OPINI  

Titik Temu Itu Bernama Cinta: Merawat Indonesia dengan Trilogi Kerukunan Jilid Dua

Oleh: Sholehuddin*

17 Agustus 2025 ini bangsa Indonesia merayakan 80 tahunnya. Dengan mengusung tema “Bersatu Berdaulat Rakyat Sejahtera Indonesia Maju”, menyimpan harapan besar menuju Indonesia Emas 2045″. Mampukah menuju ke sana, atau bahkan sebaliknya? Tergantung kita sendiri sebagai bangsa.

Belajar dari sejarah
Di belahan dunia ada beberapa negara yang sebelumnya menyatu (integrasi) kemudian mengalami pemisahan (disintegrasi). Sebut saja Uni Soviet yang kemudian pecah menjadi beberapa negara seperti Rusia dan negara- negara kecil lainnya. Pakistan sebelumnya bagian dari India.

Sejarah juga telah mencatat, Indonesia pernah mengalami dinamika sistem kenegaraan. Misalnya, pernah berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Kemudian kembali menjadi negara kesatuan. Fakta lain juga perlu dicatat pernah lepas satu propinsi dari NKRI yakni Timor -Timor yang dalam referendum berpisah menjadi Negara Timor Leste.

Di satu sisi ada negara yang dulunya terpisah sekarang bersatu seperti Jerman. Selama empat dekade, negara ini terpecah antara Jerman Barat dan Timur. Pada 1990 negara ini bersatu menjadi Republik Federasi Jerman. Ternyata, negara bisa kuat bukan karena tentara yang hebat dan bukan semata peralatan militer yang canggih.

Hal ini menunjukkan bahwa apapun bisa terjadi. Karena itu tidak boleh terlalu menyederhanakan masalah (oversimplification). Dalam teori ‘scenario thinking’, kondisi saat ini menentukan masa depan. Konflik biasanya terjadi diawali dari perbedaan yang diperkuat tiga suara (three voices) penghakiman, kebencian dan ketakutan. Tiga suara ini biasanya berada di wilayah tertutup (n). Seseorang yang berada di posisi ini inginnya menghancurkan atau merusak.

Dari sini bangsa Indonesia menghadapi tiga tantangan, kemanusiaan keberagamaan dan kebangsaan. Tiga tantangan ini harus disikapi dengan mengedepankan esensi ajaran agama, mengelola keberagaman dan merawat ke-Indonesiaan. Cara ini yang dikembangkan dalam moderasi beragama.

Fakta sejarah itu menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Negara yang dulunya besar dan kuat bisa hancur mengalami disintegrasi bukan karena tentara yang lemah, tapi karena tidak mampu mengelola perbedaan. Krisis ekonomi sejatinya salah satu instrumen selain politik dan faktor lainnya. Pada akhirnya perbedaan suku, ras dan agama yang sering menjadi santapan empuk memporak porandakan keutuhan bangsa.

Meskipun mengalami dinamika politik yang berliku, sampai saat ini NKRI masih terjaga dengan baik. Namun demikian upaya polarisasi dan pembelahan sosial masih dirasakan. Ujaran kebencian antar kelompok, suku ras dan agama masih mewarnai media sosial. Karena itu harus diantisipasi dengan cepat agar tidak menjadi framing.

Bagi Indonesia, kemajemukan budaya, suku, ras dan agama sejatinya bukan menjadi penghalang, tetapi sebuah tantangan. Indonesia masih bertahan karena mampu mengelola perbedaan. Perbedaan inilah yang harus dikelola, bukan disamakan apa lagi dipaksa sama.

Dinamika politik yang mengesampingkan aspek kemanusiaan, keagamaan dan kebangsaan menganggap yang berbeda adalah ‘musuh’. Cara mengurangi benturan perbedaan ini bisa menggunakan konsep “Titik Temu” (Kalimatun sawa’) atau “commond word”.

Titik Temu (kalimatun sawa’) adalah konsep mencari titik kesamaan di tengah perbedaan. Bahwa semua agama dengan segala perbedaanya pada akhirnya bermuara pada ajaran yang sama, yakni Cinta. Cinta tuhan, cinta sesama dan cinta alam. Ini yang disebut Trilogi Kerukunan Jilid Dua sebagaimana digagas Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar. Harmoni dengan Tuhan, harmoni dengan sesama dan harmoni dengan alam.

Jika di dalam Islam ada ‘Hablum minallah dan hablum minannas’, serta ajaran Islam sebagai Rahmatan lilalamin, di Bali yang mayoritas menganut Hindu ada Tri Hita Karana. Di Kristen dan Katolik ada Salib yang memiliki simbol kasih terbesar Allah kepada manusia. Di Budha ada Metta yang berarti cinta kasih tanpa batas. Karena itu, titik temu mengajak umat manusia menebar kasih sayang di muka bumi. Hal ini sejalan dengan hadis Qudsi, “Irhamu man fil ardli, yarhamkum man fissama”. “Sayangilah makhluk yang ada di bumi, maka yang ada di langit akan menyayangimu”.

Titik temu mengajarkan masalah esensi lebih diutamakan, tanpa harus mengurangi dan mendegradasi kesakralan simbol-simbol dan ritual. Sebab, masing-masing kelompok, agama ataupun aliran mempunyai simbol dan ritual yang harus dihormati satu sama lain, tidak menganggap lebih rendah kepada pihak yang berbeda.

Cinta sebagai titik temu dalam moderasi beragama termasuk nilai universal yang lebih esensial. Dalam teori gunung es (iceberg analysis), ajaran cinta sebagaiman diajarkan masing-masing agama merupakan sumber yang bebas kepentingan.

Bagaimana cara menumbuhkan cinta?. Dalam hal ini kita bisa menggunakan teori Proses U atau “U procces”. Pertama, ubah wilayah tertutup (n) menjadi terbuka (u) melalui buka pikiran (open mind), buka hati (open hearth) dan buka tekad (open will). Bahwa setiap orang, kelompok dan pemimpin mempunyai kelebihan dan kekurangan. Orang berpandangan dengan pikiran, hati dan tekad terbuka melihat orang lain dari sisi kebaikannya dengan pandangan kasih sayang (ainur rahmah). Ia juga mempunyai kepekaan dan tekad secara konsisten menebar kebaikan tanpa merendahkan pihak lain. Langkah ini bisa mengubah mental model Ini yang disebut “rethinking”.

Kedua, merencanakan dan membuat program dan kegiatan yang memperkuat cinta kasih kepada sesama dan lingkungan. Kurikulum Cinta dengan Panca Cinta (Cinta Tuhan dan Rasul, Cinta Ilmu, Cinta sesama dan alam serta cinta tanah air) dan Ekoteologi merupakan upaya meredesaining program berwawasan trilogi kerukunan jilid baru. Budaya lingkungan juga bisa dikembangkan secara bersama seluruh komponen bangsa tanpa melihat suku ras dan agama bahkan politik.

Ketiga, memastikan pesan-pesan cinta damai melalui media sosial (reframing) dan menciptakan kebiasaan baru yang bernuansa kerukunan. Kondisi ini harus dipastikan tetap berjalan dengan melibatkan ekosistem seperti masyarakat, dunia pendidikan, keagamaan, media, anggaran dan politik atau negara.

Strategi ini diharapkan mampu menumbuhka rasa cinta yang diikat dengan Trilogi Jilid Dua sehingga mengantarkan cita-cita bersama, “Bersatu Berdaulat Rakyat Sejahtera Indonesia Maju”. Bahasa agama adalah “Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur”. Ini yang disebut (Reacting). Dengan kita memilih jalan terbuka sebagaimana “scenario thinking”, maka Indonesia Emas 2045 akan terwujud. Dirgahayu Indonesia.

*Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah Widyaiswara Ahli Madya Balai Diklat Keagamaan Surabaya dan Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama serta Ketua PC ISNU Sidoarjo.