Film Hati Suhita Menjadi Jawaban bahwa Dunia Pesantren Layak Dijadikan Film

Surabaya, Jurnal9.tv – Kualitas perfilman Indonesia  makin baik. Salah satu Film yang sarat nilai-nilai adalah “Hati Suhita”. Film ‘Hati Suhita’ merupakan salah satu film bergenre romance Antara seorang Gus dan Ning berlatar kehidupan pesantren.

Sutradara mengemas film romance tersebut dengan rapih dan apik. Film ini juga telah berhasil mempertontonkan kisah cinta yang berbeda dari kisah lainnya. Selain kisah percintaan, film Hati Suhita juga mengambarkan situasi dan kondisi kehidupan yang ada dalam pesantren. Seperti tradisi pesantren, budaya Ziarah Wali.

Premiere Film di Surabaya memantik minat para Gus dan Ning di Jatim. Di antaranya, Gus Rifqil Muslim Suyuthi dan Ning Imas, Ning Widad Bariroh, Ning Maryam luailik, dan Ning Najihah.

Gus Rifqil Muslim Suyuthi, menjelaskan dalam film tersebut banyak sekali pelajaran-pelajaran yang didapat. Penonton akan mengetahui bagaimana kisah cinta seorang anak Kiai yang dijodohkan dan bagaimana lika-liku kedua anak Kiai tersebut dalam memadu dan membangun sebuah rumah tangga.

“Kita disajikan bagaimana ada perjodohan yang menemukan 2 pesantren. Perjodohan yang menemukan satu pesantren salaf dan pesantren semi modern ya, atau bahkan dikatakan pesantren yang ada sekolahnya pendidikan formalnya,” tambah Gus Rifqil. (menit 02.21 – 03.00)

Ning Imas menambahkan, Pondok Pesantren adalah salah satu cikal bakal pencetak penulis handal. Hal itu telah menjadi suatu ilmu turunan yang telah diberikan oleh para Kiai terdahulu, yang dimana beliau-beliau telah banyak menulis karangan-karangan, hikayat dan kitab-kitab yang hingga saat ini masih digunakan oleh para santri-santri. Turunan ilmu tersebut telah dimiliki oleh santri santri masa kini.

Selain Gus Rifqil dan Ning Imas, Ning Widad juga menuturkan bahwa Film Hati Suhita merupakan salah satu film berbasis agama yang wajib ditonton. Film tersebut adalah salah satu jawaban akan asumsi dan stigma masyarakat bahwa pesantren tidak berkembang atau stuck begitu saja. Namun dengan rilisnya film tersebut dunia kepesantrenan menjawab bahwa budaya, tradisi yang dimiliki oleh pesantren memang layak untuk diangkat menjadi sebuah film.

“Asumsi dan stigma stigma di pesantren bahwa memang karyanya pesantren dan ternyata budaya, pesantren, tradisi, pesantren. Tapi itu untuk diangkat di film. Jadi memang kita enggak boleh takut ya untuk mengekspos pesantren dari sisi manapun dari nilai mana pun,” imbuh Ning Widad. (muk/snm)