Surabaya, Jurnal9.tv – Ibu adalah makhluk yang Istimewa. Rasulullah menyebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa orang yang berhak diperlakukan dengan baik adalah Ibu. Rasul menyebutnya hingga tiga kali. Barulah Rasulullah menyebut Ayah sebagai orang yang berhak diperlakukan dengan baik.
Ibu telah melewati tiga kesulitan dalam hidup. Di antaranya, ketika mengandung, melahirkan, hingga menyusui. Ibu juga adalah Madrasatul Ula. Pendidikan pertama seorang anak. Dari anak yang hanya bisa menangis, hingga menjadi anak yang banyak tau.
Ibu adalah sosok yang paling kuat, dan bijaksana. KH Dzawawi Imron, Bahkan menyebut bahwa Jika ada hutang yang tidak akan sanggup dibayar, adalah hutang anak kepada ibunya. Sebegitu besarnya peran Ibu terhadap anaknya, hingga tak ada satupun yang mampu menghitungnya dengan materi. Begitu besar rasa sayang dan cintanya kepada anak, tanpa syarat.
Berbakti Kepada Orangtua yang Masih Hidup
Orangtua terutama ibu tak akan meminta balasan dari cinta dan kasih yang dicurahkannya sejak mengandung buah hati. Namun sebagai anak, sudah sepatutnya berbakti kepadanya. Caranya adalah dengan berbuat baik dan tidak berkata kasar kepadanya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Artinya: “Dan kalian sembahlah Allah dan jangan kalian sekutukan Ia dengan apa pun, dan dengan bersikap baik kepada kedua orang tua.” (QS An-Nisa’: 36)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir (2/298) dijelaskan, orang tua sangat penting untuk dihormati karena Allah menjadikan orang tua sebagai media atau wasilah seorang anak bisa lahir ke alam dunia ini. Oleh karena itu, di dalam ayat Al-Qur’an, Allah berulang kali memerintahkan berbaik budi kepada kedua orang tua setelah Al-Qur’an menyebut kata Allah. Jadi kalimat kedua orang tua (wâlidain) sering jatuh setelah kata perintah pengesaan atau penghambaan kepada Allah.
Selain ayat di atas, bisa dilihat pada ayat berikut:
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
Artinya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” (QS Luqman: 41)
Di dalam Surat Al-Isra’, Allah melarang anak berkata kasar meskipun sedikit saja dengan kalimat “hus” misalnya, dan membentak.
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: “Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS Al-Isra’: 23)
Berbakti Kepada Orangtua yang Sudah Meninggal
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang, menulis di Nu Online bahwa ada hal-hal yang bisa dilakukan anak sebagai wujud bakti. Satu di antaranya yang sulit dilakukan adalah menyambung silaturahmi dengan teman-teman orangtua.
Abu Usaid pernah menceritakan sebuah hadits berikut:
بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ بَقِيَ عَلَيَّ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ بَعْدَ مَوْتِهِمَا أَبَرُّهُمَا بِهِ؟ قَالَ: ” نَعَمْ خِصَالٌ أَرْبَعَةٌ: الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا، وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا، وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا رَحِمَ لَكَ إِلَّا مِنْ قِبَلِهِمَا، فَهُوَ الَّذِي بَقِيَ عَلَيْكَ مِنْ بِرِّهِمَا بَعْدَ مَوْتِهِمَا
Artinya: “Suatu ketika saya sedang duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ. Tiba-tiba ada seorang laki-laki dari sahabat Anshar sowan. Ia bertanya kepada Rasul, ‘Ya Rasul, apakah saya bisa berbaik budi kepada kedua orang tua saya yang sudah meninggal?’ Rasul lalu menjawab, ‘Iya, ada empat hal, yaitu (1) mendoakan mereka, (2) memohonkan ampunan untuk keduanya, (3) menunaikan janji mereka dan memuliakan teman mereka, dan (4) menjalin silaturahim dengan orang-orang yang tidak akan menjadi saudaramu kecuali melalui perantara ayah-ibumu. Itulah budi baik yang harus kamu lakukan setelah mereka meninggal’.” (Musnad Ahmad: 16059).




