Mitos Masyarakat Jawa di Bulan Suro, Bagaimana dalam Islam?

Surabaya, Jurnal9.tv – Bulan Muharram. Salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT. Kemuliaan dan keutamaannya tercatat dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 36. Pada bulan Muharram ini kita dianjurkan untuk memperbanyak amalan-amalan yang dianjurkan agama Islam. Dikutip dari laman NU online, dijelaskan apabila kita mengerjakan amal saleh pada bulan ini (Muharram), maka pahalanya akan berlipat ganda.

Namun kendati demikian, selain terkenal dengan segala keutamaannya. Bulan Muharam atau orang Jawa sering menyebutnya bulan Suro juga terkenal sebagai bulan yang sakral. Maka dari itu ada beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan pada bulan Suro. Beberapa mitos yang dipercaya masyarakat Jawa, yaitu;

  • Larangan keluar rumah pada malam 1 Suro, pada malam 1 Suro sebagian orang memilih untuk tetap berdiam di rumah. Beberapa orang ini meyakini bahwa orang yang memiliki weton tertentu akan mendapatkan kesialan apabila keluar rumah pada malam 1 Suro;
  • Larangan melakukan pindah rumah, beberapa orang juga mempercayai apabila melakukan pindah rumah pada malam 1 Suro adalah hal yang pamali dilakukan. Karena pada umumnya untuk melakukan hal-hal tertentu perlu pertimbangan berdasarkan kalender primbon;
  • Larangan mengadakan pernikahan, tidak menggelar pernikahan pada bulan ini karena beberapa masyarakat memiliki kepercayaan apabila melakukan pernikahan pada bulan Suro maka akan mendapatkan kesialan pada pernikahannya.

Masyarakat Jawa percaya apabila mereka melanggar mitos tersebut akan mendatangkan sebuah kesialan. 

Di bulan Muharram juga Rasulullah SAW melamar dan mempersunting Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan serta seorang perempuan dari Bani Israel yang bernama Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Peristiwa ini kemudian memperkuat bahwa Muharram adalah bulan yang baik untuk menikah.

Mencari berkah dari Nabi itu boleh, karena mendapatkan kesunahan. Atau mengikuti kebiasaan masyarakat setempat dengan tidak melaksanakan pernikahan di  bulan tertentu juga boleh saja dilakukan sesuai kebiasaan. Yang terpenting tidak sampai mempunyai kepercayaan bahwa, sebab bulan Muharram pernikahan mengundang malapetaka.

Dalam Islam sendiri tidak ada larangan untuk melakukan hal-hal baik, seluruh tanggal, bulan dan waktu kapanpun merupakan waktu yang baik. Dalam laman Nu Online tertulis penjelasan Imam Syafi’i sebagaimana dinukil Syekh Burhanuddin bin Firkah sebagai berikut;

إِن كَانَ المنجم يَقُول ويعتقد أَن لَا يُؤثر إِلَّا الله لَكِن أجْرى الله تَعَالَى الْعَادة بِأَنَّهُ يَقع كَذَا عِنْد كَذَا والمؤثر هُوَ الله فَهَذَا عندى لَا بَأْس بِهِ وَحَيْثُ جَاءَ الذَّم ينبغى أَن يحمل على من يعْتَقد تَأْثِير النُّجُوم وَغَيرهَا من الْمَخْلُوقَات انْتهى

“Apabila ahli nujum itu berkata dan meyakini bahwasanya tidak ada yang dapat memberi pengaruh [baik-buruk] selain Allah, hanya saja Allah menjadikan kebiasaan bahwa terjadi hal tertentu di waktu tertentu sedangkan yang dapat memberi pengaruh hanyalah Allah semata, maka ini menurutku tak mengapa. Celaan yang ada terhadap hal ini seyogyanya dibawakan dalam konteks apabila diyakini bahwa bintang-bintang itu atau makhluk lainnya bisa memberikan pengaruh [baik-buruk].” (Tajuddin as-Subki,Thabaqat as-Syafi’iyah al-kubra, juz II, halaman 102)

Habib Muhammad bin Farid Al Muthoha dalam youtube nu online menjelaskan bahwa kita tidak boleh menyakini ada mu’ashir, ada yang memberikan pengaruh baik maupun mudharat kecuali dari Allah SWT. “Tanggal ini, tanggal itu, weton ini, weton itu. Tidak boleh kita menyakini ada keburukan tertentu ada pengaruh tertentu terhadap nasib kita. Yang menentukan nasib kita adalah Allah SWT,” jelas Habib Muhammad bin Al Farid Al Muthoha.

Kita akan selalu hidup berdampingan dengan berbagai macam mitos di masyarakat. Namun sebagai umat  Islam, hendaknya menyakin bahwa yang baik dan buruk itu datangnya dari ALLAH SWT.