KH Muhammad Dahlan, Pendukung Lahirnya Kader-Kader NU

Surabaya, Jurnal9.tv- Resolusi jihad adalah peristiwa yang cukup penting dalam kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini diperingati sebagai hari santri yang bertepatan pada 22 Oktober. Resolusi jihad ini dipelopori oleh pendiri Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy’ari. Dalam resolusi tersebut diserukan agar kaum muslimin ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Salah satu ulama NU yang ikut mencetuskan resolusi jihad adalah KH. M. Dahlan.

Dikutip dari Tempo.co KH. Muhammad Dahlan lahir dari orang tua yang sangat disiplin menanamkan ketaatan beragama, yaitu KH Abdul Hamid dan Ibu Nyai Chamsiyah. Lahir di desa Mandara Rejo, Kotamadya Pasuruan, Jawa Timur pada tanggal 02 Juni 1909 yang bertepatan dengan 14 Jumadil Ula 1327 Hijriah. Muhammad Dahlan adalah putra ketiga dari lima bersaudara.

KH Muhammad Dahlan sibuk mentahbiskan masa anak-anak dan remajanya untuk menimba ilmu di pesantren. Beliau menimba ilmu di dua pesantren yaitu, pesantren siwalan panji yang berada di Sidoarjo dan Pesantren Tebu Ireng yang berada di Jombang.  Kemudian ia menimba ilmu di Makkah ikut dengan kakak sulungnya. Dengan rajin beliau mengikuti acara pengajian seperti yang dilakukan oleh para Ulama terdahulu, yang mengikuti pengajian di sekitar masjid Al-Harrsm Makkah. Tidak hanya ilmu agama saja yang dipelajari olehnya, ketika di Makkah beliau juga belajar tentang banyak hal tentang dunia luar, untuk bekal membangun negeri dan berkarya dalam NU.

Dikutip dari Republika.co.id, tampilnya KH Muhammad Dahlan dalam lapangan pergerakan dimulai pada tahun 1930. Beliaulah yang merintis NU cabang Bangil sekaligus menjadi ketuanya. Kemudian 5 tahun kedepan beliau diangkat menjadi ketua NU cabang Pasuruan. Tidak hanya merintis NU di cabang bangil saja, beliau juga banyak memelopori peristiwa penting seperti, pelopor antar umat beragama, pelopor kelanjutan pembangunan masjid istiqlal, pelopor musabaqoh tilawatil Quran, dan pendiri perguruan tinggi ilmu Al-Quran.

‘Melobi’ pendirian Muslimat NU

Dahlan ia adalah seorang organisator yang ulet dan mahir berargumentasi. Bintangnya makin bersinar saat ia menghadiri kongres NU XIII di Menes, Banten pada tanggal 11-16 Juni 1938. Sejarah mencatat bahwa kongres NU di Menes merupakan forum yang memiliki arti tersendiri bagi proses terbentuknya organisasi Muslimat NU. Dalam kongres tersebut, untuk pertama kalinya muncul usulan tentang perlunya wanita NU mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki dalam menerima didikan agama melalui organisasi NU.

Usul disetujui. Dan sejak itu, kaum wanita secara resmi diterima menjadi anggota NU meski sifat keanggotannya hanya sebagai pendengar dan pengikut saja, tanpa boleh menduduki kursi kepengurusan. Itu terus berlangsung hingga Kongres NU XV di Surabaya tahun 1940.

Dalam kongres tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang usulan Muslimat yang hendak menjadi bagian tersendiri dengan mempunyai kepengurusan tersendiri dalam tubuh NU. Dahlan termasuk pihak yang gigih memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima. Begitu tajamnya pro-kontra menyangkut penerimaan usulan tersebut, hingga kongres sepakat menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk diputuskan.

Sehari sebelum kongres ditutup, kata sepakat belum didapat. Dahlan-lah yang berupaya membuat semacam pernyataan penerimaan Muslimat untuk ditandatangani KH Hasyim Asyari dan KH A Wahab Hasbullah. Dengan adanya secarik kertas tanda persetujuan kedua tokoh besar NU itu, proses penerimaan dapat berjalan dengan lancar.

Bersama A Aziz Dijar, Dahlan pulalah yang terlibat secara penuh dalam penyusunan peraturan khusus yang menjadi cikal bakal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU di kemudian hari.

Bersamaan dengan hari penutupan kongres NU XVI, organisasi Muslimat NU secara resmi dibentuk, tepatnya tanggal 29 Maret 1946. Sebagai ketuanya dipilih Chadidjah Dahlan asal Pasuruan, yang tak lain adalah isteri Dahlan.

Kiprah Dahlan di pentas nasional berawal tahun 1941 dengan menjadi anggota Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berkedudukan di Surabaya. Tahun 1945 ketika Masyumi didirikan, ia menjadi anggota Dewan Pimpinan Partai hingga tahun 1952, saat NU memisahkan diri dari Partai Masyumi. Dahlan juga sempat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta pada tahun 1946.

Pada kongres NU XX di Surabaya tahun 1954, ia terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidziah Nahdlatul Ulama. Melalui partai yang dipimpinnya, ia juga duduk sebagai anggota konstituante hingga tahun 1959. Setahun kemudian, DPR-Gotong Royong dibentuk dan Dahlan diangkat menjadi anggotanya. Namun pengangkatan itu ditolaknya dengan alasan pembentukan lembaga tersebut tidak memberi kesempatan kepada golongan oposisi.

Melalui Keputusan Presiden nomor 171/1967 tanggal 11 Oktober 1967, Dahlan diberi kepercayaan untuk memangku jabatan Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan I hingga tahin 1971. Selepas menjadi menteri, ia duduk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung sampai wafatnya.

Ketika mulai menjabat sebagai Menteri Agama, kerukunan antar umat beragama tidak begitu baik keadaannya. Setelah PKI dinyatakan sebagai partai terlarang, banyak orang makin rajin mengunjungi rumah-rumah ibadah, semata-mata agar tidak dituduh sebagai anggota PKI. Keadaan tersebut mendorong masing-masing penganut agama (golongan Islam dan Kristen) gencar melakukan kegiatan penyebaran agama.

Hubungan antar pemeluk agama berubah menjadi ketegangan, manakala golongan yang satu secara atraktif menyebarkan agamanya kepada golongan yang lain. Ketegangan tidak jarang berlanjut menjadi bentrokan fisik. Di Ujungpandang, sebuah gereja dirusak akibat adanya seorang pemuka Kristen di kota tersebut yang menghina Nabi Muhammad.

Dahlan lantas mengambil prakarsa mengadakan Musyawarah Antar Agama tanggal 30 November 1967, agar peristiwa-peristiwa intoleransi antar agama tidak terulang lagi. Musyawarah antara lain dihadiri oleh DR TB Simatupang, Ben Mang Reng Say, Mr AM Tambunan mewakili golongan Kristen dan KH Masykur, M Natsir, DR HM Rasyidi mewakili golongan Islam.

Menteri Agama KH M Dahlan yang memimpin pertemuan mengajukan pokok-pokok rencana persetujuan, yang intinya agar propaganda agama tidak dilakukan dengan tujuan meningkatkan jumlah pemeluk masing-masing agama, namun dilaksanakan untuk memperdalam pemahaman dan pengamalan tentang agamanya masing-masing.

Memprakarsai penyelenggaraan MTQ

Di bidang keilmuan, Dahlan terlihat menonjol pada disiplin ilmu fikih yang ditunjang dengan koleksi kitab-kitab yang dimilikinya. Hal itu menyebabkan Dahlan sangat moderat dalam memandang perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan imam-imam madzhab. Ia nampak tidak kaku dengan pendapat madzhab tertentu dalam menentukan suatu hukum, sejauh pendapat itu dinilainya cukup argumentatif.

Sebagai Menteri Agama, Dahlan bersama Prof KH Ibrahim Hosen adalah pemrakarsa penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat nasional yang untuk pertama kalinya diadakan di Ujungpandang. Bersama KH Zaini Miftah, KH Ali Masyhar dan Prof DR HA Mukti Ali pada 23 Januari 1970 mereka membentuk Yayasan Ihya Ulumuddin, merintis berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ), sebuah perguruan tinggi yang secara khusus mengajarkan seni baca dan menghafal Alquran.

Kebiasaan KH. Muhammad Dahlan yang tidak pernah ditinggalkan semenjak masih tinggal di Pasuruan hingga pindah ke Jakarta adalah beliau tidak pernah lupa membaca Kitab Dalail Khairat setelah sholat subuh sampai menjelang sholat dhuha atau sesudah sholat maghrib sampai sholat Isya. Dan benar kata Nabi, seseorang akan meninggal dunia sesuai kebiasaannya. Pada tanggal 1 Februari 1977, selesai membaca kitab seperti biasanya, KH. Muhammad Dahlan wafat. Jenazahnya dimakamkan di taman pahlawan kalibata, karena sebagai pengakuan pemerintah atas jasa-jasanya yang ikut serta dalam membangun bangsa Indonesia. (ells/dna)