Surabaya, jurnal9.tv -Dulu ia buronan internasional, kini ia seorang peracik kopi.
Sosok yang pernah menghiasi daftar hitam teroris paling dicari oleh Amerika Serikat, dengan kepala dihargai satu juta dolar AS, kini hadir dalam wajah yang sama sekali berbeda.
Umar Patek, mantan narapidana kasus Bom Bali 2002, meluncurkan produk kopi bernama “Kopi Ramu 1966 by Umar Patek” dalam sebuah acara yang berlangsung pada Selasa (3/6/2025), di Hedon Estate Surabaya.
Peluncuran ini bukan sekadar perkenalan sebuah merek baru di industri kopi.
Ia adalah presentasi perubahan. Di balik aroma rempah yang mengepul dari cangkir-cangkir kopi, tersimpan narasi kompleks tentang penebusan, transformasi, dan keberanian seorang pria dalam menghadapi sejarah kelam yang pernah ia ciptakan sendiri.
Nama aslinya adalah Hisyam bin Alizein. Dunia mengenalnya sebagai Umar Patek, anggota jaringan Jemaah Islamiyah, otak di balik serangkaian aksi teror, termasuk Bom Bali 2002 dan pengeboman gereja-gereja di malam Natal 2000.
Ia adalah figur yang berperan besar dalam membentuk jaringan teror di Asia Tenggara, bahkan menjadi mentor bagi tokoh seperti Noordin M. Top.
Namun waktu berjalan, dan sejarah pun berbalik arah. Setelah menjalani lebih dari separuh dari vonis 20 tahun yang dijatuhkan pada tahun 2012, Umar Patek memperoleh pembebasan bersyarat pada 7 Desember 2022.
Ia kini berstatus sebagai klien pemasyarakatan di bawah pengawasan Balai Pemasyarakatan Surabaya hingga April 2030.
Usai bebas, Umar mengaku mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Status sebagai mantan teroris menjadi stigma yang tak mudah dihapus.
Beberapa perusahaan menolaknya secara halus maupun terang-terangan.
Hingga akhirnya, dari kebiasaan sederhana menyeduh kopi untuk kerabat, lahirlah sebuah peluang yang kemudian membuka jalan baru.
Racikan kopinya menarik perhatian drg. David Andreasmito, pemilik Hedon Estate.
Dari perkenalan tersebut, ide kolaborasi bisnis tumbuh. Ramu 1966 pun lahir, menjadi produk pertama yang secara resmi menyatukan identitas masa lalu dan masa kini Umar Patek.
Nama “Ramu” adalah permainan kata dari “Umar”, sedangkan angka 1966 merujuk pada tahun kelahirannya.
Simbolisme sederhana ini membawa makna mendalam, dulu ia meramu bahan peledak, kini ia meramu rasa, aroma, dan harapan.
Dalam peluncuran produk tersebut, Umar menyampaikan pesan reflektif, “Dulu aku dikenal karena hal yang menyakitkan dunia. Tapi kini, aku memilih jalan lain. Meramu rasa, menyeduh damai.”
David Andreasmito menegaskan bahwa kolaborasi ini bukan sekadar strategi bisnis, tetapi juga bentuk dukungan terhadap proses reintegrasi sosial bagi mantan narapidana.
Ia menyebut Ramu 1966 sebagai karya yang lahir dari keberanian untuk berubah dan tekad untuk berkontribusi kembali kepada masyarakat.
Bagi Umar Patek, kopi bukan hanya media baru untuk bertahan hidup, melainkan cara untuk berdamai dengan dirinya sendiri dan masa lalunya.
Ia tidak pernah menyangkal sejarah kelamnya.
Justru, melalui kopi, ia ingin menunjukkan bahwa perubahan adalah keniscayaan bagi siapa pun yang bersungguh-sungguh ingin menebus kesalahan.
“Kalau dulu pahit itu menghancurkan, sekarang pahit ini menyembuhkan,” ucapnya, menyiratkan bahwa kenikmatan dan pengampunan bisa tumbuh bahkan dari kepahitan terdalam.
Saat ini, Ramu 1966 dipasarkan perdana di Hedon Estate, namun Umar Patek tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkan usahanya lebih luas, bahkan ke luar negeri.
Ia berharap kopi ini tidak hanya dikenal karena rasanya yang khas, tetapi juga karena pesan damai yang dikandungnya.
Transformasi Umar Patek memantik perbincangan yang tak terhindarkan, haruskah masyarakat memberi ruang kedua bagi seseorang dengan masa lalu seberat itu? Ia sendiri memahami bahwa skeptisisme akan selalu ada.
Namun, di tengah narasi penuh luka yang pernah ia torehkan, kini ia mencoba menulis bab baru, tentang secangkir kopi, tentang harapan, tentang manusia yang memilih bangkit.
Masyarakat berhak untuk mengingat dan waspada. Namun pada saat yang sama, memberi ruang bagi perubahan juga adalah bentuk kematangan kolektif.
Ramu 1966 tidak hanya menyajikan kopi, tetapi juga membuka ruang dialog tentang pengampunan, pertobatan, dan kemungkinan untuk kembali menjadi manusia seutuhnya.