Surabaya, jurnal9.tv -Panggung birokrasi di lingkungan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, Senin (8/9) sore menjadi saksi sebuah dialektika yang tak biasa. Usai gegap gempita Musyawarah Daerah bulan Juni silam, para punggawa Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) kini merapatkan barisan, membawa seluruh agenda artistiknya ke dalam ruang rapat Biro Hukum. Pertemuan ini bukan lagi sekadar seremoni, melainkan sebuah ikhtiar serius untuk menata ulang pondasi kelembagaan kesenian di tanah Jawa Timur.
Delegasi yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal DKJT, Sol Amrida, merapat ke jantung pemerintahan bukan sekadar untuk audiensi seremonial. Kehadiran mereka mengartikulasikan sebuah pergeseran paradigma fundamental: dari objek menjadi subjek aktif dalam perumusan kebijakan kebudayaan. Mereka datang untuk memastikan setiap gerak dan napas kesenian di masa depan memiliki fondasi legalitas yang tak tergoyahkan.
Dalam suasana yang cair namun sarat akan substansi, Sol Amrida secara resmi melaporkan hasil Musyawarah Daerah kepada Kepala Biro Hukum, Adi Sarono. Laporan ini menjadi penting sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan organisasional kepada pemerintah, sekaligus sebagai langkah awal untuk menyinkronkan agenda DKJT dengan program-program pembangunan daerah, khususnya di sektor kebudayaan.
Salah satu gebrakan konseptual yang lahir dari Musda adalah penerapan model kepemimpinan tujuh Presidium. Ini bukan sekadar struktur, melainkan sebuah pernyataan sikap. “Kami memutus mata rantai sentralisme figur. Kepemimpinan kini adalah sebuah kerja kolektif kolegial yang ditanggung bersama oleh tujuh presidium,” tegas Sol Amrida, menggarisbawahi semangat baru yang diusung DKJT.
Filosofi di balik model ini adalah merangkul keragaman dan mendistribusikan kewenangan. Dengan tujuh pucuk pimpinan yang setara, setiap keputusan strategis organisasi akan lahir dari proses dialektika yang kaya perspektif. Ini adalah cerminan dari ekosistem kebudayaan itu sendiri—sebuah orkestrasi gagasan yang harmonis, bukan lagi solo instrumen dari satu pemimpin tunggal.
Amanat Musda dieksekusi dengan kecepatan penuh. Sol Amrida memaparkan bahwa orkestrasi kepengurusan baru telah rampung diramu. Dinamika internal yang positif ini mengirimkan sinyal kuat bahwa DKJT siap berlari kencang, tidak lagi terbelenggu oleh proses transisi yang berlarut-larut.
Struktur baru ini tidak hanya diisi oleh nama-nama yang familiar di kancah kesenian Jawa Timur, tetapi juga melibatkan berbagai elemen penting. Departemen dan Komite yang dibentuk merupakan representasi dari Dewan Kesenian tingkat Kabupaten/Kota. Selain itu, DKJT juga secara sadar merangkul individu-individu yang memiliki keahlian spesifik di berbagai bidang pemajuan kebudayaan, dari akademisi hingga praktisi.
Poin paling krusial dalam audiensi ini adalah sesi konsultasi terkait landasan hukum kelembagaan. DKJT menyadari bahwa untuk dapat bergerak lebih lincah, diperlukan payung hukum yang kuat. Oleh karena itu, diskusi intensif mengenai implementasi Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2024 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah serta pembahasan Rapergub Kebudayaan yang saat ini masih dalam proses harmonisasi di Biro Hukum menjadi agenda utama.
Sol Amrida menggarisbawahi visi jangka panjang organisasi, yakni bertransformasi dari Dewan Kesenian menjadi Dewan Kebudayaan. “Transformasi ini bukan sekadar perubahan nomenklatur, Ini adalah sebuah upaya untuk memperluas cakupan peran dan fungsi, dari yang semula hanya berfokus pada ranah kesenian, menjadi lebih komprehensif dalam mengawal sepuluh objek pemajuan kebudayaan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang dan kini menjadi landasan utama Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2024,” tegasnya.
Sementara it, Adi Sarono menekankan urgensi sinergi tiga pilar: DKJT sebagai representasi seniman, Biro Hukum sebagai fasilitator legal, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) sebagai eksekutor teknis kebijakan. “Komunikasi dan konsolidasi dengan Disbudpar sebagai perpanjangan tangan pemerintah adalah kunci. Jangan sampai ada ego sektoral,” pesannya.
Logika di balik saran tersebut, menurutnya, sangat sederhana. Komunikasi dan konsolidasi yang ajek akan menghindarkan terjadinya tumpang tindih program kerja dan anggaran. Justru sebaliknya, sinergi yang terbangun akan melahirkan sebuah orkestrasi kebijakan kebudayaan yang padu dan berirama sama di seluruh penjuru Jawa Timur.
Di sela-sela diskusi teknis, Adi Sarono melontarkan sebuah gagasan yang memberi warna lain pada pertemuan itu. Ia melihat ada sebuah ruang kolaborasi yang belum pernah tersentuh antara institusinya yang lekat dengan citra kaku, dengan dunia kesenian yang cair dan kreatif. Dia menawarkan bagaimana jika sosialisasi produk hukum kita garap bersama. “Selama ini sosialisasi Perda atau Pergub terkesan kering dan formal. Coba bayangkan jika materi hukum itu kita terjemahkan lewat pertunjukan ludruk, suluk dalang dalam pagelaran wayang, atau bahkan panel-panel komik. Tentu akan jauh lebih meresap di masyarakat,” tandasnya.
Dialog strategis ini terasa semakin lengkap dengan kehadiran perwakilan dari Disbudpar Provinsi Jawa Timur. Kehadiran mereka seolah melengkapi formasi segitiga emas: pelaku budaya, ahli hukum, dan perumus kebijakan teknis, yang duduk bersama dalam satu meja untuk merajut masa depan kebudayaan.
Pertemuan di ruang rapat Biro Hukum siang itu layak dicatat lebih dari sekadar agenda audiensi. Ia adalah sebuah momentum, titik temu antara energi kreatif para seniman dengan kerangka logis birokrasi, yang dijembatani oleh koridor hukum. Sebuah langkah kecil yang berpotensi melahirkan lompatan besar bagi ekosistem kebudayaan di Jawa Timur. (*)