Kebijakan baru dari Menteri keuangan membuat publik bertanya-tanya, apakah ini langkah yang baik atau hanya akan menambah masalah baru. Pasalnya setelah Purbaya dilantik pada Senin (8/9) kemudian memberikan langkah yang akan diambil oleh dirinya pada saat rapat bersama DPR pada Rabu (10-11/9) di lobi Gedung Nusantara 1.
Purbaya bersama komisi XI DPR RI membahas ide yang diusulkan oleh menteri baru tersebut. Gagasan yang diambil oleh Purbaya adalah menggelontorkan dana sebesar Rp 200 triliun dari reserve Bank Indonesia. Perlu dipahami dulu, sumber dari dana ini adalah Silpa dan Sal yang pada intinya kedua hal ini adalah sisa saldo anggaran atau kelebihan anggaran atas program yang ada pada satu tahun anggaran. Tujuan dari kebijakan ini adalah likuiditas keuangan dan menggerakkan sektor riil dengan harapan akan pertumbuhan ekonomi meningkat.
Mengutip dari laman berita ugm.ac.id, salah satu ekonom UGM, Denni Puspa Purbasari, Ph.D., memberikan pendapat bahwa kebijakan dari menteri baru lebih ke arah ekspansif dimana sektor riil didorong untuk membuka lapangan kerja baru sehingga target pertumbuhan ekonomi 8% dapat tercapai. Tetapi beliau juga memberi peringatan akan potensi kaburnya investor, hal ini dapat terjadi karena jika uang beredar lebih banyak maka suku bunga turun dan pada akhirnya investor akan berpikir dua kali untuk tetap berinvestasi atau melepas investasi.
Terlepas dari teori ekonomi yang ada, terdapat sudut lain yang perlu dipertanyakan. Apakah
kebijakan ini akan mencapai masyarakat kecil atau hanya berputar pada masyarakat tertentu Pertanyaan ini menjadi penting karena rawan terjadi kasus sebagai contoh jika bank Himbara punya uang lebih, maka bank akan mengalirkan dana tersebut melalui kredit ke masyarakat atau investasi ke perusahaan besar yang diharapkan memberikan return yang tinggi kepada pihak bank.
Mengutip dari CNBC indonesia.com, OJK menyatakan bahwa Pertumbuhan kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat masing-masing sebesar 7,56% dan 8,51% pada bulan Agustus 2025, sementara LDR tercatat menjadi 86,3%. Kredit UMKM tumbuh sebesar 81,82% year-on-year, serta porsi kredit UMKM dibandingkan total kredit masih di bawah sekitar 20% sejak awal 2025, dengan tren menurun sebesar 18,61%. Dari data ini dapat dilihat kredit tumbuh, tetapi untuk menjangkau UMKM masih kesulitan karena perihal kepercayaan dan resiko gagal bayar oleh UMKM terkait sehingga kredit lebih banyak mengalir Hal ini sesuai dengan teori dalam sosiologi ekonomi oleh Granovetter (1985) dalam teori titik balik menyatakan bahwa tindakan ekonomi dipengaruhi oleh jaringan hubungan sosial. Sebagai contoh kecil misal kita mau bertransaksi, seseorang akan cenderung memilih toko yang memiliki hubungan sebelumnya, baik saudara, rekan kerja, maupun teman yang sering berinteraksi.
Begitupun jika diterapkan dengan bank, bank akan memberikan kredit kepada pihak yang sudah dipercaya yang dimana biasanya itu adalah pihak yang resiko gagal bayarnya kecil. Dengan kata lain pihak yang mendapat suntikan dana kredit rata-rata adalah usaha besar. Langkah apa yang harus diambil oleh pemerintah untuk meratakan kredit kepada UMKM atau masyarakat secara langsung?
Yang pertama tentunya adalah membentuk tim percepatan guna meningkatkan literasi keuangan kepada masyarakat karena masyarakat terkadang masih skeptis terhadap instrumen kredit. Dan pada akhirnya melakukan pinjaman kepada pinjol atau rentenir karena terkadang lebih mudah proses peminjamannya. Kemudian, perlu ditanamkan kepada masyarakat mengenai tanggung jawab untuk membayar kredit serta resiko yang akan diterima jika gagal bayar pada jatuh tempo, dan yang menjadi poin kunci adalah menentukan regulasi kredit lebih sederhana, tetapi tidak mengabaikan nilai potensi gagal bayar agar inklusivitas tetap berjalan dengan baik.
Prosedur yang sudah ditetapkan memang sesuai jika tujuannya adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, perlu diingat salah satu poin utama untuk lepas dari label negara berkembang menuju negara maju adalah kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan perkapita. Buat apa negara kaya, tetapi hanya segelintir orang saja yang merasakan apa bedanya dengan perbudakan modern dengan dalih ekonomi. Perlu diingat pula mengabaikan nilai sosial bukanlah hal yang baik, karena jika ekonomi terus menggerus nilai sosial.
Nilai sosial pun bisa melakukan tindakan yang sama untuk merusak stabilitas ekonomi. Untuk masa depan yang lebih baik, mari menyeimbangkan nilai ekonomi dengan nilai sosial agar selain tumbuh negara ini juga berkembang menuju masa keemasan. (*)