran ini menaruh dendam kusumat yang sangat besar karena Pesantren dianggap sebagai penghalang utama untuk mewujudkan cita-cita Negara Islam yang sangat tektualistik. Asumsinya, jika kekuatan pesantren plus NU maupun Ormas Islam lain bisa diruntuhkan, maka akan memuluskan agenda mereka dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Apalagi tidak sedikit (4%, SETARA 2019) oknum-oknum di TNI-POLRI dan oknum ASN yang sudah terpapar faham tersebut.

Dalam riset BNPT dijelaskan bahwa kelompok yang paling mudah terpapar itu adalah kaum wanita, remaja dan anak-anak karena entitas inilah yang paling banyak menghabiskan waktu di depan gadget. Apalagi konten-konten yang bernuansa intoleran seperti radikalisme & terorisme itu mencapai 2.670 (2023) dan angka tersebut mengalami lonjakan cukup signifikan pada 2025 yang mencapai 6.402 konten. Konten tersebut menyebar di TikTok sebanyak 23 akun, WhatsApp 394 akun/grup, Telegram 93 akun/grup, Instagram 222 akun, media daring 433 link, Twitter (X) 159 akun, YouTube empat akun, serta Facebook 5.074 akun.

Oleh karena itu sangat wajar jika ruang digital, khususnya Media Sosial menjadi media paling strategis untuk melakukan brainwashing terhadap kesadaran intelektual para nitizen agar antipati terhadap Pesantren. Data terakhir menunjukkan bahwa 89% umat digital (nitizen) menjadikan Medsos sebagai sumber beragam informasi, termasuk penistaan terhadap nilai-nilai Islam moderat serta tradisi pesantren. Pada titik inilah, terasa sekali pola gerakan itu melalui beragam platform Medsos pasca runtuhnya musholla Al Khoziny dengan berbagai komentar negatif tentang kehidupan Pesantren mulai dari tradisi roan, sungkeman, cium tangan, dan soal amplop seperti tergambar dalam siaran program di lembaga penyiaran (TV) nasional yang juga mempunyai akun di berbagai platform Media Sosial.

Dendam kusumat mereka kepada kaum sarungan, khususnya Pesantren, NU maupun Ormas lain yang moderat tak bakal surut karena selama ini dianggap menjadi batu sandungan sekaligus kelompok pendukung pembubaran beragam Ormas Islam yang disinyalir bercorak intoleran seperti HTI. Apalagi dengan ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional., maka dendam itu juga makin membara. Dengan kata lain, sebetulnya musuh utama Islam moderat itu bukan dari kelompok non muslim namun justru berasal dari komunitas muslim itu sendiri. Oleh karena itu kaum sarungan (Pesantren, Nahdlatul Ulama, dan muslim moderat non Pesantren) seyogjanya tidak kehilangan kewaspadaan terhadap pergerakan kelompok tersebut karena saat ini mereka masih cukup aktif membangun kekuatan dan konsolidasi melalui perangkat digital (Medsos) dengan identitas yang banyak disamarkan. Salah caranya dengan memproduksi sebanyak mungkin konten-konten hoaks, fitnah yang keji serta stigmatisasi terhadap komunitas muslim moderat, termasuk Pondok Pesantren.

Selain membangun kekuatan di ranah digital, mereka masih cukup aktif melakukan berbagai kegiatan konsolidasi dengan berbagai kemasan, bahkan juga mendirikan lembaga kaderisasi militan melalui sistem pendidikan formal dengan nama Pondok Pesantren. Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan dalam meraih kepercayaan umat awam yang tidak memahami seluk beluk dunia Pesantren. Data BNPT 2022 menyebutkan ada 198 Pesantren yang terindikasi berafiliasi dengan jaringan intoleran bahkan jaringan teroris. Oleh karena itu kita sangat berharap agar negara benar-benar hadir untuk mengambil tindakan tegas terhadap Pesantren tersebut, termasuk penguatan otoritas yuridis BNPT agar makna & tujuan Pesantren tidak dibelokkan menjadi pusat kaderisasi generasi anti NKRI. Semestinya persoalan seperti ini justru menjadi atensi serius dari DPR RI, bukan malah sebaliknya.

Kasus penistaan terhadap Pesantren Lirboyo tampaknya bukan klimaks dari pergerakan mereka karena ruang digital masih banyak memberikan kesempatan untuk bergerak meruntuhkan harkat dan martabat kelompok moderat seperti NU & Muhammadiyah. Oleh karena itu diperlukan kesadaran bersama dari Ormas-Ormas Islam agar segera merapatkan barisan guna menangkal sekaligus memperkecil ruang gerak mereka dengan cara memperbanyak konten kreator muda yang melek Islam moderat dan kebhinekaan NKRI. Hal itu dimaksudkan agar kelompok moderat dapat memenangkan pertarungan ideologi dan faham keagamaan yang moderat dan toleran di ruang digital. Sekedar pengingat, platform seperti YouTube menempati rangking pertama dengan 122 juta pengguna, Tik Tok 108 juta, Instagram 103 pengguna, Linkedin 33 juta pengguna, Messenger 25,6 juta, X (Twitter) 25,2 juta pengguna dan Snapchat 1,69 pengguna. Jika akumulasi pengguna Medsos ini didominasi oleh kelompok moderat, tentu akan berbeda suasana dan nuansa di dunia digital.

Dari perspektif inilah, saat ini ada kebutuhan mendesak dan harus dilakukan secara kolaboratif dari berbagai elemen umat Islam untuk meningkatkan literasi digital dengan konten-konten keislaman moderat dan nilai-nilai luhur dari kehidupan Pesantren. Kenapa? Untuk mengimbangi kekuatan konten-konten intoleran itu tak ada cara lain yang paling strategis kecuali melakukan hal yang sama yakni membanjiri akun-akun Media Sosial dengan konten positif dan edukatif baik tentang nilai-nilai Islam yang moderat dan toleran maupun nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa & bernegara yang menjunjung tinggi kebhinekaan. Bahkan dengan bermunculannya kiai-kiai muda dari Pesantren seperti Gus & Ning merupakan momentum yang tepat untuk menjadi duta dan agency kebaikan di dunia digital, bukan malah tergoda untuk membuat konten yang bernuansa hedonistik dan flixing. Apalagi mayoritas para Gus & Ning juga mempunyai bekal keilmuan yang cukup dan memadai untuk ikut menjadi ‘kiai digital’.

*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili lembaga.