OPINI  

Musibah, Takdir, dan Tanggung Jawab

Oleh: KH. Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik & Penasehat LBM PCNU Gresik

Tidak ada musibah yang datang tanpa meninggalkan luka. Ia menimpa hati sekaligus menguji akal sehat kita. Ketika sebuah bangunan ambruk, jalan longsor, atau tubuh jatuh sakit, kita dihadapkan pada dua bahasa: bahasa iman yang berkata, “ini adalah takdir Allah SWT ”, dan bahasa tanggung jawab yang bertanya, “apa yang harus kita benahi agar tak terulang lagi?”.

Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan dalam menyikapi peristiwa seperti ini. Allah SWT berfirman:

> مَا أَصَابَ مِنْ مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَٰبٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
(الحديد: 22)

Artinya : “Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid : 22)

Ayat ini menegaskan bahwa setiap musibah, baik di bumi maupun yang menimpa diri kita, sudah tertulis dalam kitab ketetapan Allah SWT sebelum diciptakan. Tidak ada yang luput dari ilmu-Nya.

Inilah lapisan pertama yang perlu kita imani: musibah adalah takdir, dan sikap yang benar adalah sabar serta ridha. Tidak ada gunanya melawan ketentuan Ilahi.

Namun berhenti di sini saja akan berbahaya. Seolah-olah musibah tidak ada kaitannya dengan amanah manusia. Padahal Islam mengajarkan bahwa takdir tidak meniadakan kewajiban ikhtiar.

Bangunan yang roboh, misalnya, bisa jadi bagian dari takdir. Tetapi jika penyebabnya adalah kecerobohan teknis, minimnya standar keamanan, atau lemahnya pengawasan, maka itu adalah pelajaran bagi kita semua. Pengelola lembaga, para teknisi, bahkan pemerintah daerah, semuanya punya bagian untuk memastikan keselamatan umat.

Di sinilah lapisan kedua: tanggung jawab. Kita harus berani belajar dari musibah, bukan sekadar pasrah. Sabar menerima takdir tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk melupakan ikhtiar. Justru sebaliknya, sabar mestinya mendorong kita lebih hati-hati, lebih amanah, lebih profesional.

Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Allah mencintai bila seseorang melakukan pekerjaannya dengan itqān (profesional dan tuntas). Maka melalaikan standar, meremehkan ilmu, atau membiarkan bangunan berdiri tanpa pengawasan yang memadai, sama saja dengan mengkhianati amanah.

Kita harus jujur mengakui: musibah bukan sekadar takdir yang turun dari langit. Ia juga bisa menjadi cermin kelalaian manusia. Maka jalan keluarnya bukan saling menuding, melainkan memperbaiki sistem agar lebih kuat, aman, dan terjaga.

Musibah, pada akhirnya, adalah ruang pertemuan antara iman dan akal sehat. Iman menuntun kita untuk sabar, akal sehat menuntun kita untuk belajar dari kesalahan. Bila keduanya berjalan bersama, maka kita tidak hanya ridha terhadap takdir Allah SWT, tapi juga serius menjaga amanah kehidupan.

Menerima takdir berarti kita tidak larut dalam penyesalan. Menjalankan tanggung jawab berarti kita tidak membiarkan kelalaian terulang. Dua hal ini harus kita jaga bersama, agar musibah menjadi jalan menuju kedewasaan iman dan perbaikan sosial.

Dan terakhir : Dengan hati yang sangat berduka, kami menyampaikan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas musibah yang menimpa keluarga besar Pondok Pesantren Al-Khazini. Musibah robohnya mushalla ini bukan hanya menggores luka di hati para wali santri, tetapi juga menjadi duka kita bersama sebagai umat Islam, khususnya para pengasuh pondok pesantren dan masyarakat yang mencintai perjuangan pendidikan agama.

Kepada Al-Mukarram Pengasuh Pondok, para asātidz, wali santri, serta seluruh keluarga besar pesantren, kami mendoakan semoga Allah SWT melapangkan hati dengan kesabaran, menguatkan langkah dalam menerima takdir-Nya, dan menjadikan musibah ini sebagai penghapus dosa serta jalan untuk meninggikan derajat di sisi-Nya.

Semoga para korban yang wafat diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT sebagai syuhadā’, dan yang terluka segera diberikan kesembuhan.

Kita percaya, di balik musibah ini pasti ada hikmah besar yang Allah SWT kehendaki. Maka mari kita jadikan kejadian ini sebagai panggilan untuk lebih berhati-hati, lebih bersungguh-sungguh menjaga amanah keselamatan santri, dan lebih ikhlas dalam berjuang menegakkan agama-Nya.

Duka ini adalah duka kita bersama. Semoga Allah SWT menggantinya dengan kebaikan yang lebih luas, dan menjadikan pesantren ini tetap tegak sebagai pusat cahaya ilmu dan iman.
Innā lillāhi wa innā ilayhi rājiūn


Referensi Tafsir

1. تفسير الجلالين
> { مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ } كالجدب { وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ } كالمرض { إِلا فِي كِتَابٍ } أي اللوح المحفوظ { مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا } نخلقها { إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ }.

Artinya: “Tidaklah menimpa suatu musibah di bumi seperti kekeringan, atau pada diri kalian seperti sakit, melainkan telah tertulis di Lauh Mahfuzh sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.”

2. تفسير الرازي
> والمعنى: لا يحصل شيء من الحوادث في الأرض من القحط، والجدب، وقلة النبات، ولا في الأنفس من الأمراض، والأسقام، والأوجاع، إلا وهو مكتوب في اللوح المحفوظ قبل أن نخلق الخلق.

Artinya: “Tidak ada sesuatu pun dari peristiwa di bumi berupa kekeringan, paceklik, berkurangnya tumbuhan, atau pada diri berupa penyakit dan rasa sakit, melainkan telah tertulis di Lauh Mahfuzh sebelum Kami menciptakan makhluk.”

3. تفسير القرطبي
> أي قد علمه الله وكتبه في اللوح المحفوظ قبل أن يبرأ الخلق، أي قبل أن يخلقهم.

Artinya: “Artinya, Allah telah mengetahuinya dan menuliskannya di Lauh Mahfuzh sebelum Dia menciptakan makhluk.”

4. تفسير الشعراوي
> الحق سبحانه يريد أن يبين أن ما يجري في الكون من أحداث قد سُجِّل وعُرِف عنده قبل أن يُخلَق هذا الكون. فلا ينبغي للمؤمن أن يجزع، بل عليه أن يسلم الأمر لله.

Artinya: “Allah ingin menjelaskan bahwa apa pun yang terjadi di alam semesta telah dicatat dan diketahui-Nya sebelum alam ini diciptakan. Maka seorang mukmin tidak sepatutnya panik, melainkan menyerahkan urusannya kepada Allah.”

5. التفسير المنير للزحيلي
> المعنى: كل ما يقع من مصيبة في الأرض من الجدب، والقحط، ونقص النبات، أو في الأنفس من الأمراض، والعلل، والأوجاع، فهو مسجل في اللوح المحفوظ قبل أن نخلق الخليقة.
Artinya: “Maknanya: segala musibah yang terjadi di bumi berupa kekeringan, paceklik, berkurangnya tumbuhan, atau pada diri berupa penyakit dan rasa sakit, telah tercatat di Lauh Mahfuzh sebelum Kami menciptakan makhluk.”

6. التفسير القشيري
> معنى الآية: أن ما يصيب العبد من بلاء أو مصيبة قد سبق به القضاء، فعليه أن يرضى، ولا ينازع القدر.

Terjemah: “Makna ayat: segala cobaan atau musibah yang menimpa seorang hamba telah didahului oleh qadha Allah. Maka kewajiban hamba adalah ridha dan tidak menentang takdir.”

7. تفسير سهل التستري
> قال سهل: علم الله الأشياء قبل كونها، وكتبها قبل إحداثها، فلا ينبغي للمؤمن أن يغفل عن شهود سبق علم الله فيما يجري عليه.

Terjemah: “Sahl berkata: Allah mengetahui segala sesuatu sebelum ia ada, dan menuliskannya sebelum diwujudkan. Maka seorang mukmin tidak boleh lalai dari menyaksikan bahwa semua yang menimpanya sudah dalam ilmu Allah sejak semula”.