OPINI  

Meneguhkan Pancasila dan Islam Nusantara dalam Sekolah Hukum dan Politik Kebangsaan

Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Sekretaris Pengurus Wilayah Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Timur

Wacana kebangsaan kerap terempas menjadi percakapan yang pendek napasnya. Politik dipersempit menjadi kontestasi kuasa, disamping kemudian hukum juga dihimpit menjadi pasal-pasal yang kehilangan denyut etikanya. Saya melihat bahwa ruang publik Indonesia terlalu sering dipenuhi oleh wacana politik praktis yang dangkal, sementara dialektika hukum dan politik kebangsaan yang sejati jarang mendapatkan tempat. Dari kegelisahan inilah saya menggagas Sekolah Hukum dan Politik Kebangsaan, sebagai wadah untuk mempertemukan hukum, politik, dan nilai keislaman terutama bagi para Sarjana Nahdlatul Ulama.

Gagasan pendirian ini saya tegaskan di forum perdana sekolah pada Jum’at, 22/08/2025. Bagi saya, sarjana NU tidak boleh sekadar menjadi penonton dalam arus besar hukum dan politik bangsa. Mereka harus hadir sebagai motor penggerak yang mampu menanamkan nilai Islam Nusantara, menjaga marwah Pancasila, dan mengintegrasikan nalar hukum dan politik modern. Sekolah ini saya maksudkan untuk melatih kesadaran itu, agar lahir generasi yang piawai membaca teks sekaligus konteks.

Seminar perdana bertajuk “Negara Pancasila dan Fiqh Kenegaraan: Meneguhkan Islam Nusantara dalam Demokrasi Konstitusional” menjadi penanda awal langkah ini. Lebih dari lima ratus peserta hadir, dari kiai, akademisi, mahasiswa, hingga praktisi. Kehadiran mereka menguatkan keyakinan saya, bahwa sekolah ini bukan sekadar ide, melainkan kebutuhan nyata bagi bangsa. Saya merasakan api intelektual itu menyala ketika para narasumber membuka dimensi-dimensi penting yang sering terabaikan dalam percakapan publik kita.

KH. Afifuddin Muhajir mengingatkan bahwa negara hanyalah wasilah untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan. KH. Moh. Noor Harisuddin menegaskan dengan lugas, “NKRI sudah syariah, maka tidak perlu disyariahkan lagi.” Sedangkan Prof. Moh. Fadli menyoroti kebutuhan untuk merapikan regulasi, memperkuat regulatory impact assessment, serta meneguhkan Pancasila sebagai roh penyelenggaraan negara. Ketiga pemikiran itu, dalam pandangan saya, memperkaya sekaligus mengonfirmasi gagasan dasar sekolah ini: bahwa Islam, Pancasila, dan hukum nasional tidak saling menegasikan, melainkan saling menopang.

Sebagai moderator, saya berusaha menjaga dinamika diskusi tetap dalam koridor moderasi akademik. Moderasi, bagi saya, bukan berarti mencari jalan tengah yang kompromistis, melainkan menempatkan setiap gagasan pada proporsinya yang rasional, ilmiah, dan konstitusional.

Dari ketiga pembicara di atas, saya sendiri menganggap bahwa pembicaraan mengenai Negara Pancasila dan Fiqh Kenegaraan tidak boleh berhenti pada perdebatan formalisme. Kita terlalu sering terseret pada pertanyaan apakah sebuah negara harus dilabeli “Islam” atau “sekuler”, seolah label itu sendiri yang menentukan kualitas sebuah negara. Bagi saya, yang lebih mendasar adalah: sejauh mana negara itu menunaikan substansi keadilan. Inilah tafsir fiqh tata negara yang tidak berhenti pada bentuk, melainkan menembus ke ruh keadilan itu sendiri.

Dari perspektif maqāṣid al-sharī‘ah, negara adalah wasilah—sarana untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Negara yang adil, meskipun tanpa label “Islam”, sejatinya telah menunaikan maqāṣid tersebut. Sebaliknya, negara yang zalim, walau mengusung nama “Islam”, justru mengkhianati ruh syariat. Karena itu, saya berpandangan, polemik panjang antara keinginan memformalkan syariat dan kenyataan Pancasila sebagai dasar negara harus dijawab dengan sebuah sintesis: syariat tidak harus menjelma dalam simbol formal, karena keadilan substantif yang diwujudkan NKRI justru telah sejalan dengan maqāṣid syarī‘ah. Dengan begitu, Islam Nusantara tidak berhadap-hadapan dengan Pancasila, tetapi justru mengakar di dalamnya.

Dengan kerangka inilah saya memandang urgensi Sekolah Hukum dan Politik Kebangsaan. Ia dimaksudkan sebagai laboratorium gagasan: tempat kita menggerakkan dialektika hukum dan politik, agar demokrasi konstitusional kita tidak kehilangan arah, melainkan semakin matang dan bermartabat.