Jakarta, jurnal9.tv -Persoalan sampah menjadi salah satu masalah ekologi di Indonesia yang tak kunjung selesai. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), sisa sampah makanan di Indonesia mencapai lebih dari 39%. Perguruan Tinggi bisa jadi pilar masalah ekologi ini.
Hal itu diungkap oleh Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Wahid dengan sebuah analogi, sering kali dalam menyelesaikan persoalan hanya menyentuh di level pertama, misalnya melihat banyak sampah di kampus, yang dilakukan hanya menyediakan tempat sampah.
“Cepat memang penyelesaiannya. Tapi tidak benar-benar selesai. Seperti lagi nyapu tapi dibuang ke bawah kolong. Memang enggak kelihatan, tapi kotorannya masih ada,” kata Alissa dalam Forum Rektor yang digelar dalam serangkaian Temu Nasional (TUNAS) GUSDURian, Sabtu (30/8/2025).
Alissa mencontohkan para rektor ketika membuat kebijakan di kampus, misalnya waste management. Tapi lagi-lagi belum tentu akan benar-benar selesai, ucapnya.
“Mestinya dari sini yang harus diklik adalah nilainya (level ke-3). Perlu kita bertanya siapa sih yang menciptakan sistem ini? Hingga akhirnya sampai di level empat, regenerating,” ujar Alissa.
Bagi Alissa, dalam menyelesaikan masalah ini setidaknya ada empat tingkatan pendekatan dari Presencing Institute: Reacting: quick fixes, Redesigning: policies, Rethinking: values, beliefs, Regenerating: source of creativity and self.
Alissa juga mendorong para rektor untuk mendesain perilaku menjaga lingkungan. Ia mencontohkan masyarakat Bali yang memiliki konsep Tri Hita Karana, sementara masyarakat Muslim mengenalnya sebagai habluminallah dan habluminannas.
“Perlu menjadi perhatian konsep tersebut hidup dalam kegiatan sehari-hari, terutama saat mendesain kebijakan, membangun kampus, atau lainnya,” katanya.
Kampus sendiri merupakan institusi nasional yang berbasis agama. Sedangkan agama memiliki ciri komunal yang pasti value-centris.
Di lain sisi, pemuka agama dan umat memiliki ikatan yang kuat. Karena itu GUSDURian juga membuat JAGAT (Jaringan Agama untuk Alam) mendukung pemuka agama agar menyuarakan lingkungan di tempat masing-masing.
Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) untuk Lingkungan dan Kemanusiaan
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Prof. Sahiron, menyampaikan bahwa di tingkat global terjadi penurunan spiritual keagamaan.
Indikasinya terdapat banyak konflik seperti perusakan, peperangan, dan kekerasan, ditambah lagi dengan kondisi lingkungan yang memprihatinkan: climate change, udara kotor, longsor, dan sampah.
“Penting menumbuhkan kesadaran masyarakat akan kondisi kemanusiaan dan kealaman. Pendidikan (baik formal, nonformal, digital dalam arti luas) diharapkan menjadi solusi efektif,” jelasnya.
Kemenag, kata Sahiron, saat ini sedang merumuskan kurikulum cinta sebagai pilihan. Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) merupakan kurikulum pendidikan yang didasarkan pada kecintaan (mahabbah, in loving with) yang mendalam kepada Tuhan sehingga memiliki kesadaran positif, berakhlak, dan memiliki kecintaan kepada manusia serta alam/lingkungan dengan segala kondisi dan situasinya.
“Visi KBC sendiri membentuk insan kamil berkarakter komprehensif dalam rangka menciptakan dunia yang nyaman, damai, dan harmonis untuk menggapai kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat,” tukasnya.
Rektor Universitas Annuqayah, Sumenep Madura, M. Husnan, menyampaikan bahwa fikih lingkungan sudah masuk dalam kurikulum dan menjadi mata kuliah. Saat ini Universitas Annuqayah juga sedang mengembangkan fikih berkendara.
Dalam forum tersebut, para rektor menyampaikan evaluasi tentang perlunya kolaborasi yang lebih luas lagi sehingga ketika membumikan lingkungan dan kemanusiaan.
“Kita bisa kolaborasi misal dengan ahli psikologi, dengan ahli agama, dan ahli lainnya. Begitu pun kaitannya dengan lingkungan hidup, misalnya dengan sampah, harus punya kolaborasi dengan ahli persampahan, atau kampung yang konsen dalam bidang itu,” tegasnya.
“Jika ada peningkatan kolaborasi, pengembangan konsep, dan juga keseriusan melakukan gerakan-gerakan dalam rangka menciptakan keharmonisan dan kelestarian alam semesta,” tandasnya.
Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian bersama 31 rektor perguruan tinggi berkumpul dalam Forum Rektor Temu Nasional Jaringan GUSDURian. Bertempat di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, pada 30 Agustus 2025, forum ini membahas program pasca acara Bali Interfaith Movement (BIM) yang diadakan di berbagai kampus Indonesia pada Desember 2024.
Kegiatan BIM sendiri bermula dari Deklarasi Istiqlal saat Paus Fransiskus berkunjung ke Indonesia. Prof. Nasaruddin yang waktu itu menjadi imam Masjid Istiqlal menerima kunjungan Paus, dan lahirlah deklarasi yang menyoroti isu dehumanisasi dan krisis lingkungan tersebut.